Doktrin dan Tembang

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam budaya Jawa, dikenal tembang anak-anak “Lirilir”. Demikian terkenalnya tembang anak-anak itu, sehingga ia sering terdengar dibawakan bocah angon di atas punggung kerbau pada sebuah sawah yang sedang kering kerontang di musim kemarau. Apa yang istimewa dari tembang tersebut, hingga perlu diketengahkan melalui tulisan ini? Apakah penulis kehabisan bahan untuk dibahas, hingga barang sekecil itu diketengahkan kembali dalam forum mulia ini? Bukankah itu sebuah tanda, bahwa penulis hanya mengada-ada, dan membahas sesuatu yang tidak ada artinya?

Sebenarnya, tidak demikian benar halnya. Justru dengan mengungkapkan adanya hubungan antara akidah Islam dan tembang anak-anak di atas, penulis ingin mengemukakan sebuah pendekatan strategis yang ditempuh para pejuang muslim di kawasan budaya tersebut di masa lampau. Penulis ingin mempertanyakan pendekatan strategis itu, benarkah memiliki validitas di masa lampau, di waktu sekarang dan di masa depan? Kalau penulis dapat mengajak para pembaca tulisan ini untuk turut memikirkannya, tercapailah sudah tujuan penulis membahas masalah ini. Sebuah kerja sederhana, yang menyangkut masa depan umat Islam di negeri ini. Adakah sesuatu yang lebih mulia dari maksud di atas?

Terus terang saja, artikel ini diilhami oleh beberapa tindak kekerasan atas nama Islam yang terjadi di berbagai kawasan negara kita dalam masa setahun dua terakhir ini. Seolah-olah strategi yang ditempuh melalui pendekatan sistematik itu, harus dilaksanakan dengan menggunakan kekerasan. Mungkin, karena pemahaman bergaris keras dan bersifat militan dalam membela agama Islam, di hadapan berbagai macam tantangan dewasa ini yang mengakibatkan jawaban militan dan “bernada keras” tersebut, bersamaan waktunya dengan berbagai macam sweeping dan sejenisnya, maka perlawanan militan disamakan dengan penggunaan kekerasan.

*****

Tembang anak-anak berjudul “ilir-ilir” di atas, sebenarnya sudah berusia ratusan tahun, ia menjadi bagian inheren dari sebuah pendekatan strategis yang dibawakan Sunan Ampel di akhir masa kejayaan Majapahit. Dalam tembang itu tergambar jelas pendekatan beliau dan rekan-rekan terhadap kekuasaan, sebuah model perjuangan yang menurut penulis, baik untuk dijadikan kaca pembanding saat ini. Ketika itu, para Wali Sembilan (Wali Songo) di Pulau Jawa sedang mengembangkan dengan sangat baik sistem kekuasaan yang ada. Gerakan Islam di waktu itu dengan sengaja mengusahakan hak bagi para penganut agama tersebut untuk bisa hidup di hadapan raja-raja yang sedang berkuasa di Pulau Jawa. Cara mengusahakan agar hak hidup itu diperoleh, adalah dengan mengajarkan bahwa kaum muslimin dapat saja mempunyai raja/penguasa non-muslim, seperti Sunan Ampel mengakui keabsahan Brawijaya yang beragama Hindu-Buddha (Bhairawa) tersebut. Inilah yang akhirnya membuat Brawijaya V beragama Islam pada masa akhir hayatnya dengan gelar Sunan Lawu. Nah, strateginya untuk memperkenalkan agama Islam kepada sistem kekuasaan yang ada, sangat jelas memberikan arti pendekatan budaya daripada pendekatan ideologis yang sangat berbau politik. Dalam kerangka “membudayakan” sebuah doktrin kalangan ahlus sunnah tradisional itulah, sebuah doktrin sentral dikemukakan melalui sebuah tembang anak-anak.

Doktrin yang dimaksud adalah pandangan kaum Sunni tradisional itu ialah yaitu adanya kewajiban tunduk kepada pemerintah oleh semua kaum muslimin tanpa pandang bulu. Di kalangan mereka ada ungkapan “para penguasa lalim untuk masa 60 tahun, masih lebih baik dari pada anarki sesaat” (imâmun fâjirun siththîna âmman khairun min faudhâ sâ ‘atin). Ketundukan kepada penguasa ini sebenarnya adalah doktrin kaum Sunni tradisional, yang sudah tentu sangat berlawanan dengan berbagai ajaran dan orang-orang seperti Imam Ayatullah Khomenei dan Ali Syariati. Ketundukan itu, sama sekali tidak memperhitungkan penggunaan kekuasaan secara salah. Tentu saja strategi kaum Sunni tradisional ini sangat berbeda dengan kecenderungan perjuangan politik dan ideologis banyak kalangan, yang lebih mementingkan pendekatan politik.

*****

Doktrin di atas oleh Sunan Ampel dimasukkan dalam tembang “Lir-ilir”, dalam ungkapan yang sesuai dengan budaya penguasa Jawa di Majapahit. Blimbing untuk mencuci pakaian yang sobek pinggirnya, perlambang rakyat yang tidak mempunyai kekuasaan apapun. Baju sobek itu dipakai untuk menghadap raja (seba), karena lingkaran menghadap raja masih lebar, dan sinar rembulan menyinari lingkaran (pumpung jembar kalangane, pumpung padang rembulane). Tampak di situ bagaimana Sunan Ampel menggunakan simbol-simbol budaya Jawa dalam hubungan masyarakat dengan penguasa, yang sama sekali tidak ideologis.

Dalam kasus ini terlihat, kedua pendekatan budaya dan ideologis saling bertentangan. Dalam pendekatan yang menggunakan strategi budaya tadi, kaum muslimin tidak diseyogyakan menggunakan ideologi untuk mengubah kultur masyarakat atas nama agama. Biarlah struktur itu, berubah dengan sendirinya melalui pranata-pranata lain, sejarah jualah yang akan menunjukkan kepada kita perubahan-perubahan yang akan terjadi. Karenanya, strategi semacam ini selalu berjangka sangat panjang, dan meliputi masa yang sangat panjang pula, yaitu berubah dari generasi ke generasi.

Berbeda dengan strategi budaya itu, strategi ideologis senantiasa menekankan diri pada pentingnya mengubah struktur masyarakat, dan mengganti sistem kekuasaan yang ada, guna menjamin berlangsungnya perubahan politik dalam sistem kekuasaan yang bersangkutan. Dalam hal ini, sering dilupakan pilihan-pilihan rakyat akan sistem kekuasaan yang mereka ingini. Yang penting, sang pemimpin dan teman-teman seideologinya memegang tampuk kepemimpinan dan mengubah struktur masyarakat yang dimaksudkan. Di sini berlakulah apa yang dikatakan Vladimir Illyich Lenin dalam pamfletnya “penyakit kiri kekanak-kanakan kaum revolusioner” (The Infantile Disease of ‘Leftism’ in Communism), yaitu perjuangan yang selalu menekankan keharusan sukses akan dicapai semasa sang aku masih hidup. Ini terjadi, kaum komunis di bawah Lenin-Mao Zedong, di kalangan kaum nasionalis di bawah Soekarno, dan gerakan Islam di bawah pimpinan Imam Khomenei dan kawan-kawan yang sekarang menguasai Dewan Ulama (Khubrigan), yang oleh pers Barat disebut sebagai ulama konservatif. Herankah kita jika orang-orang seperti Presiden Iran, Mohammad Khatami, lalu berhadapan dengan mereka, karena strategi budaya yang dianutnya?