Benarkah Mereka Terlibat Terorisme?

Suspected Indonesian bombmaker Umar Patek (C) waves his hand to journalists as he arrives at the West Jakarta court prior to his trial in Jakarta on March 12, 2012. Patek, 45, faces six counts of murder, bomb-making and illegal firearms possession over the 2002 Bali nightclub attacks, and prosecutors say they will push for the death penalty. AFP PHOTO / ADEK BERRYTerdakwa Umar Patek melambaikan tangan ke arah wartawan saat tiba di PN Jakarta Barat. FOTO : ADEK BERRY/AFP

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Beberapa waktu yang lalu, penulis diwawancarai oleh wartawan dari Televisi SBS (Special Broadcasting System) dari Melbourne, Australia di lapangan terbang Cengkareng, sekitar jam 5.30 WIB. Ada tiga buah pertanyaan mendasar yang diajukan pada penulis. Pertanyaan pertama berkisar pada masalah mengapa penulis menganggap Abu Bakar Ba’asyir sebagai teroris? Penulis menjawab, bahwa laporan intelijen dari lima negara menyebutkan hal tersebut. Termasuk di dalamnya intelijen Malaysia dan Amerika Serikat, yang sejak dahulu tidak pernah ada kecocokan antara keduanya. Karena itu penulis mengacu hadis Nabi Saw menyatakan: “Kalau suatu masalah tidak diserahkan pada ahlinya, tunggulah datangnya kiamat” (idzâ wushida al ‘amru ilâ ghairi ahlihî fa intadziri al-sâ’ah). Jadi, sikap penulis itu sudah benar menurut ketentuan agama, dan kalau terbukti ada masalah lain akan diperiksa di kemudian hari.

Beberapa hari sebelum itu, budayawan Emha Ainun Nadjib menyatakan dalam salah satu wawancara di Radio Ramako, bahwa keterangan mengenai keterlibatan Abu Bakar Ba’asyir dalam terorisme, didasarkan pada pengakuan Umar Farouq pada pihak Amerika Serikat (AS). Menurut Emha, pengakuan Umar Farouq tidak dapat diterima kebenarannya, karena ia berasal dari Ambon. Umar Farouq, demikian Emha menyimpulkan, adalah lawan Abu Bakar Ba’asyir. Seolah-olah Emha mengikuti pendapat Al-Isfarayini bahwa pendapat seseorang tentang musuh atau lawannya tidak dapat diterima (la yuqbalu qaulu mujtahid ‘an-khashmihi). Benarkah pendapat Emha ini? Penulis mengusulkan dalam sebuah konferensi pers sehari setelah itu, agar dibuat komisi independen yang terdiri dari para ahli hukum dan wakil-wakil masyarakat, untuk meneliti mana yang benar: pengakuan CIA (Central lntelligence Agency) ataukah Emha?

Sedangkan pendapat Wakil Presiden Hamzah Haz agar Umar Farouq dibawa ke negeri ini untuk ditanyai, tidak sesuai dengan kenyataan. CIA tidak akan mau mengirimkannya ke negeri ini, karena khawatir jika tidak dilakukan penyelidikan dengan benar. Sedangkan kalau dia diadili di sini (Indonesia), kemungkinan mafia peradilan akan membebaskannya dari tuduhan tersebut. Bukankah segala hal dapat dibeli di negeri ini? Demikian burukkah citra kita di dunia internasional, hingga harapan seorang tokoh -seperti seorang Wakil Presiden Republik Indonesia (RI)- disepelekan oleh pihak luar negeri? Tentu saja kita tidak akan marah melihat kenyataan ini, karena hal itu adalah kesalahan kita sendiri sebagai bangsa, yakni dengan membiarkan semua hal itu tanpa koreksi.

Lain halnya dengan Robert Gelbard, mantan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia. Ia menyatakan kepada pers Australia, bahwa ia kecewa karena telah memberitahukan kepada pemerintah RI, ada gerakan-gerakan yang mencurigakan di Indonesia. Tetapi tidak ada upaya sungguh-sungguh yang memperhatikan hal ini, dan menangkal kemungkinan terjadinya terorisme di negeri ini. Penulis sendiri sebagai presiden pada waktu itu, tidak pernah mendapat peringatan seperti itu secara langsung dari Gelbard. Ini berarti ada pihak pemerintahan yang menutupi keterangan itu dari pengetahuan penulis.

Hal ini tidak mengherankan dan penulis menyatakan pada TV SBS, pada waktu itu —baik Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Widodo AS maupun Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapoiri) Jenderal Polisi S. Bimantoro tidak mau melaksanakan perintah Presiden. Ketika lengser dari kursi kepresidenan, penulis menanyakan kepada Mahkamah Agung (MA), adakah tindakan kedua orang itu merupakan insubordinasi?

