Indonesia-Muangthai: Sebuah Kemungkinan Memperluas Kerjasama

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Seorang yang dekat dengan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra (dibaca, Cinawat) mengatakan pada penulis tentang ketidakmengertian orang-orang Thai tentang tidak terlaksananya dua buah masalah pokok yang telah disepakati antara Muangthai dan Indonesia. Yang pernah dicapai antara Perdana Menteri Thaksin dengan penulis, dalam kapasitas sebagai Presiden Republik Indonesia. Tanpa pelaksanaan kedua hal itu, yang terjadi adalah keraguan dari pihak Muangthai, benarkah orang Indonesia serius dalam melaksanakan hal-hal yang telah disepakati? Jika dapat berjalan dengan lancar, maka sekaligus akan merupakan terobosan.

Kedua hal itu adalah kesepakatan untuk memproses minyak mentah Indonesia di berbagai kilang minyak Muangthai, tujuannya untuk mengurangi ketergantungan Indonesia kepada kilang-kilang minyak Singapura. Tampaknya, para pejabat Pertamina tidak mau bersusah payah dalam hal ini, karena hanya bersedia bersandar pada keinginan pemerintah Singapura saja. Dalam pembicaraan itu penulis menyatakan bahwa mungkin pihak pemilik kilang di Singapura telah memberikan sesuatu sebagai sogokan kepada para pejabat Indonesia.

Hal kedua adalah menciptakan keseimbangan perdagangan (balance trade account) dalam perdagangan antara Indonesia-Muangthai. Dasar dari pemikiran itu, adalah apa yang dialami oleh negara-negara Eropa setelah Perang Dunia II. Waktu itu, negara-negara Eropa tidak memiliki jumlah uang yang besar, sehingga mereka tidak menggunakan uang sama sekali dalam perdagangan antarnegara di Benua Eropa. Jika hampir tutup buku, mereka cukup membandingkan neraca pembayaran antara dua negara. Dari situ akan tampak, berapa tanggungan sebuah negara pada negara yang lain sebagai hasil penyeimbangan. Hanya jumlah berlebih itulah yang harus dibayar dalam valuta asing oleh sebuah negara dalam sistem penyeimbangan itu. Hal ini dilakukan, oleh negara-negara yang kekurangan valuta asing.

*****

Bagi negara-negara berkembang, yang selalu kekurangan devisa, sebaiknya menerapkan cara ini di antara mereka. Dengan demikian, keseimbangan neraca perdagangan dapat dipelihara, tanpa menghilangkan kewajiban menyelesaikan jumlah-jumlah selisih antara mereka dalam neraca pembayaran. Hanya dengan cara inilah dapat dilakukan kerjasama untuk melawan kekuasaan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat. Namun, keinginan mulia Muangthai justru tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia sekarang yang sedang mengalami krisis multidimensional. Ini adalah hal yang sangat mengherankan Muangthai sendiri.

Penulis menyatakan, tidak usah heran dengan sikap tersebut. Karena Indonesia sangat tergantung kepada mitranya dari negara-negara berteknologi maju, dan kurang memperhatikan sesama negara melarat. Ini tentu disebabkan oleh kecenderungan para penguasa negara untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, baru setelah itu memikirkan kepentingan negara. Mentalitas inilah yang diketahui para pengusaha negara-negara berteknologi maju, hingga upeti tertentu dapat dibayarkan untuk kepentingan kalangan pejabat di negeri ini.

Keheranan teman-teman di Muangthai itu segera terjawab karena sebab-sebab tadi. Nyata benar, sikap para penyelenggara pemerintahan, dapat menimbulkan dampak-dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi negeri ini. Karenanya, patutlah pertimbangan Paul Krugman, seorang maha guru ekonomi dari MIT (Massachusset Institute of Technology) bahwa selama birokrasi pemerintah di Indonesia berjumlah terlalu besar dan belum bersih betul dari korupsi, selama itu pula jangan diharapkan untuk bisa sukses ketika keluar dari IMF (International Monetary Fund). Selama kebersihan birokrasi pemerintah tidak diperhatikan, maka jangan diharapkan akan tumbuh sikap yang memandang perlu memelihara kepentingan orang banyak.

*****

Jelas dari uraian diatas, hubungan sehat dalam perdagangan antarnegara sangat tergantung pada kesehatan birokrasinya. Sikap inilah yang tidak pernah mendapatkan perhatian serius kita dalam penyelenggaraan kemitraan dengan sesama negara berkembang, baik dalam lingkungan ASEAN maupun di luarnya.

Karena itu, kita tidak perlu heran dengan pertanyaan orang-orang Muangthai yang menanyakan keseriusan untuk bermitra antara sesama Negara ASEAN, maupun antara sesama negara berkembang. Dan jangan heran dengan keluhan para pengamat luar dan dalam negeri, karena sebenarnya kita juga tahu akibat yang ditimbulkan penyelenggara pemerintahan, bersumber dari pemahaman mereka atas situasi yang dipengaruhi oleh kepentingan pribadi masing-masing.

Dengan menelaah apa yang terjadi dalam proses pengambilan keputusan tadi, tentu saja keinginan penulis untuk mewujudkan sebuah prinsip bekerjasama antara sesama negara berkembang sering kali diabaikan, seperti halnya bagaimana kita menyambut sebuah investasi yang akan menguntungkan daerah. Keinginan penulis untuk mewujudkan segala sesuatu yang produktif, antara para pejabat Muangthai dengan pejabat Indonesia ternyata masih harus ditunda lagi, hingga entah kapan terwujudnya. Jadi tidak heranlah jika kepentingan negara-negara berteknologi maju lebih diutamakan oleh para penyelenggara pemerintahan kita saat ini.