Aceh, Kekerasan, dan Rasa Kebangsaan

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam berbagai pernyataan, sejumlah pejabat pemerintah pekan lalu menyatakan, sikap pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) [1] menunjukkan tidak mau berunding dengan RI. Dengan demikian GAM harus dianggap sebagai musuh bersenjata dan harus diserang. Kapolri bahkan menyatakan, Polri akan menambah personil di kawasan itu guna menghadapi setiap kemungkinan. Bentuk-bentuk lain tindakan fisik yang akan dilakukan terhadap GAM disuarakan secara bergantian, umumnya oleh para pejabat tinggi kita. Ini merupakan pertanda ketidaksabaran mereka untuk berunding dan akan kembalinya penyelesaian konflik di Aceh ke arena perjuangan bersenjata melawan GAM. Konsekuensi dari pandangan tersebut, jelas tidak hanya menyangkut pemerintah saja, melainkan seluruh bangsa.

Kalau kita tidak berunding dengan GAM, sudah tentu konsekuensinya adalah kembali bertempur melawan mereka. Ini berarti memaksa kelompok­-kelompok GAM yang moderat untuk bergabung dengan mereka yang ekstrim (bergaris keras). Artinya, rakyat Aceh akan menyaksikan kembali berbagai tindak kekerasan yang mau tidak mau akan mengorbankan nyawa banyak orang yang tidak bersalah, seperti kembalinya Daerah Operasi Militer (DOM) [2] di Tanah Rencong. Kalau DOM I saja sudah mengorbankan lebih dari 9.900 nyawa yang tidak bersalah, kemungkinan besar hal seperti itu akan terulang kembali. Dalam keadaan demikian, salahkah jika rakyat kawasan Nangroe Aceh Darussalam (NAD) [3] lalu beranggapan: Apa gunanya berada di lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI)?

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa dua hal akan menjadi akibat dari ucapan­-ucapan para pejabat pemerintah kita mengenai Aceh. Pertama, membuat kelompok­-kelompok akomodatif di kalangan GAM tidak dapat bersikap lain kecuali mengikuti kebijakan keras dari kelompok­-kelompok ekstrim di dalam GAM sendiri. Kedua, jika hal itu terjadi, akan ada akibat politis yang harus kita hindari yaitu memisahnya NAD dari NKRI. Ini tentu bukan kehendak kita, karena pada pasca perang kemerdekaan saja, para pemimpin berbagai gerakan Islam menyetujui dihapusnya Piagam Jakarta, dari UUD 1945 demi menjaga kelangsungan negara dan kesatuan bangsa kita. Relakah kita jika keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara yang dihasilkan tanggal 17 Agustus 1945 tercabik­-cabik, karena adanya kebijakan kita yang selalu gegabah dalam masalah NAD?

Tentu saja kita tidak hanya ingin hal itu terjadi, apalagi hanya karena ucapan­-ucapan tidak berarti dari para pejabat pemerintah sendiri. Ribuan warga telah memberikan nyawa dan harta benda mereka, masih banyak para pejuang yang menanggung cacat sebagai akibat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan, sebagai sebuah entitas negara dan bangsa. Tentu saja kita menjadi tidak akan rela adanya berbagai tuntutan separatisme seperti itu. Karenanya, melalui tulisan ini, penulis mengajukan sanggahan terhadap ucapan­-ucapan seperti itu, yang mengganggu keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara.

Siapa pun yang mengeluarkan pernyataan, dari rakyat jelata di tingkat yang paling rendah hingga pejabat pemerintah pusat, semua harus berhati­-hati dalam menanggapi langkah­-langkah yang diambil oleh kelompok­-kelompok ekstrim di lingkungan GAM itu sendiri. Tidak semua hal dapat dipecahkan melalui langkah­-langkah yang gegabah dan terburu­-buru. Karena itu diperlukan daya tahan sangat besar untuk berunding dalam jangka panjang, guna menyelamatkan teritorial negara kita. Ini yang penulis lakukan semasa menjadi presiden dengan berpergian ke sana ke mari ke luar negeri, menjaga agar dunia internasional mengakui keutuhan teritorial kita. Tidak rela rasanya jika langkah penulis itu dianggap sebagai lelucon saja, dan kemudian saat ini keutuhan teritorial itu terganggu karena ucapan-­ucapan sangat negatif dari dalam negeri sendiri.

Para pejabat pemerintah yang mengeluarkan ucapan­-ucapan di atas, jelas tidak mengikuti perintah agama untuk bersabar dan memaafkan, dari apa yang kita anggap sebagai kesalahan­-kesalahan mereka. Apalah artinya mengeluarkan biaya sangat besar dalam RAPBN untuk menerjemahkan kitab suci al-Qurân dalam bahasa nasional kita, kalau kemudian para pejabat pemerintah kita sendiri tidak mau memahaminya? Kearifan sikap justru sangat diperlukan, dan hanya didapat kalau kita sendiri mau mengerti dan mengambil pelajaran, antara lain dari kitab suci kita sendiri.

Puluhan ayat kitab suci al-Qurân meminta kaum muslimin untuk bersikap sabar dalam menghadapi berbagai persoalan. Yang paling sederhana adalah firman Allah: “Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu (washbir ’alâ mâ ashâbak)” (QS. Luqman [31]:17), dan ungkapan “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik (fashbir shabran jamîla)” (QS. al-Ma’ârij [70]:5), menunjukkan kepada kita betapa kuatnya kedudukan sikap bersabar itu dalam pandangan Islam. Terkadang orang kehilangan kesabaran, dan menjadi teroris seperti orang yang meledakkan bom di Bali.

Karenanya kita himbau sekali lagi bagi orang­-orang yang mengemukakan “jalan kekerasan” di atas. Dalam saat­-saat serba sulit seperti sekarang ini, tentu mudah bagi kita untuk menjadi marah. Tetapi bukankah justru sikap mudah marah itu yang dikehendaki golongan ekstrim di negeri kita, dari mana pun ia berasal. Kedewasaan sikap kita justru harus ditunjukan di saat­-saat seperti ini. Dengan sendirinya ucapan­-ucapan yang menunjukkan hilangnya kesabaran harus dihindari.

Catatan kaki:

[1] Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah sebuah organisasi (yang di­anggap separatis) yang memiliki tujuan supaya daerah Aceh atau yang sekarang secara resmi disebut Nanggroe Aceh Darussalam lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara kedua pihak yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro yang sekarang menjadi warga negara dan bermukim di Swedia. Pada 27 Februa­ri 2005, pihak GAM dan pemerintah Indonesia memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Mantan presiden Finlandia Martti Ahtisaari berperan seba­gai fasilitator.

[2] Kebijakan DOM memporak­-porandakan seluruh pranata sosial yang mendukung kehidupan kultural dan ekonomi rakyat. Secara sistematis terjadi pelanggaran HAM sangat berat yang memenuhi syarat untuk di katakan seba­gai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).

[3] Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan.