Islam: Perjuangan Etis atau Ideologis?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pada suatu pagi selepas olahraga jalan-­jalan, penulis diminta oleh sejumlah orang untuk memberikan apa yang mereka namakan “petuah”. Saat itu, ada Kiai Aminullah Muchtar dari Bekasi, sejumlah aktivis NU dan PKB, dan sekelompok pengikut aliran kepercayaan dari Samosir. Dalam kesempatan itu, penulis mengemukakan pentingnya memahami arti yang benar tentang Islam. Karena ditafsirkan secara tidak benar, maka Islam tampil sebagai ajakan untuk menggunakan kekerasan/terorisme dan tidak memperhatikan suara­-suara moderat. Padahal, justru Islam­lah pembawa pesan-­pesan persaudaraan abadi antara umat manusia, bila ditafsirkan secara benar.

Pada kesempatan itu, penulis mengajak terlebih dahulu memahami fungsi Islam bagi kehidupan manusia. Kata al-Qurân, Nabi Muhammad Saw diutus tidak lain untuk membawakan amanat persaudaraan dalam kehidupan (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lil ‘âlamîn) (QS al­-Anbiya [21]:107), dengan kata “rahmah” diambilkan dari pengertian “rahim” ibu, dengan demikian manusia semuanya bersaudara. Kata “‘alamîn” di sini berarti manusia, bukannya berarti semua makhluk yang ada. Jadi tugas kenabian yang utama adalah membawakan persaudaraan yang diperlukan guna memelihara keutuhan manusia dan jauhnya tindak kekerasan dari kehidupan. Bahkan dikemukakan penulis, kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan hanya kalau akidah mereka terancam, atau mereka diusir dari tempat tinggalnya (idzâ ukhriju min diyârihim).

Kemudian, penulis menyebutkan disertasi doktor dari Charles Torrey yang diajukan kepada Universitas Heidelberg di Jerman tahun 1880. Dalam disertasi itu, Torrey mengemukakan bahwa kitab suci al-Qurân menggunakan istilah-istilah paling duniawi, seperti kata “rugi”, “untung”, dan “panen”, untuk menyatakan hal-­hal yang paling dalam dari keyakinan manusia. Umpamanya saja, ungkapan “ia di akhirat menjadi orang­-orang yang merugi (perniagaannya) (wa huwa fi al-âkhirati min al- khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Begitu juga ayat lain, “menghutangi” Allah dengan hutang yang baik (yuqridhullâha qardhan hasanan)” (QS al-­Baqarah [2]:245), serta ayat “barang siapa menginginkan panen di akhirat, akan Ku­tambahi panenannya (man kâna yurîdu hartsa al-âkhirati nazid lahû fi hartsihi)” (QS al-Syûra [42]:20).

Dalam uraian selanjutnya, penulis mengemukakan pengertian negara dari kata “daulah”, yang tidak dikenal oleh al-Qur’an. Dalam hal ini, kata tersebut mempunyai arti lain, yaitu “berputar” atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang terkumpul itu tidak berputar/beredar antara orang­-orang kaya saja di lingkungan Anda semua (kailâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’i minkum)” (QS al-­Hasyr (59):7). Ini menunjukkan yang dianggap oleh al-­Qur’an adalah sistem ekonomi dari sebuah negara, bukan bentuk dari sebuah negara itu sendiri. Jadi, pembuktian tekstual ini menunjukkan Islam tidak memandang penting bentuk negara. Atau, dengan kata lain, Islam tidak mementingkan konsep negara itu sendiri.

Dapat disimpulkan dari uraian di atas, Islam lebih mengutamakan fungsi negara dari pada bentuknya. Dalam hal ini, bentuk kepemimpinan dalam sejarah Islam senantiasa mengalami perubahan. Bermula dari sistem prasetia (bai’at) dari suku-­suku kepada Sayyidina Abu Bakar, melalui pergantian pemimpin dengan penunjukan dari beliau kepada Sayyidina Umar, diteruskan dengan sistem para pemilih (ahl al-halli wa al-aqdi) baik langsung maupun tidak, diteruskan dengan sistem kerajaan atau keturunan di satu sisi dan kepala negara atau kepala pemerintahan dipilih oleh lembaga perwakilan, serta memimpin melalui coup d’etat di sementara negara, semuanya menunjukkan tiadanya konsep pergantian pemimpin negara secara jelas dalam pandangan Islam.

Demikian juga, Islam tidak menentukan besarnya negara yang akan dibentuk. Di zaman Nabi Saw, negara meliputi satu wilayah kecil saja – yaitu kota Madinah dan sekitarnya, diteruskan dengan imperium dunia di masa para khalifah dan kemudian Dinasti Umayyah dan Abbasyiah. Setelah itu, berdirilah kerajaan­-kerajaan lokal dari Dinasti Murabbitîn [1] di barat Afrika hingga Mataram di Pulau Jawa. Kini, kita kenal dua model; model negara­-bangsa (nation state) dan negara-kota (city state). Keadaan menjadi lebih sulit, karena negara kota menyebut dirinya negara-­bangsa, seperti Kuwait dan Qatar.

