Akan Jadi Apakah Para Raja?

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Kata “Raja” di Maluku, terutama Ambon, berarti kepala kampung/desa. Ada yang perempuan, ada pula yang laki-laki; berfungsi sebagai pemimpin masyarakat dan sangat berpengaruh secara adat di lingkungan masyarakat mereka. Pergaulan mereka dengan rakyat yang dipimpin sangatlah erat, dan boleh dikata merekalah yang menjadi penentu (decision maker). Kalau para Raja dan berbagai dusun/desa setuju tentang sesuatu, biasanya itulah yang menjadi konsensus bersama yang diikuti rakyat. Salah satu cara yang ditempuh untuk mencari penyelesaian bagi kasus konflik antaragama dan antaretnis pada saat-saat seperti sekarang ini adalah dengan cara Baku Bae. Dalam konsep adat mereka berfungsi seperti ini, hingga pemerintah daerah/pusat sangat terbantu oleh para pemuka adat tersebut, seperti Raja dan sebagainya.

Konsep seperti ini mengharuskan pemerintah daerah dan pusat untuk bersikap rendah hati dalam memberikan tempat bagi pelaksanaan peran mereka, dan bahkan kalau perlu seolah-olah hanya merekalah yang berperan. Pemerintah pusat dan daerah hanya bersifat membantu, terutama dalam konseptualisasi cara-cara yang diperlukan untuk mengatasi konflik yang terjadi. Dalam hal ini peran para pemimpin agama dalam proses tersebut juga menjadi sangat penting. Baik para pemuka agama maupun adat, merupakan pihak-pihak yang dipercayai oleh para warga masyarakat. Karenanya, kerjasama erat antara para pemimpin informal seperti mereka itu, dan para pemimpin formal (pejabat daerah dan pusat), sangat diperlukan dan merupakan sarat utama bagi penyelesaian konflik-konflik yang terjadi.

Apalagi, kalau dalam konflik-konflik tersebut terjadi pengambilan peran oleh sebagian sangat kecil orang-orang yang mengaku menjadi pemimpin masyarakat, atas nama agama atau kelompok etnis yang ada. Inilah apa yang sebenarnya terjadi, baik di Ambon maupun di Poso (Sulawesi Tengah) dan mungkin juga daerah-daerah lain. Melakukan identifikasi para pelaku tidaklah mudah, dan karenanya sering diambil tindakan pintas dengan mencari persetujuan atas penyelesaian antara kelompok-kelompok yang ada, melalui perjanjian-perjanjian seperti Malino, yang meliputi berbagai pihak resmi maupun tidak resmi di kalangan bangsa kita, dengan disaksikan oleh pihak negara-negara lain. Diharapkan, dengan penandatanganan perjanjian Malino yang sudah berusia setahun itu, dapat dicapai sendi-sendi bagi perdamaian antara berbagai pihak yang terlibat dalam konflik agama maupun etnis di berbagai kawasan Indonesia Timur itu.

*****

Ini adalah kesimpulan pertemuan penulis dengan Barroness Cox di Majelis Tinggi (House of Lords) London, Inggris, pertengahan November 2002. Pertemuan itu sendiri berjalan sangat sederhana di sebuah restoran dalam Gedung Parlemen Inggris, sambil santap malam. Namun, kesederhanaan itu tidak menutup kenyataan akan pentingnya arti pertemuan tersebut. Barroness Cox sedang mempersiapkan sebuah pertemuan antara para pemimpin agama bagi kedua daerah itu, sedangkan penulis dalam hal ini ditunjuk sebagai Presiden Kehormatan (Honorary President) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Internasional yang didirikan oleh tokoh itu yang bekerja khusus untuk mencari penyelesaian bagi konflik berdasarkan agama maupun etnisitas di kawasan-kawasan Indonesia. Dalam pemikiran penulis, bahwa bukan hanya para pemuka agama saja yang mempunyai peranan sangat menentukan dalam mencari penyelesaian bagi konflik-konflik tersebut, namun juga para pemuka adat, ternyata dapat diterima.

