Kembali ke 1A Kumpulan Tulisan GD

Islamku Islam Anda Islam Kita – Agama Masyarakat Negara Demokrasi

1A Kumpulan Tulisan GD
Islamku Islam Anda Islam Kita – Agama Masyarakat Negara Demokrasi
Judul
Islamku Islam Anda Islam Kita – Agama Masyarakat Negara Demokrasi
Penulis
Abdurrahman Wahid
Editor (Penyunting)
Ahmad Suaedi, Rumadi, Gamal Ferdhi, Agus Maftuh Abegebriel
Penerbit
The WAHID Institute Jakarta, Agustus 2006 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

BAB I

ISLAM DALAM DISKURSUS IDEOLOGI, KULTURAL DAN GERAKAN

 

BAB II

ISLAM, NEGARA DAN KEPEMIMPINAN UMAT

 

BAB III

ISLAM, KEADILAN DAN HAK ASASI MANUSIA

 

BAB IV

ISLAM DAN EKONOMI KERAKYATAN

 

BAB V

ISLAM, PENDIDIKAN DAN MASALAH SOSIAL BUDAYA

 

BAB VI

ISLAM TENTANG KEKERASAN DAN TERORISME

 

BAB VII

ISLAM, PERDAMAIAN DAN MASALAH INTERNASIONAL

Sinopsis

Esai-esai Gus Dur dalam buku ini tentang hal ihwal keprihatinannya terhadap masa depan Islam. Pembaca akan disadarkan kembali tentang kondisi keberislaman kita hari ini: terutama menyangkut kondisi sosial masyarakat kita. Pertanyaan yang muncul pasca tulisan ini terbit–yang sudah beberapa puluh tahun yang lalu, kira-kira sudah ngapain aja muslim di Indonesia?

 

Gus Dur menuliskannya tahun 2000 an, ketika beliau tidak menjabat lagi sebagai kepala negara. Namun dari buku 400 an  halaman ini akan selalu relevan dalam situasi apapun. Kenapa? karena yang dibahas adalah umat Islam, di Indonesia penganutnya sebagai mayoritas. Problem kebangsaan dan keislaman pasti terjadi.

 

Tulisan yang tersebar di beberapa media lokal-nasional, bahkan beberapa statusnya ada yang tidak terlacak (bisa dilihat pada lampiran buku), tidak seperti esai yang ditulis pada tahun 70-80an. Yang relatif panjang dan mendalam. Esai-esai di sini cenderung pendek.

 

Judul buku dipilih dari salah satu tulisan Gus Dur: Islamku Islam Anda, Islam Kita. Islamku sebagai islam yang subyektif. Pemahaman ‘saya’ tentang islam (tentu ada perbedaan dengan muslim yang lain), Islam saya tidak boleh memaksakan atas apa yang saya pahami itu. Begitu juga orang lain (Islam Anda) tidak boleh memaksakan pendapatnya kepada saya. Dari Islamku dan Islam Anda, kita diajarkan untuk saling menghormati pandangan yang berbeda-beda. Hal tersebut menjadi unik, yang dikemudian hari melahirkan berbagai macam tradisi keagamaan.

 

Lalu, bagaimana dengan Islam kita? nah Gus Dur tampak kesulitan dalam merumuskan Islam Kita ini. Karena masing-masing umat Islam memiliki kerangkanya, antara Islamku dan Islam Anda. Namun dari ketidaksamaan antara berbagai pandangan itu ada isu bersama yang perlu dituntaskan. Karena apa yang dibicarakan oleh Islam Kita adalah tentang nasib umat Islam ke depan.

 

Dari Islam Kita, Gus Dur memberikan garis tebal atas penolakan ide suatu gerakan yang ingin memaksakan islam menjadi ideologi negara. Menurut Gus Dur hal itu dapat memicu mafsadat yang lebih besar, yakni memberangus kebebasan individu. Sangat jauh dari ajaran Islam itu sendiri.

 

Kalau diperas dari beberapa bab (ada tujuh bab) dari buku ini, kita akan mampu menangkap semangat dari pemikiran-pemikiran Gus Dur. Tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, kemanusiaan, keadilan, dan kearifan lokal. Puluhan esainya itu berbicara bagaimana agar Islam dapat diterima dengan baik, mampu menyelesaikan persoalan kebangsaan dalam arti memberi manfaat, dan merahmati semua golongan.

 

Menurut Syafi’i Anwar, dalam pengantarnya, Gus Dur dikategorikan sebagai seorang dengan pemikiran substansif-inklusif, lawan dari legal-eksklusif. Hal itu bisa dibaca bahwa Gus Dur tidak ingin islam menjadi ideologi negara. Gus Dur ingin Islam bisa diterima sebagai agama secara sukarela, tanpa paksaan. Syariat tidak terikat dengan aturan negara, biarkan ia menjadi jalan yang dinamis untuk membangun manusia yang bermoral.

 

Islam yang dikedepankan oleh Gus Dur adalah yang bisa membawa keadilan, persamaan hukum bagi semua, dan menjunjung kemanusiaan. Pembelaannya kepada beberapa tokoh, seperti Inul, Ulil Abshar Abdalla, Arswendo, bahkan sampai Abu Bakar Ba’asyir, adalah dari apa yang dipahaminya dalam ajaran-ajaran Islam: menjadi rahmat. Perbedaan pendapat tentu wajar terjadi.

 

Semangat merahmati lainnya ia tunjukkan dalam tulisan Islam, Moralitas, dan Ekonomi. Soal ekonomi, Gus Dur menentang sistem kapitalistik, yang hanya menguntungkan pemilik modal. Dalam Islam kesejahteraan rakyat secara keseluruhan adalah paling utama.

 

Gus Dur juga mengkritik gerakan ekstremis, gerakan ini muncul karena perasaan ketertinggalan dunia islam dengan budaya barat. Barat vis a vis Timur. Akhirnya muncul fenomena yang serba kearab-araban. Upaya arabisasi menggema dalam setiap nafas kehidupan. Kalau belum arab tidak keren, kurang pede.

 

Akhirnya Gus Dur menawarkan pribumisasi Islam. Tujuannya supaya kearifan-kearifan lokal (budaya lokal) dijaga dengan baik, tidak semua harus serba arab. Karena arab belum tentu Islam dan Islam tidak selalu identik dengan arab. Prinsipnya tetap berpijak pada nilai-nilai keadilan, tanpa meninggalkan norma-norma islam itu sendiri.

 

Soal perdamaian internasional, Gus Dur mengkritik apa yang dilakukan oleh Amerika dalam invasinya ke Irak, yang justru melahirkan banyak peperangan dan kekerasan yang tak berkesudahan. Perang tidak akan menyelesaikan masalah. Gus Dur mendorong supaya terjadi perdamaian dunia.

 

Tulisan dalam buku ini mengajak kita berfikir (rethingking) atas hal yang dirasa baik-baik saja dalam kehidupan di masyarakat. Pembaca akan banyak menemukan pertanyaan-pertanyaan menggelitik tentang keberislaman yang tentu jawabannya dikembalikan ke pembaca sendiri. Itulah uniknya Gus Dur dalam tiap tulisannya.