Dengan tidak jelasnya konsep Islam tentang pergantian pemimpin negara dan bentuk negara seperti diterangkan di atas, boleh dikatakan bahwa Islam tidak mengenal konsep negara. Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah masyarakat (mujtama’ atau society), dan ini diperkuat oleh penggunaan kata umat (ummah) dalam pengertian ini. Sidney Jones [2] mengupas perubahan arti kata “umat Islam” dalam berbagai masa di Indonesia, yang diterbitkan di jurnal Indonesia Universitas Cornell di Ithaca, New York, beberapa tahun lalu. Semuanya menunjuk pada pengertian masyarakat itu, baik seluruh bangsa maupun hanya para pengikut gerakan­-gerakan Islam di sini belaka.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan adanya pandangan tentang negara dalam Islam, harus diartikan ada pandangan agama tersebut tentang masyarakat. Ini semua, akan membawa konsekuensi tiadanya hubungan antara Islam sebagai ideologi politik dan negara. Dengan kata lain, Islam mengenal ideologi sebagai pegangan hidup masyarakat, minimal berlaku untuk para warga gerakan-gerakan Islam saja. Jadi negara dapat saja didirikan tanpa ideologi Islam, untuk menyantuni hak­-hak semua warga negara di hadapan Undang­-Undang Dasar (UUD), baik mereka muslim maupun non­muslim.

Tanpa menyadari hal ini, kita secara emosional akan mengajukan tuntutan akan adanya sebuah ideologi Islam dalam kehidupan bernegara. Ini berarti, warga negara non­muslim akan menjadi warga negara kelas dua, baik secara hukum maupun dalam kenyataan praktis. Padahal Republik Indonesia tanpa menggunakan ideologi agama secara konstitusional dalam hidupnya, berhasil menghilangkan kesenjangan itu. Dengan demikian, terjadilah proses alami kaum muslimin memperjuangkan ‘ideologi masyarakat’ yang mereka inginkan melalui penegakan etika Islam, bukannya ideologi Islam. Bukankah ini lebih rasional?

Catatan kaki:

[1] Kerajaan Murabbitin didirikan 1056 M di Maroko oleh Dinasti Berber dari Sahara. Pada masa Dinasti Moor, kekuasaan kerajaan ini meluas dari Mauritania, Gibraltar, Aljazair, Senegal, dan Mali, hingga ke daratan Eropa yaitu Spanyol dan Portugal.

[2] Sidney Jones adalah Direktur International Crisis Group (ICG) yang banyak melakukan riset di Indonesia terutama tentang tumbuhnya gerakan Islam radikal meski terkadang risetnya terkesan generalisasi terhadap kasus-­kasus gerakan­-gerakan Islam di Indonesia. Tidak banyak yang mengetahui sepak terjang wanita yang lahir 31 Mei 1952 pada era Orde Baru. Sebab, Sidney Jones baru dikenal oleh publik Indonesia pada tahun 2002 melalui artikelnya yang berjudul “Al-Qaidah in Southeast Asia: The Case of the “Ngruki Network” in Indonesia.” Sebelumnya, wanita ini memang pernah sangat akrab dengan Indonesia ketika menjadi aktivis LSM terkemuka seperti Ford Foundation (1977-­1984), Amnesty International (1984-­1988), Direktur Divisi Asia Human Rights Watch (1989­-2002). Sekitar 20 tahun lebih, Sidney mengenal Indone­sia. Sebagai peneliti yang banyak “asam garam” dengan Orde Baru, Sidney telah mampu merekam apa saja yang terjadi selama 20 tahun yang terkait dengan berbagai isu seputar Tapol, Pelanggaran HAM, dan isu­-isu lain yang merupakan “makanan” kelompok LSM. Sedang International Crisis Group (ICG) merupakan sebuah organisasi non­profit yang melakukan riset lapangan dan advokasi tingkat tinggi untuk mencegah dan menyelesaikan konflik berbahaya.

Organisasi ini bersifat multinasional dan independen dengan mempekerjakan lebih dari 90 staf di beberapa perwakilan di hampir 30 negara dengan kantor pusat di Belgia serta kantor-­kantor advokasi tersebar di Washington DC, New York, Moskow, dan Paris serta kantor urusan media di London. ICG pada saat ini mengoperasikan tiga belas kantor cabang (Amman, Belgrade, Bogota, Kairo, Freetown, Islamabad, Jakarta, Kathmandu, Nairobi, Osh, Pristina, Sarajevo, dan Tbilisi) dengan para analis yang bekerja di lebih dari 30 negara dan daerah krisis di empat benua. Di Afrika, negara­negara tersebut meliputi Burundi, Rwanda, Republik Demokratik Kongo, Sierra Leone-Liberia-Guinea, Ethiopia, Eritrea, Somalia, Sudan, Uganda dan Zimbabwe; di Asia, Indonesia, Myanmar, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Pakistan, Afghanistan, dan Kashmir; di Eropa, Albania, Bosnia, Georgia, Kosovo, Macedonia, Montenegro, dan Serbia; di Timur Tengah, seluruh bagian Afrika Utara sampai ke Iran; dan di Amerika Latin, Kolombia.

ICG mendapatkan dukungan dana dari pemerintah, yayasan amal, perusahaan, dan donor individual. Negara­-negara yang pada saat ini turut menyediakan dana antara lain: Australia, Austria, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Irlandia, Jepang, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Swedia, Swiss, Republik Rakyat Cina (Taiwan), Turki, Inggris dan Amerika Serikat. Sumbangan dari yayasan dan donor swasta meliputi Atlantic PhilanthropiesCarnegie Corporation of New YorkFord FoundationBill & Melinda Gates FoundationWilliam & Flora Hewlett FoundationHenry Luce FoundationJohn D. & Catherine T. Mac Arthur FoundationJohn Merck FundCharles Stewart Mott FoundationOpen Society InstitutePloughshares FundSigrid Rausing TrustSasakawa Peace FoundationSarlo Foundation of the Jewish Community Endowment Fundthe United States Institute of Peace, dan The Fundacao Oriente.