Kisah Sebuah Anak Kalimat

Sumber Foto; https://visiuniversal.blogspot.com/2015/03/dekrit-president-5-juli-1959.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

TUJUH buah kata ternyata menjadi seluruh kandungan sebuah tesis untuk mendapat gelar M.A. Kemudian, dialih bahasakan setelah diperbaiki dan dikembangkan di sana sini. Dan diterbitkan dalam cara dan bentuk yang biasa-biasa saja (lihat Buku). Padahal, ketujuh kata itu membentuk sebuah anak kalimat yang pernah mengguncangkan kehidupan bernegara kita semua. Yang dipertikaikan dua puluh tahun lamanya, kalau dihitung keputusan pemerintah sekarang ini untuk menghilangkannya dari “peredaran”.

Ketujuh kata itu adalah apa yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta Berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” — sebagai anak kalimat yang menjelaskan dasar negara “Ketuhanan”. Ketujuh kata itu hilang dari naskah Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dan dasar negara “Ketuhanan” dalam Piagam Jakarta tersebut diganti dengan dasar negara “Ketuhanan Yang Maha Esa”

Tujuh kata yang mula-mula diterima sebagai titik temu dua kelompok besar perjuangan kemerdekaan bangsa itu tertuang dalam piagam yang disebutkan di atas kemudian hilang dari Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Tetap tidak muncul dalam Undang-undang Sementara 1950, bahkan diperdebatkan berkepanjangan dalam sidang-sidang Konstituante.

Perdebatan itu membawa kepada “kebuntuan konstitusional” — ketika usul Presiden Soekarno untuk kembali ke Undang-undang Dasar 1945 diterima secara berbeda oleh golongan Islam dan golongan non-Islam. Yang terakhir ini meminta diterima apa yang ada dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 saja. Golongan pertama meminta Piagam Jakarta diberlakukan. Kemacetan itu berupa tidak tercapainya mayoritas dua pertiga suara untuk memberlakukan kembali Undang-undang Dasar 1945.

Dan kebuntuan suasana itu mengakibatkan lumpuhnya Konstituante, dan ada vacuum landasan pemerintahan secara konstitusional. “Terpaksalah” Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang menyatakan pemberlakuan Undang-undang Dasar 1945 — dengan rumusan “kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut” sebagai salah satu konsiderans.

“Murni dan Konsekuen

Perkembangan keadaan di bidang itu kini telah sampai pada babak pelaksanaan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Itu oleh sementara pihak ditafsirkan sebagai pembekuan konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikutip di atas. Dengan kata lain, pemberlakuan Undang-undang Dasar 1945 tanpa kaitan apa pun dengan Piagam Jakarta.

“Babak final” itu adalah suatu hal yang wajar dalam kehidupan bernegara suatu bangsa — ketika kekuasaan pemerintahan mengambil sebuah kesimpulan atas landasan-landasan keberadaan dirinya sendiri. Bagaimanapun, pemerintahan adalah sebuah susunan kekuatan sosial-politik yang memiliki preferensinya sendiri, sehingga tidak dapat orang menyalahkan kecenderungan pemerintah yang sekarang ini untuk menjalankan pola “murni dan konsekuen” di atas.

Masalahnya adalah penerimaan masyarakat bangsa sebagai keseluruhan. Sudahkah ia tercapai sebagai sebuah proses yang dibenarkan oleh bangsa? Kalau sudah, tidak ada masalah. Undang-undang Dasar saja dapat dibentuk dan diubah berkali-kali, apalagi hanya pembukaannya. Bahkan, Piagam Jakarta pun belum pernah menjadi pembukaan undang-undang dasar yang berlaku dalam sejarah nasional kita setelah Kemerdekaan Mau dipakai atau tidak, bukan persoalannya.

Yang menjadi masalah adalah bagaimana “keputusan” untuk mencapai prinsip “murni dan konsekuen” itu dicapai. Dalam keadaan ketika SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dijadikan kriteria mana pendapat dan berita yang boleh disiarkan dan mana yang tidak, sudah tentu tidak mungkin orang berbicara terbuka tentang “keputusan” tersebut. Juga tentang Piagam Jakarta.

Semuanya seolah sudah dalam keadaan “beres”. Pokoknya, Piagam Jakarta sudah tidak menjadi isu. Suasana sudah terkendali dengan baik dengan asumsi tidak ada lagi persoalan konstitusional berkisar pada masalah landasan konstitusional kehidupan bangsa dan negara. Masalahnya tinggal yang teknis-teknis saja: bagaimana melaksanakan pembangunan simultan di segala bidang. bagaimana memelihara stabilitas nasional, mengembangkan integrasi nasional secara lebih penuh, dan seterusnya. Mungkin sampai pada kecenderungan membuat manusia se…bionik mungkin.

Jalur Komunikasi

Sulitnya, keadaan permukaan seperti itu tidak selamanya mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Sering hanya menyembunyikan saja arus bawah yang berkembang — tidak mampu menghentikan atau menyalurkannya secara sehat. Dengan kata lain, ada kemungkinan hal-hal yang telah diberlakukan tidak didukung oleh konsensus cukup luas dari kehidupan bangsa. Sebuah keadaan yang tidak seluruhnya buruk, tapi juga tidak seluruhnya baik.

Dalam suasana seperti itu, sebenarnya, penting sekali tetap dipelihara sebuah jalur komunikasi antara pihak yang berbeda pendapat dan berlainan pikiran. Itu pun tidak sembarangan diletakkan, melainkan dalam taraf yang memungkinkan dialog rasional tanpa terlalu banyak dipengaruhi emosi. Sebuah proses pencapaian penyelesaian hakiki yang nantinya akan diterima secara tulus oleh semua pihak, sebagai konsensus nyata yang tidak lagi memerlukan dukungan alat-alat kekuasaan.

(Tetapi, muncul pertanyaan: mungkinkah dialog seperti itu berlangsung, kalau kebebasan mimbar di perguruan tinggi pun telah menjadi begitu terbatas?). Kalau tidak, suatu waktu akan muncul gugatan: mengapakah hanya satu aspek kehidupan bangsa saja yang “dimurnikan” dan dibuat “konsekuen” dengan UUD, sedang yang lain dibiarkan tidak murni dan tidak konsekuen?