Adakah Perdamaian di Irak?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Amerika Serikat (AS) telah menyerbu Irak dengan sekutu-sekutunya, melalui peralatan militer yang sangat canggih dan personel tentara yang tangguh dibantu oleh sistem komunikasi mutakhir. Dalam waktu tiga minggu, ibu kota Baghdad jatuh ke tangan pasukan AS, dan patung Saddam Hussein setinggi belasan meter itu dirobohkan. Anehnya, Saddam sendiri bersama keluarga dan menteri-menterinya tidak juga tertangkap. Hal ini sangat mengherankan, dan menimbulkan tanda tanya besar, apakah gerangan yang terjadi. Kalau tadinya diproyeksikan Saddam akan tertangkap dan ia digantikan oleh seorang pemimpin lewat pemilu demokratis, maka sampai tulisan ini dibuat hal itu belum terjadi.

Karenanya kita perkirakan hanya satu dari kedua proyeksi di atas akan terwujud, yaitu mengganti pemerintahan Saddam dengan pemerintah yang baru, itu pun belum tentu dapat diterima rakyat Irak. Pemerintahan yang baru itu akan melaksanakan pemilu dalam waktu dekat, guna mendirikan legitimasi bagi dirinya. Dan tanpa legitimasi itu, pemerintah yang didirikan, tidak akan menjadi pemerintahan yang kuat. Klaim Presiden Bush akan menjadi suatu yang kosong dan seluruh dunia akan bertanya mengapa Irak harus diserang? Jawabannya adalah, AS menyerbu Irak untuk kepentingan minyak bumi, alias hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan geopolitis: “Menciptakan imbangan bagi Saudi Arabia yang merupakan negara penghasil minyak bumi terbesar di dunia (dengan cadangan 260 milyar barel minyak mentah (crude oil), yang sekarang saja sudah mulai menyimpang dari kebijakan luar negeri AS dalam soal Israel.”

Dalam waktu sekitar tiga bulan atau 100 hari, jika AS tidak berhasil menangkap Saddam Hussein maka rakyat AS tentu akan menuntut pasukan-pasukan mereka ditarik dari Irak. Jika ini terjadi, maka di samping adanya pemerintah yang lemah (dan belum tentu demokratis), maka mau tidak mau perdamaian di Irak menjadi opsi yang harus diperhitungkan? Di sinilah letak “kelalaian” dari serangan AS atas Irak itu. Sebuah serangan yang tidak memperhitungkan kemungkinan Saddam tidak tertangkap tentulah membawa resiko tersendiri, jalan selanjutnya melalui perdamaian untuk menyelesaikan konflik di Irak.

*****

Kemungkinan penyelesaian damai di Irak, apalagi kalau PBB diserahi tugas “mengamankan” negeri itu, haruslah memperhitungkan hal lain, yaitu perlunya menciptakan perdamaian abadi di kawasan Timur Tengah. Karena itulah, penulis mengusulkan perdamaian di Irak harus terkait langsung dengan perdamaian abadi antara Palestina dan Israel. Dengan demikian, selanjutnya tidak ada “pengaruh-pengaruh negatif” perkembangan konflik antara Israel dan Palestina dengan perkembangan di Irak. Kalau kita berpikir secara rasional dan obyektif, tentu akan sampai ke tingkat itu. Dalam hal ini, apa yang dilontarkan penulis itu bukanlah sesuatu yang utopis dan dalam angan-angan saja.

Untuk mencapai perdamaian abadi antara Palestina dan Israel harus ada negara Palestina yang kuat, terutama industri dan perdagangannya. Hal itu hanya mungkin terjadi kalau ada pemerintahan yang kuat dan tangguh dalam negara Palestina (State of Palestina). Jika Israel memiliki industri dan perdagangan yang tangguh, itu tidak lain pada masa permulaannya negeri itu mengenal sistem Kibutz (koperasi pertanian yang sangat tangguh). Sebagai tandingannya negara Palestina harus mengembangkan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang tangguh, guna melakukan pembangunan industri dan perdagangan yang tangguh pula. Untuk hal tersebut, di samping pemerintahan yang moderat dan kuat, juga diperlukan bantuan ekonomi secara besar-besaran dalam bentuk kredit murah bagi negeri Palestina.

Israel dan Palestina yang kuat, merupakan persyaratan utama bagi perdamaian dunia kawasan Timur Tengah, sedangkan perdamaian seperti itu sangat tergantung kepada kemampuan dunia untuk menciptakan perdamaian abadi di Irak. Inilah sebabnya mengapa penulis mengusulkan kaitan langsung antara perdamaian di Irak dengan antara Israel-Palestina. Sebagai orang luar yang memperhatikan perkembangan di kawasan Timur Tengah -karena merupakan bagian dari dunia Islam yang digelutinya-, maka usul itu tentunya memiliki unsur kemungkinan gagal yang cukup besar, tetapi ini tidak menghilangkan keharusan kita terus berupaya menciptakan perdamaian di mana pun juga.

*****

Usul di atas penulis kemukakan dalam berbagai forum, antaranya pada ujung bulan Maret 2003, dalam sebuah konferensi penciptaan perdamaian di seluruh dunia di selenggarakan oleh IIFWP (Interreligius and International Federation for World Peace) di Washington DC. Begitu juga hal itu penulis kemukakan dalam rangkaian ceramah di Michigan University, Ann Arbor, pada akhir Maret 2003. Penulis lagi lagi mengemukakan hal itu dalam seminar yang diselenggarakan Strategic Dialogue Centre Universitas Netanya, Israel di New York awal Februari 2003 lalu, berjudul “Mencari Kerangka Perdamaian di Timur Tengah”. Dalam seminar di New York itu, penulis juga mengemukakan pentingnya mengenal sebab-sebab terorisme yang dilakukan sebagian sangat kecil kaum muslimin, dengan atas nama agama mereka, seperti peledakan bom di Bali.

Di antara sebab-sebab yang dikemukakan penulis adalah kelalaian sebagian kecil kalangan pemuda muslimin untuk membedakan antara institusi (lembaga) dan budaya (kultur) Islam. Jika ada yang melupakan budaya (kultur) itu, tentu ada ketakutan bahwa institusi (kelembagaan) keislaman sedang diancam oleh peradaban Barat dalam bentuk modernisasi. Dengan sendirinya, mereka merasa tantangan modernisasi dan kebarat-baratan sulit untuk dihadapi, maka mereka menggunakan segala macam cara (termasuk penggunaan kekerasan) dalam “mempertahankan” agama yang mereka cintai.

Dalam hal itu, mereka tidak memperhitungkan nyawa para korban yang berjatuhan, yang terpenting “rasa puas” karena telah dapat membela agama. Sikap mental yang demikian ini tentu saja negatif dan perlu diganti dengan tindakan lain yang lebih positif. Tentu hal itu akan terjadi jika pemikiran yang ada diarahkan kepada penciptaan kondisi damai di mana pun kaum muslimin berada, termasuk di kawasan Timur Tengah.

Kalau kita palingkan perhatian dari kawasan tersebut, maka akan tampak betapa besar keragaman cara hidup di kalangan kaum muslimin yang berbeda etnis, bahasa, agama, dan budaya yang mereka miliki. Kalau kita sadari hal ini dengan mendalam, maka tampak nyata bagi kita bahwa ragam dan jenis kaum muslim pun sangat banyak jumlahnya. Kewajiban kita untuk melestarikan hal itu.