Sikap yang Benar dalam Kasus Bali

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pada saat tulisan ini dibuat, terjadi perbedaan pendapat tajam mengenai kasus peledakan bom di Bali. Adakah itu ulah Abu Bakar Ba’asyir atau tidak. Yang terlibat perbedaan ini adalah para pejabat pemerintah melawan “orang luar” seperti Emha Ainun Nadjib dan Dr. Adnan Buyung Nasution, SH. Pemerintah beralasan penangkapan Abu Bakar Ba’asyir, adalah usaha mencari bukti hukum adakah orang itu terlibat dengan peledakan bom tersebut atau tidak. Karena itulah, Abu Bakar Ba’asyir diambil dari Rumah Sakit PKU di Solo, dan dipindahkan ke Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta. Diharapkan dengan demikian, penyelidikan dapat segera dimulai oleh aparat kepolisian, dengan harapan persoalannya akan segera diketahui dan orang itu akan dibawa ke pengadilan kalau ada bukti ia bersalah.

Di Australia, hari minggu 20 Oktober 2002 menjadi hari berduka. Gereja-gereja dan tempat-tempat beribadah lainnya melakukan kebaktian duka bagi para korban peledakan bom di Bali itu. Semenjak Perang Dunia II lebih dari 50 tahun yang lalu, jumlah orang Australia yang meninggal dunia akibat tindak kekerasan belum pernah sebesar itu, karena itu dapat dimengerti kemarahan orang-orang Australia yang menuntut segera dibuktikannya para pelaku tindak kekerasan peledakan bom di Bali tersebut. Dapat dimengerti, walaupun juga harus disesalkan tindakan pengerusakan masjid oleh sementara orang yang marah di benua Kanguru itu. Juga dapat dimengerti pengiriman para penyelidik Australia dan Amerika Serikat untuk mengetahui para pelaku kasus itu, karena hilangnya kepercayaan, apakah benar pemerintah Indonesia akan menyelidiki secara tuntas kasus tersebut.

Kecenderungan menyalahkan Abu Bakar Ba’asyir dan kawan-kawannya dari “gerakan Islam garis keras”, dilawan oleh sementara kalangan dalam negeri sendiri. Emha Ainun Nadjib menyatakan di Radio Ramako, Jakarta, bahwa Abu Bakar Ba’asyir tidak akan melakukan hal itu. Walaupun ia menyesalkan sikap Abu Bakar Ba’asyir yang tidak kooperatif dengan siapa pun dalam hal ini. Tetapi, Abu Bakar Ba’asyir telah siap menerima akibat sikap non-kooperatifnya. Menurut Emha Ainun Nadjib, Ba’asyir termasuk menjadi “martir-syahid” bagi agama Islam. Dr. Adnan Buyung Nasution SH menyatakan di media massa, adanya anggapan dari luar negeri, bahwa Abu Bakar Ba’asyir menjadi aktor intelektual kejadian pengeboman tersebut, karena itu ia bersedia menjadi pembela tokoh tersebut. Benarkah sikap itu? Tidak, kalau ia berpendapat Abu Bakar Ba’asyir tidak bersalah. Proses pengadilanlah yang akan membuktikan hal itu benar atau tidaknya. Bukan karena tokoh seperti dirinya, dan juga bukan karena hakim yang kita belum tahu termasuk mafia pengadilan atau tidak.

Karena kita mudah menjadi partisan dalam perbedaan pendapat yang terjadi, lalu kita mudah memihak kepada pendirian yang kita anut. Juga dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir ini, yang jika disarikan berbunyi: “Benarkah ia terlibat dengan kejadian peledakan bom di Bali itu?” “Tidakkah ia menjadi korban baru konspirasi asing/komplotan untuk memburukkan nama Indonesia dan Islam?” Inilah yang harus diperiksa dengan teliti, dan sebuah jawaban yang salah akan berakibat buruk bagi Indonesia, maupun pihak-pihak asing itu. Kejadian ini mengingatkan kita pada sikap Senator Robert E. Taft dari negeri bagian Ohio, Amerika Serikat. Ia dalam tahun 1948 mengajukan kritik atas pengadilan terhadap diri para pemimpin Nazi di Jerman, dan menghukum mati mereka di tiang gantungan. Menurut Taft, tindakan itu melanggar Undang-Undang Dasar Amerika Serikat. Dan untuk sikapnya membela kebenaran itu, ia kehilangan pencalonan untuk menjadi Presiden Amerika Serikat.

