Memandang Masalah dengan Jernih

Prime Minister Kuan Yew Lee (Rear C) in conference with Labor leaders during strike treat. (Photo by Larry Burrows/The LIFE Picture Collection/Getty Images)

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam keterangannya yang dimuat Far Eastern Economic Review (FEER) edisi 12 Desember 2002, Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew, menyatakan dia telah bertanya kepada orang-orang muslim gerakan radikal dari Asia Tenggara. Pertanyaannya, apa sebab mereka mengubah citra moderat kaum muslimin di Asia Tenggara menjadi radikalisme berlebihan? Bagi penulis, pendapat Lee Kuan Yew tidak dapat diperhitungkan dalam pandangannya mengenai Islam di Indonesia. Karena itu dia mengajukan pertanyaan yang salah, seperti yang diajukannya kepada gerakan Islam radikal: Mengapakah Anda membuat citra Islam di Asia Tenggara menjadi begitu buruk dengan meledakkan bom? Sedangkan tadinya citra agama Islam di kawasan ini begitu moderat? Mengapa penulis menganggap pertanyaan itu salah, dan karena itu menilainya naif? Bukankah ini sebuah “tuduhan berat” terhadap seorang pengamat sekaliber Lee yang kawakan menguasai dunia perpolitikan di Singapura?

Tentu saja penulis mempunyai dasar yang cukup bagi “tuduhannya” itu. Pertama, karena hal itu di kemukakan oleh tokoh tersebut, dengan sendirinya didengarkan oleh banyak pihak, terutama pengambil keputusan di Barat. Karena itu, kalau memang benar pernyataan Lee Kuan Yew itu salah atau naif, maka harus segera dikoreksi. Koreksi itu harus segera dilakukan sebelum pernyataan itu disimpulkan sebagai “kebenaran” oleh para pengambil keputusan di Barat. Demikian juga sebelum “kebenaran” tersebut dipakai sebagai landasan berpikir oleh para pengamat di seluruh dunia.

Walhasil, pendapat dari seorang tokoh seperti pimpinan Singapura itu haruslah kita bedah dan koreksi bilamana perlu. Kegagalan melakukan hal ini amat sangat merugikan bagi perkembangan Islam di seluruh dunia. Karenanya tulisan ini dibuat sebagai referensi atas ucapannya tersebut.

Kedua, agama Islam selama ini telah menjadi korban dari sekian banyak anggapan. Karenanya diperlukan “keberanian moral” untuk memulai langkah koreksi atas kesalahan demi kesalahan yang telah terjadi, guna menghindari terulangnya hal itu di masa depan. Bukankah tidak ada yang lebih baik untuk “memulai” deretan responsi, selain menerangkan masalah sebenarnya dari pernyataan Lee Kuan Yew itu? Sebuah responsi yang sehat, yaitu dengan mempertanyakan dasar-dasar apa yang digunakan Lee Kuan Yew untuk menyusun pernyataannya itu. Begitu juga tinjauan “dari dalam” Islam sendiri, adalah sesuatu yang sangat penting guna “membaca” kebenaran sebuah pernyataan “orang luar.” Tulisan ini justru dikemukakan dengan tujuan memperoleh pandangan yang tepat tentang gerakan radikal Islam di negeri kita.

Dalam mengajukan pernyataan di atas, Lee Kuan Yew nampak mempersamakan kekuatan gerakan Islam radikal dengan gerakan Islam moderat di kawasan Asia Tenggara. Ini adalah kesalahpandangan di kalangan “para pengamat.” Tetapi, bagaimanapun juga Lee Kuan Yew harus disanggah, jika ia tidak mengemukakan kebenaran. Kenyataannya, gerakan Islam radikal itu tidaklah besar, tetapi sanggup melakukan kekerasan. Hal itu terjadi karena “kesalahan” prinsipil yang dilakukan pemerintah/eksekutif di negeri kita. Hal ini juga terjadi karena kebanyakan pengamat menganggap berbagai gerakan Islam radikal sebagai sesuatu yang besar. Padahal sebenarnya, muslim yang “terlibat” gerakan radikal itu, tidaklah banyak. Katakanlah, mereka hanya berjumlah 50.000-an orang, namun jumlah itu tidak ada artinya di hadapan 200 juta umat muslim yang moderat. Hanya saja, “kelompok” moderat ini tidak mempunyai dukungan materiil yang kuat dan minimnya skill/kecakapan, lain halnya dengan gerakan Islam radikal. Selain itu, gerakan Islam moderat belum memiliki kohesi organisatoris, yang diperlukannya untuk maju ke depan.