Sampai hari ini pun, MA tidak pernah menjawab pertanyaan penulis, yang berarti juga bahwa lembaga itu telah melanggar hukum dan undang-undang dasar. Keterangan Gelbard pada pers Australia tersebut, menunjukkan bahwa dalam tubuh TNI, Polri maupun aparat pemerintahan kita memang terdapat perbedaan pendapat yang tajam. Ada pihak yang mencoba menutup-nutupi informasi hingga pemerintahan tidak berjalan secara obyektif. Herankah kita, jika akhirnya kebijakan pemerintah menjadi sulit dirumuskan? Apalagi kalau presidennya tidak mau aktif menyusun kebijakannya sendiri, melainkan menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada aparat di bawahnya. Ditambah Presiden berbeda paham dengan Wakil Presiden, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) dan sebagainya.

Juga, tidak ada kejelasan mengenai sikap yang diambil Megawati Soekarnoputri dalam pemerintahannya. Umpamanya, mengenai orientasi pejabat di bawahnya. Ia mengangkat Bambang Kesowo, seorang etatis (paham serba negara). Dan kombinasinya adalah Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebelum bulan puasa telah memutuskan harus terkumpul uang sebanyak lima triliun rupiah untuk menghadapi Pemilihan Umum 2004 mendatang. Dari manakah akan diperoleh dana sejumlah itu? Apakah dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara)? Tetapi, Megawati juga mengangkat Dorodjatun Kuntjorojakti dan Budiono sebagai Menteri Koordinator (Menko) Ekuin dan Menteri Keuangan, -keduanya orang teknokrat yang percaya pada privatisasi/swastanisasi. Lalu, ke manakah orientasi ekonomi yang diikutinya? Tidak pernah jelas sampai sekarang, karena ia berdiam diri saja tentang pilihan yang diambilnya. Ironis memang!

Penulis tertarik pada ucapan Habib Husein Al-Habsyi dari Pasuruan, yang menyatakan peristiwa ledakan bom atas Candi Borobudur adalah rekayasa Ali Murtopo yang kemudian didakwakan pada dia sebagai pelakunya. Ketika TV SBS menanyakan hal itu penulis langsung menjawab, Habib tersebut adalah pembohong. Mengapa? Karena ia sudah dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri, dan ia pun di penjara di Lowok Waru, Malang. Walaupun melalui seorang perwira tinggi TNI, penulis berhasil membebaskan dia dari penjara, tapi apa yang didapatkan penulis? Ternyata ia menyatakan di mana-mana bahwa penulis tersangkut dengan kasus Bruneigate dan Buloggate, di samping hal-hal lain. Itu semua adalah isapan jempol belaka, karena sampai hari ini baik melalui pembentukan Pansus DPR ataupun jalan lain, penulis tidak pernah terbukti melakukan hal-hal yang dituduhkan. Bukankah dengan demikian ia menjadi pembohong?

Kalau seseorang berbohong tentang sesuatu hal, dapatkah keterangannya bisa dipercaya? Karenanya, kita harus hati-hati menerima keterangan orang tersebut, bahwa ada rekayasa Ali Murtopo yang membuat Habib tersebut mendapatkan hukuman seumur hidup. Ini tidak berarti, bahwa penulis pembela Ali Murtopo. Tetapi kita harus berhati-hati dalam menerima keterangan orang tentang diri pejabat berbintang tiga (Letjen TNI) itu. Hanya dengan sikap obyektif seperti itulah kita dapat mempertahankan integritas pribadi di masa-masa sulit ini. Sebab jika tidak kita akan kehilangan obyektivitas atau takut mengemukakannya dengan banyak orang tidak akan percaya lagi pada kita.

Itulah kira-kira reaksi/jawaban penulis atas deretan pertanyaan yang dikemukakan oleh wartawan TV SBS. Mudah-mudahan dengan demikian, publik internasional akan mengetahui keadaan sebenarnya di negeri kita, yang terkait dengan hal-hal yang ditanyakan kepada penulis di lapangan terbang Juanda, Surabaya ini dan jawabannya disiarkan malam harinya di Australia. Namun, tentu akan ada yang bertanya, bijaksanakah hal ini? Jawaban penulis terhadap pertanyaan tersebut adalah kejujuran merupakan kunci pemecahan masalah yang kita hadapi sebagai bangsa dewasa ini. Dengan kejujuran inilah kita akan mengatasi krisis multidimensional. Ukuran kejujuran inilah yang akan menentukan kualitas kita sebagai bangsa. Kedengarannya sederhana tapi sulit dilaksanakan, bukan?