Dalam kasus pengeboman di Bali itu, sikap Emha Ainun Nadjib dan Dr. Adnan Buyung Nasution SH itu jelas menimbulkan keberpihakan kepada Abu Bakar Ba’asyir. Dari situ muncul penilaian, sikap mereka itu memiliki landasan empirik dan semangat orang-orang asing yang menganggap Ba’asyir terlibat dalam kasus ini, tidak memiliki landasan empirik. Tentu saja kita tidak boleh gegabah menyimpulkan demikian, karena kita adalah negara besar dan memiliki Undang-Undang Dasar (UUD), yang dalam pembukaan UUD disebutkan untuk mendirikan negara yang adil dan makmur. Kalau kita menyimpang dari hal itu, berarti kita tidak setia kepada UUD itu, yang kita buat sendiri dan seharusnya kita pertahankan habis-habisan.

Tetapi, sikap sama tengah seperti ini, memang tidak populer. Lebih mudah untuk mengikuti salah satu dari dua buah pendapat tersebut: “Abu Bakar Ba’asyir memang terlibat dengan kasus pengeboman di atas, atau sebaliknya ia tidak bersalah sama sekali.” Sikap tidak populer ini jarang diambil orang, karena menampilkan pendapat pertama maupun pendapat kedua. Dengan kata lain, sikap ini memang tidak populer, tetapi harus kita ambil, kalau kita cinta kepada undang-undang sendiri. Penilaian dini, baik yang pro dan kontra, mengenai keterlibatan Abu Bakar Ba’asyir dalam kasus peledakan bom di Denpasar itu, sama artinya dengan mengkhianati UUD kita sendiri. Karenanya, mau tidak mau kita harus mengambil sikap tegas, yaitu melakukan tindakan berdasarkan hukum yang tuntas tentang hal itu. Sikap lain kita tidak terima karena kita sudah terlalu lama menderita akibat penyimpangan-penyimpangan serius atas UUD kita sendiri.

Emha Ainun Nadjib, dalam wawancara Radio Ramako, menyatakan bahwa Umar Farouq yang kini ditahan CIA di Amerika Serikat adalah pria kelahiran Ambon dan dengan demikian seorang warga negara asli Indonesia. Dengan demikian, pengakuan bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah bagian dari jaringan internasional Al-Qaeda, tidak dapat diterima. Ini tentu saja bertentangan dengan versi pihak Amerika Serikat yang menyatakan bahwa Umar Farouq adalah pria Kuwait yang beroperasi dan kawin lagi di Tanah Air kita. Salah seorang anak buahnya adalah Abu Bakar Ba’asyir. Manakah di antara dua versi itu yang dapat diterima? Tentu saja hanya kenyataan empirik mengenai Umar Farouq itu yang dapat dibenarkan. Berarti, harus ada orang dari pihak ketiga untuk memberikan kesaksian tentang mana yang benar dari kedua versi di atas.

Karena itu, penulis mengusulkan agar dibentuk sebuah komisi independen yang harus meneliti kenyataan empirik mengenai Umar Farouq itu. Orang Ambon, bagaimanapun juga tentu berbeda dari orang kelahiran Kuwait, sehingga dengan pertemuan langsung, antara satu-dua orang anggota komisi independen itu dengan Umar Farouq, akan memungkinkan mereka menetapkan adakah pria tersebut memang orang Ambon atau orang Kuwait. Kalau ia ternyata orang kelahiran Ambon berarti pengakuannya akan Abu Bakar Ba’asyir seorang teroris internasional otomatis gugur, dan ia haruslah dihukum karena menuduh dengan cara fitnah, seorang warga negara Indonesia bernama Abu Bakar Ba’asyir. Kalau yang terjadi justru sebaliknya, pengakuan Umar Farouq mempunyai nilai yang sangat tinggi, dan pemeriksaan lebih mendalam harus dilanjutkan, atau klaim bahwa Ba’asyir tidak berdosa harus diragukan.

Demikianlah, usul jalan tengah dari penulis melalui tulisan ini, yang sangat berbeda dari apa yang dikemukakan Emha Ainun Nadjib, Dr. Adnan Buyung Nasution dan Wakil Presiden Hamzah Haz. Mereka melihat masalahnya dari sudut pro dan kontra sehingga mereka lupa akan perlunya verifikasi empirik, yaitu dengan membentuk sebuah komisi independen. Usul pembentukan komisi tersebut semata-mata didasarkan pada obyektifitas sikap dan pandangan, sehingga memiliki kredibilitas yang cukup tinggi. Obyektifitas ini sangat diperlukan untuk menilai sikap dan pandangan kita dalam menentukan secara hukum formal, mana yang benar antara dua versi yang bertentangan mengenai sebuah kejadian.