Dengan dasar yang disetujui itu, dalam waktu tidak terlalu lama lagi, pertemuan antarpemuka agama dan adat itu akan diselenggarakan, dan ini akan merupakan sumbangan besar bagi penyelesaian krisis yang terjadi di kedua kawasan tersebut. Tentu saja, dalam pertemuan tersebut para pejabat pemerintah pusat dan daerah yang bersangkutan dengan masalah itu akan diundang sebagai peserta atau pemberi makalah. Ini adalah hal yang normal-normal saja, karena kerja mencari penyelesaian bagi konflik berdasarkan agama dan etnisitas tersebut memang merupakan kerja kolektif yang harus diselesaikan dengan baik.

Karenanya, prinsip-prinsip penyelesaian berbagai konflik di kedua kawasan itu merupakan kerja awal yang harus ditangani dengan tuntas. Penulis sendiri meminta kepada Barroness Cox supaya penyelesaian masalah tersebut dapat dilakukan secara alami (natural). Putri sulung penulis, Alissa Munawarah, yang tinggal di Yogyakarta terlibat sangat mendalam pada proses penciptaan gagasan Baku Bae itu. Beberapa orang pemimpin adat telah menemui penulis, dalam kedudukan sebagai presiden. Ternyata perkembangan keadaan selama lebih setahun ini sangat menggembirakan, walaupun di sana-sini masih ada upaya berbagai kelompok sangat kecil yang berusaha “memanaskan” situasi dan mencegah terjadinya proses penyelesaian yang diharapkan tersebut.

*****

Dengan sendirinya, gagasan penulis tentang peranan para pemuka adat itu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru mengenai kedudukan mereka dalam kehidupan masyarakat Indonesia di masa depan. Karena agama Islam juga mengembangkan nilai-nilai (values) yang penting bagi pembangunan dan perubahan sosial, dengan sendirinya lalu timbul pertanyaan; nilai Islam apakah yang paling tepat dikembangkan dalam hal ini? Juga ada sebuah pertanyaan lain: dalam perkembangan sosial seperti itu, adakah tempat bagi pelaksanaan nilai-nilai Islam tersebut? Dari kedua pertanyaan pokok tersebut di atas, tentu juga muncul banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak akan dijawab di sini. Panjangnya ruangan untuk tulisan ini membatasi hal tersebut.

Sebuah nilai Islam (Islamic value) tepat untuk dipakai bagi peranan para pemuka adat tersebut, yaitu; “tiada agama tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa adanya sang pemimpin” (lâ dîna illâ bi jamâ’atin wa lâ jamâ’ata illâ bi imâmatin, wa lâ imâmata illâ bi imâmin). Ini berarti, pemuka adat dapat menjadi pemimpin, karena sebuah ungkapan lain juga mengatakan: “hukum adat dapat saja digunakan sebagai pedoman agama” (al ‘âdatu muhakkamah), yang menunjukkan pertalian antara hukum adat dan Islam, hingga benar adanya anggapan bahwa nilai-nilai Islam tidak bertentangan dengan adat.

Tetapi kedua ungkapan di atas, harus diletakkan dalam sebuah kerangka yang jelas, yang dalam pengertian Islam harus diberikan prioritas kepada kepentingan umum. Pengertian kepentingan umum itu adalah tindakan-tindakan yang dalam literatur agama Islam diberi nama maslahah ‘âmmah, yang dalam pandangan Islam harus tercermin dalam kebijakan yang harus diambil maupun tindakan yang dilaksanakan bagi kepentingan masyarakat/orang banyak oleh para pemimpin. Hal ini dengan jelas tergambar dalam adagium “kebijakan-kebijakan/tindakan-tindakan seorang pemimpin harus terkait sepenuhnya dengan kepentingan mereka” (tasharruf al-lmâm ‘alâ al ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah). Jadi jelas, prinsip kegunaan (asas manfaat) dan bukan sekedar berkuasa, menjadi ukuran keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin. Para pemuka agama dan para pemimpin adat harus benar-benar menjadi pemimpin masyarakat dalam arti selalu mementingkan kesejahteraan masyarakat dan bukannya kelangsungan lembaga-lembaga yang mereka pimpin. Jelas bagi kita, bahwa para pemuka adat dan pemuka agama itu di masa depan harus mengambil peran lebih banyak sebagai pemimpin masyarakat.