Islam dan Idiosinkrasi Penguasa

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Idiosinkrasi adalah sifat-­sifat perorangan yang khusus ada pada seseorang, yang membuat ia menjadi lain dari orang kebanyakan. Dalam sejarah Islam, hal ini juga tampak secara jelas, walaupun ia juga ada di kalangan non­muslim. Kalau idiosinkrasi ada dalam diri penguasa muslim, maka ia akan dimaafkan, karena orang itu banyak jasanya dalam bidang­-bidang lain untuk kepentingan bersama. Baik di masa kuno maupun di masa sekarang, ataupun di masa yang akan datang, idiosinkrasi itu akan tetap ada dan akan dibiarkan selama tidak merugikan kepentingan orang banyak.

Seperti Sultan Agung Hanyakrakusuma, seorang penguasa yang dinilai berjasa sangat besar bagi kepentingan orang banyak. Salah satu kelebihannya adalah kemampuannya dalam membangun sistem birokrasi agraris untuk mencapai kemajuan pertanian yang tidak pernah surut semasa hidupnya. Sebaliknya, salah satu kekurangannya adalah ketidakmampuannya dalam menggunakan kekuatan laut untuk kejayaan bangsa yang dipimpinnya. Karena itu, kekuatan laut dari berbagai kota pelabuhan dalam masa pemerintahan Mataram saat itu, merupakan saingan politik yang harus dihancurkan.

Salah satu idiosinkrasi yang dimiliki Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah kegemarannya menyiksa para oposan politik yang menentangnya. Terkenal sekali deskripsi bagaimana ia bercengkerama dengan para dayang di atas taman/gazebo di atas air, dan para tahanan politik dibiarkan berkumpul di atas tanah (seperti pulau kecil) yang ada di tengah kolam. Dan, pada saat yang ditentukan, ia membiarkan para pengawal melepaskan beberapa buaya yang merayap ke “pulau” itu dan memakan para tawanan politik yang tak bersenjata. Anehnya, ia tampak menikmati bagaimana lawan-­lawan politiknya menjerit ketakutan sebelum dimangsa buaya-­buaya buas tersebut.

Sultan Trenggono dari Demak, dalam abad sebelumnya, sangat tertarik dengan seorang wanita cantik, yang kebetulan menjadi istri muda Ki Pengging Sepuh, salah seorang panglimanya. Suatu ketika, Ki Pengging diperintahkan sang Sultan untuk menyerbu daerah­-daerah non­muslim di Jawa Timur, dan akhirnya ia pun gugur di daerah Pasuruan (Segarapura, Kemantren Jero, kini terletak di Kecamatan Rejoso). Maka, seiring dengan kematian Ki Pengging Sepuh itu, segera setelah habis masa iddah si perempuan muda dan cantik itu pun diambil Sultan Trenggono sebagai istri selir. Idiosinkrasi pemimpin Kesultanan Demak tersebut menunjukkan, bahwa motif pribadi dapat saja mendorong seorang penguasa untuk mengambil tindakan atas nama agama, dalam hal ini “pengislaman daerah Pasuruan”.

Drama seperti itu menunjukkan bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi akan membuat seorang penguasa pada akhirnya menjadi lalim dan mempersamakan kepentingan pribadi dengan kepentingan bangsa secara utuh. Hal ini juga mendera para pemimpin seperti Mao Zedong (RRT) dan Kim Il Sung (Korea Utara). Begitu lama mereka berkuasa, tanpa berani ada yang menentang secara terbuka, hingga memaksa orang banyak untuk melawan dengan cara mereka sendiri.

