Islam dan Deskripsinya

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Djamil Suherman [1] menulis beberapa cerita pendek tentang dunia pesantren dengan tokoh utamanya Ummi Kulsum. Dijelaskannya, bagaimana di pesantren orang berbudaya tersendiri yang lepas dari budaya umum, yang ada di pedesaan kita. Termasuk di dalamnya penggambaran para santri yang mencintai buah hati mereka, tanpa boleh berhubungan sama sekali. Penggambaran itu oleh para kritikus sastra, seperti H.B. Jassin, [2] sebagai deskripsi terbaik tentang dunia pesantren. Dengan demikian, apa yang dituliskan Djamil Suherman menentukan pandangan kita tentang para penghuni pondok pesantren dan jaringan-jaringan mereka, dengan sistem nilai yang tak kalah dahsyatnya dari sistem nilai yang ada dalam cerita-cerita silat/kungfu karya Chin Yung [3], yang diterjemahkan dalam bahasa kita secara terpisah oleh O.K.T atau Boe Beng Tjoe [4], kedua bahasa itu mencapai dua puluh lima judul (per judul 20 jilid).

Sebaliknya “Robohnya Surau Kami”, karya A.A. Navis, menggambarkan realita kegundahan hati para pengikut tradisionalisme agama di Ranah Minang, karena tidak menemukan pemecahan rasional atas krisis multidimensional yang dihadapi lembaga pondok pesantren di kawasan tersebut. Nada lebih mementingkan pembaharuan dalam karya A.A. Navis ini tampak jelas, dan sesuai dengan kenyataan adanya krisis keagamaan yang mendalam di Sumatera Barat. Deskripsi situasi itu oleh A.A. Navis [5], jelas menunjukkan dinamika lain dari dunianya Djamil Suherman yang terasa sangat romantis. Perbandingan kedua karya itu saja, sudah menunjukkan pentingnya arti sebuah deskripsi dalam memaparkan situasi kehidupan yang tengah digumuli.

Maka, jelaslah dari perbandingan di atas, bahwa deskripsi kehidupan beragama di sebuah masyarakat pada suatu waktu, sangatlah penting artinya bagi para pengamat. Romantisme pondok pesantren, dan kemurungan para pencari jawaban atas krisis yang berlarut-larut, menunjukkan dengan jelas besarnya perbedaan dalam kehidupan beragama yang dijalani oleh dua buah masyarakat yang berbeda. Menjadi kewajiban kitalah untuk sanggup mencari benang merah yang menghubungkan keduanya. The Singer, Not The Song, dari tahun 50 atau 60-an, John Mills [6] yang menjadi Pendeta Keogh berusaha melakukan konversi kepada agama Kristen atas diri Dirk Bogarde [7] yang bermain sebagai Ancleto, si bandit yang piawai. Akhirnya, ketika Bogarde dikepung oleh aparat negara dan tertembak, di saat itulah si pendeta yang ikut ditembus peluru merangkak mendekatinya. Di saat menjelang kematian mereka, Bogarde yang telah memeluk agama Kristen, melihat Pendeta Mills yang mengorbankan jiwanya untuk mengkonversikannya. Ia menjadi Kristen sungguh-sungguh karena pengorbanan Pendeta Mills dan bukan karena “kebenaran” yang dibawakan dan dikhotbahkan pendeta tersebut.

Jelas dari gambaran di atas, bagi seorang Bogarde yang sudah muak dengan `kebenaran ajaran agama, yang lebih berpengaruh atas perilakunya adalah pengorbanan dari pembawa kebenaran itu sendiri. Dengan kata lain, setiap orang melihat segala sesuatu dari sudut pandangan tertentu yang terkadang kita anggap tidak penting. Permasalahannya bagi kita adalah pilihan-pilihan pandangan itu sendiri, yang sangat ditentukan oleh deskripsi yang dikemukakan. Jika ini kita abaikan, berarti kita melihat agama sebagai sesuatu yang tidak hidup, melainkan kita hanya melihat sisi universal dan ideal dari agama tersebut.

Dalam kenyataan sehari-hari kita melihat pentingnya arti deskripsi yang diberikan atas sebuah “kebenaran agama”. Akibat dari melupakan hal ini, kita lalu melakukan idealisasi universal atas ajaran agama, bukannya melihat agama sebagai sebuah proses yang dijalani secara berbeda-beda oleh orang-orang yang berlainan, dan dengan sendirinya membawa pemahaman yang tidak sama pula. Pendekatan idealisasi universal di atas memang sangat penting, tetapi juga sama pentingnya untuk melihat bagaimana pengertian orang tentang sebuah agama dibangun dari kenyataan-kenyataaan empirik dalam kehidupan kita.