Jika dibiarkan, hal ini akan menjadi ketakutan berlebihan peradaban “Islam” yang merasa dikalahkan oleh peradaban “Barat”. Padahal kalau dilihat secara budaya, persoalannya akan jauh berlainan dari pandangan tersebut. Kalaupun “Islam” dikalahkan “Barat”, itu mungkin hanya mencakup teknologi, jaringan perdagangan dan komunikasi. Namun di bidang-bidang peradaban kultural lainnya, secara relatif sangat kuat kedudukannya. Karenanya, kita tidak sah merasa “kalah” oleh keadaan itu. Kita tidak perlu “membuktikan” kehebatan kita melalui penggunaan kekerasan (termasuk terorisme), yang berakibat kematian orang-orang yang tidak bersalah.

Salah satu tanda pendangkalan agama yang terjadi di kalangan gerakan radikal Islam adalah upaya memandang hal-hal yang berbau kelembagaan/institusional sebagai satu-satunya ukuran “keberhasilan” kaum muslimin. Padahal kultur Islam lainnya, seperti, rebana, sufisme dan sebagainya, cukup menonjol, bahkan kaum muslimin berhasil menolak pengaruh “Barat.”

Lihat saja siaran televisi, yang semakin lama, semakin menunjukkan warna Islam. Di sini kita melihat, tampak kebangkitan kultural Islam dalam perpaduan yang lama dan yang baru, seperti artis yang sudah tidak malu lagi mejeng membawakan acara keagamaan pada bulan Ramadhan. Jadi, kebesaran Islam tidak ditentukan oleh pakaian jubah yang dikenakan, atau jenggot, sorban, dan cadar yang dikenakan, yang menutup seluruh badan dan wajah perempuan. Seorang perempuan yang menggunakan kerudung “biasa” sama Islamnya dengan yang menggunakan cadar. Karena itu, pandangan yang membedakan antara mereka, adalah pandangan yang tidak mengenal kaum muslimin dan hakikat Islam.

Dalam perdebatan dengan Samuel Huntington, dengan teori perbenturan budaya (clash of civilization), penulis menyatakan, bahwa dalam teori perbenturan budaya Islam dan Barat itu, Huntington hanya melihat pohon, tanpa mengenal hutannya. Memang ada pohon dalam jumlah kecil yang berbeda dari yang lainnya, tetapi keseluruhan hutannya justru memperlihatkan pohon yang sama dengan jumlahnya lebih besar. Maksudnya, puluhan ribu kaum muslimin, tiap tahun belajar di Barat dalam berbagai bidang, tentu saja kalau ada yang radikal di antara mereka jumlahnya sangat kecil, dan tidak dapat dijadikan ukuran bahwa mereka mewakili Islam. Arus belajar “ke Barat” sangat besar, sehingga pertentangan Islam melawan Barat, tidak usah dikhawatirkan, apalagi dijadikan momok.

Karena itu ungkapan Lee Kuan Yew yang memandang gerakan Islam radikal, secara berlebih-lebihan, sebagai representasi umat Islam tersebut, jelas tidak berada pada tempat sebenarnya. Inilah yang harus diubah, yaitu penggunaan kelompok Islam radikal sebagai ukuran bagi Islam dan kaum muslimin yang mayoritas justru bersikap moderat dalam hampir semua hal. Untuk perubahan itu, kita harus bersabar sedikit, untuk menunggu hasil pemilihan umum yang akan datang, yang menurut penulis akan menunjukkan keunggulan yang sangat besar dari gerakan moderat dalam Islam. Penulis dapat mengatakan hal ini, karena dalam sehari dapat melakukan tiga sampai empat kali komunikasi langsung dengan rakyat di seluruh pelosok tanah air. Ini karena penulis dan partai politik yang dipimpinnya, tidak dapat bersandar pada media domestik yang masih “lintang pukang” keadaannya.

Juga harus ada faktor lain yang harus diperhitungkan, yaitu peranan pemerintah/eksekutif yang sangat menentukan. Kalau pihak itu takut kepada gerakan Islam radikal, seperti yang terjadi dewasa ini di Indonesia, maka gerakan tersebut akan menjadi berani dan melanggar undang-undang. Karena itu diperlukan keberanian bersikap tegas (kalau perlu bertindak keras), terhadap unsur-unsur garis keras yang mengacaukan keamanan.

Penulis tidak setuju dengan RUU Antiterorisme, tetapi diperlukan juga keberanian secara fisik berhadapan dengan para pelaku kekerasan itu. Hal-hal inilah yang harus dimengerti oleh orang-orang seperti Lee Kuan Yew. Sederhana dalam konsep, tapi sulit dilaksanakan bukan?