Dengan demikian, masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana membatasi para pemegang kekuasaan, baik waktu maupun wewenangnya. Tanpa ada kepastian dalam hal itu, maka demokrasi tidak akan pernah berdiri dalam negara yang bersangkutan. Demokrasi bukanlah sekedar aturan permainan kelembagaan yang berdasarkan formalitas belaka, melainkan menciptakan tradisi demokrasi yang benar­-benar hidup di kalangan rakyat. Para penguasa yang demikian lama menguasai pemerintahan, seperti yang terjadi di sebagian negara, jelas-­jelas tidak demokratis walaupun mereka melaksanakan aturan kelembagaan yang ada. Tanpa mengembangkan tradisi demokrasi dalam lembaga­-lembaga yang bersangkutan, klaim sejumlah pemimpin bahwa di negara mereka sudah tercipta demokrasi, yaitu dengan adanya pemilihan umum yang teratur, jelas merupakan pelanggaran terhadap gagasan demokrasi itu sendiri.

Hal itulah yang harus diingat ketika seorang penguasa menyatakan akan membangun demokrasi dalam konsep negara Islam. Pendapat tersebut mengabaikan dua hal, di satu pihak yaitu adanya idiosinkrasi para penguasa. Di pihak lain terjadi demokrasi sebagai formalitas saja. Keduanya merupakan sesuatu yang harus dihilangkan dalam konsep tersebut. Dengan kata lain, sebuah konsep tentang negara dalam Islam, tidak dapat hanya terkait dengan idealisme kekuasaan itu sendiri, melainkan juga terkait kepada mekanisme apa yang digunakan.

Kenyataan seperti itulah yang pada akhirnya memaksa Kongres Amerika Serikat (AS) untuk membatasi kepresidenan di negara itu hanya dalam masa dua term saja, pada paruh pertama abad yang lalu. Pembatasan itu tadinya hanya bersifat tradisi, yang diambil oleh Presiden Amerika Serikat semenjak George Washington. Namun karena Franklin Delano Roosevelt (FDR) terpilih kembali untuk keempat kalinya pada tahun 1944, walaupun secara efektif kekuasaan berada di tangan pembantunya yaitu Harry Hopkins [1]. Kongres kemudian mengubah undang-­undang, dengan membatasi masa jabatan Presiden Amerika Serikat hanya untuk dua kali empat tahun saja [2].

Jelaslah dengan demikian, bahwa membuat konsep tentang sebuah negara demokratis bukanlah hal yang mudah. Apa­lagi jika hal itu dikaitkan dengan sebuah agama, seperti konsep negara dalam Islam. Ini belum lagi diingat, bahwa para pemilih senantiasa berkembang dalam pikiran dan perasaan — seperti yang terjadi di Republik Islam Iran saat ini. Dahulu para pemilih di sana mendukung para Ayatullah konservatif, sekarang justru mendukung para Ayatullah dan para pemimpin moderat, seperti Presiden Khatami.

Ada keharusan menjawab pertanyaan yang belum juga dilaksanakan oleh Parlemen Iran hingga saat ini, yaitu membiarkan orang­-orang yang tidak beragama Islam atau yang dianggap demikian oleh Parlemen Iran, mencalonkan diri sebagai presiden. Bukankah hal itu menunjukkan ketakutan bahwa orang­ orang non­muslim akan dapat menjadi presiden, dan bukankah ketakutan seperti itu menunjukkan para legislator Iran membatasi demokrasi itu sendiri? Kalau kecenderungan moderatisme di Iran berlangsung terus, hal ini akan menjadi tekanan terhadap para anggota parlemen yang membuat undang­-undang tentang syarat­-syarat pemilihan presiden agar tidak bertentangan dengan demokrasi.

Catatan kaki:

[1] Walaupun tidak pernah secara resmi menjadi Wapres, namun Harry Lloyd Hopkins yang juga arsitek kebangkitan ekonomi Amerika Serikat atau New Deal, amat dipercaya FDR dalam menjalankan program-­program politiknya.

[2] Konstitusi Amerika (1787) semula tidak membatasi masa jabatan presi­den. Belajar dari masa kepresidenan Franklin D. Roosevelt (1933­1945) yang menjabat lebih dari 3 kali masa jabatan, maka agar siklus kepemimpinan demokrasi tetap terpelihara, Kongres membatasi masa jabatan presiden melalui Amandemen ke­-XXII yang disetujui Kongres pada tanggal 12 Maret 1947, di­ratifikasi tanggal 26 Februari 1951.