Kedua pendapat di atas, yaitu pendekatan empirik di satu pihak dan pendekatan idealisme-universal di pihak lain, penting untuk sama-sama kita hayati dan kita pikirkan lebih jauh. Kepincangan untuk melihat sebuah agama dari pendekatan formal dan universal, akan menghasilkan sudut pandang ideal tanpa memahami hakikat agama itu sendiri. Sebaliknya, jika hanya menekankan diri pada aspek empirik belaka sama saja artinya dengan memisahkan kehidupan dunia dari kehidupan akhirat. Dewasa ini, kehidupan dua organisasi keagamaan Islam terbesar di negeri kita, yaitu NU dan Muhammadiyah seolah terpaku dalam pandangan universal yang idealistik, yaitu bagaimana sumber-sumber tekstual membentuk hukum agama/secara ideal; dan dari situ dibangun sebuah kerangka universal tentang kehidupan menurut ajaran Islam. Terkadang sudut pandang ini tidak bersinggungan dengan kepentingan sebenarnya di masyarakat. Umpamanya saja, mengenai perjudian dan hiburan malam. Yang lebih dipentingkan adalah melarang keduanya, tanpa menghilangkan sebab-sebab utama yang mendukungnya. Bagaimana judi akan terbasmi kalau ketidakpastian hukum masih merajalela? Bukankah yang kaya dan berpunya akan selalu memenangkan perkara hukum? Dengan ketidakpastian itu, herankah kita kalau ada orang berjudi untuk mencari kekayaan dengan cepat?

Nah, di sinilah terletak arti penting deskripsi tentang Islam. Dari manakah ia harus dilihat? Dari kenyataan hidup orang Islam (berarti deskripsi empirik), ataukah dari sudut ajaran formal (berarti pendekatan ideal formalistik) yang bersifat universal? Tergantung dari kemampuan kita menjawab hal ini dengan baik. Dari situ “nasib” sejumlah kajian Islam di berbagai lembaga penelitian dewasa ini diuji

End note:

[1] Djamil Suherman, seniman dan penulis puisi angkatan 1950-an yang terkenal dan menaruh perhatian besar terhadap pesantren serta terhadap perjuangan dan kepahlawanan kaum muda. Beberapa karyanya dibukukan dalam bentuk kumpulan puisi dan cerita-cerita pendek.

[2] Hans Bague (HB) Jassin (1917-2000) itulah nama aslinya. Sastrawan dan kritikus sastra yang lebih dikenal Paus Sastrawan dan Wali Sastra Indonesia ini adalah dokumenter sastra terbaik yang dimiliki Indonesia hingga sekarang. Lembaganya, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki menyimpan ribuan karya-karya sastra Indonesia. Gigihnya membela kebebasan berkarya membuat dia pernah divonis penjara karena menolak mengungkap penulis cerpen `Panji Kusmin yang dianggap menghina agama sehingga diseret ke pengadilan dan sampai sekarang belum terungkap siapa penulis cerpen tersebut.

[3] Nama asli novelis silat kelahiran Haining, Cina 6 Pebruari 1924 ini adalah trilogi Sia Tiauw Enghiong, Sin Tiauw Hiap Lu, dan To Liong To.

[4] Oey Kim Tiang atau OKT alias Boe Beng Tjoe alias Aulia (1903 – 1995). Pria kelahiran Tangerang ini sejak sekitar tahun 1950-an telah menerjemahkan lebih dari 100 judul cerita silat ke dalam bahasa Indonesia.

[5] Ali Akbar Navis, demikian nama lengkapnya, adalah salah satu sastrawan besar Indonesia. Mulai memperkenalkan karya-karya fiksinya kepada publik pada awal tahun 1950-an dan langsung terkenal karena ciri khas kritik sosialnya yang tajam dan terkenal satiris. Dilahirkan di Padang Panjang, Sumatera Barat, tahun 1924 Navis sampai sekarang memilih tetap tinggal di daerahnya sambil mengajar dan terus menulis. Karya-karyanya terus mengalir di media massa lokal maupun nasional. Novelnya yang paling terkenal juga sangat kritis terhadap keadaan keberagamaan yang terbit sekitar 1956 berjudul “Robohnya Surau Kami”.

[6] Sir John Mills (1908 – 2005), adalah seorang sineas terkenal asal Inggris. Dia mengabdikan hidupnya untuk film selama 70 tahun. Pernah mengembara di Hollywood, AS, tetapi kemudian kembali ke Inggris untuk menjadi penulis skenario, aktor, dan mempromosikan anak-anaknya menjadi aktor dalam berbagai film. Dua anak perempuannya menjadi aktris terkenal di Inggris. Pernah mendapatkan Oscars dalam salah satu filmnya. Film dengan judul The Singer Not the Song adalah salah satu karya diujung ketenarannya tahun 1961. Setelah itu memang masih memproduksi berbagai film tetapi tidak lagi setenar sebelumnya.

[7] Sir Dirk Bogarde (1921 – 1999). Aktor kelahiran Inggris keturunan Belanda ini bernama asli Derek Van den Bogaerde. Akhir tahun 1930 Dirk bergabung dalam Kesatuan Intelejen Foto Udara Angkatan Darat Inggris. Dia pernah ditugaskan di Jerman, India, Malaysia, dan Jawa. Dirk menulis A Gentle Tugas di Jawa.