Islam: Pokok dan Rincian

ISTANBUL, TURKEY- FEBRUARY 26: Turkish men kneel for prayers in a mosque February 26, 2003 in Istanbul, Turkey. Turkey, a secular democracy, is overwhelmingly Muslim and public opinion is steadfastly against an American-led war in Iraq. Turkey’s parliament will consider allowing U.S. troops into the country February 27. (Photo by Chris Hondros/Getty Images)

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Para penganjur “negara Islam” selalu menggunakan dua firman Allah Swt dalam kitab suci al-Qur’ân sebagai landasan bagi pemikiran mereka. Di satu pihak, mereka selalu mengemukakan bahwa kitab suci tersebut menyatakan; “Masukilah Islam/kedamaian secara keseluruhan (udkhulû fî alsilmi kâffah)” (QS al-Baqarah [2]:208), yang jelas-jelas harus ditafsirkan dengan mengambil Islam tidaklah boleh sepotong-potong belaka.

Padahal, Islam juga menolak atas sikap mengkhususkan sekelompok manusia dari kelompok-kelompok lain. Dalam hal ini, mereka dapat dinyatakan “terkena” firman Tuhan dalam kitab suci tersebut; “Tiap kelompok sangat bangga dengan apa yang dimilikinya (kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS al-Mu’minûn [23]:53) dengan mementingkan “milik sendiri” itu, mereka melupakan firman lain: “Dan tiadalah Ku-utus Engkau Ya Muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi umat manusia (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lî al ‘âlamîn)” (QS al-Anbiyâ [21]:107). Ini adalah prinsip yang mulia, namun sedikit sekali yang diperhatikan kaum muslimin.

Firman Tuhan berikut juga sering dijadikan landasan bagi gagasan negara Islam; “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian, Ku-tuntaskan bagi kalian pemberian nikmat-Ku dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama (al yauma akmaltu lakum dînakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matî wa radhîtu lakum al-Islâma dîinan)” (QS al-Maidah [5]:3) Firman Tuhan itu diandaikan menunjuk Islam sebagai sebuah sistem hidup yang sempurna yang hanya dapat terwujud dalam sebuah sistem kenegaraan yang “berbau agama”.

Diandaikan, tanpa negara, Islam tidak dapat diwujudkan dengan sempurna. Sebuah andaian yang justru harus kita bicarakan secara tuntas dalam tulisan ini. Kalau hal ini tidak kita lakukan, maka dasar bagi sebuah negara Islam akan goyah selamanya dan gagasan bernegara seperti itu akan kehilangan kredibilitas.

Dengan demikian, permasalahannya menjadi jelas bagi kita semua. Benarkah asumsi dasar, bahwa Islam adalah sebuah sistem hidup yang sempurna, dan harus diwujudkan dalam sebuah bentuk kenegaraan tertentu? Jika jawabannya positif, kita harus mendirikan negara Islam sebagai “perintah agama” yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Pengingkaran terhadap perintah semacam itu, berarti pembangkangan yang harus dihukum dan ditindak. Sedangkan kelalaian untuk melaksanakannya merupakan pengingkaran terhadap kewajiban agama. Ini adalah konsekuensi logis yang harus ditanggung oleh kaum muslimin, di mana pun mereka berada. Ini termasuk dalam perintah “dan berjihadlah kalian dengan harta benda kalian dan diri/jiwa kalian (wa jâhidû bi amwâlikum wa anfusikum)” (QS at-Taubah [9]:41).

Tentu saja, kedua firman “sistemik” di atas, tidak berdiri sendiri, sebagaimana dipahami oleh penganut paham negara Islam tersebut –yang tentunya, berhak melakukan hal itu sepenuhnya. Terserah pada publik untuk mengartikan kedua “perintah sistemik” Tuhan itu secara berdiri sendiri atau justru sebaliknya.

Jika cara pendekatan negara Islam lebih mengutamakan kesendirian penggunaan kedua “perintah sistemik” itu, maka timbul pertanyaan; di manakah terletak kesempurnaan Islam? Karenanya, kedua “perintah sistemik” tersebut dalam pandangan penulis artikel ini haruslah dipahami bersama-sama “perintah sistemik” lain. Hanya dengan cara demikianlah dapat dicapai pengertian yang benar-benar rasional dan utuh. Cara yang pertama, jelas hanya “mau menangnya sendiri”, berdasarkan emosi dan sama sekali tidak rasional.

“Perintah-perintah sistemik” lain yang dapat digunakan dalam hal ini berjumlah sangat banyak. Penulis hanya menggunakan dua buah saja dalam tulisan ini. Perintah “tidak ada paksaan dalam beragama, karena telah jelas mana yang lurus dan mana yang palsu (lâ ikrâha fî al-dîn, qad tabayyana al-rusydu min al-ghayyi)” (QS al-Baqarah [2]:256).

Perintah dalam bentuk pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan lain dalam kitab suci “Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku (lakum dînukum wa liyadîn)” (QS al-Kafirun [109]:6). Jelas, kitab suci al-Qur’ân tidak menyatakan lembaga tertentu menjadi “penjamin” kelebihan agama Islam atas agama lain, melainkan “diserahkan” kepada akal sehat manusia untuk “mencapai kebenaran”.

Dengan demikian, “kesempurnaan sistem” Islam sebagai agama, tidak didasarkan pada kekuatan atau wewenang lembaga tertentu, melainkan pada kemampuan akal manusia untuk melakukan perbandingan sendiri-sendiri. Dalam pandangan penulis, kesadaran pluralistik seperti inilah yang harus kita pelihara dan bukannya lembaga tertentu seperti negara yang harus kita sandari.

Bukankah ini sesuai dengan pernyataan Tuhan –sebagaimana yang disebutkan di atas, tentang diutusnya Nabi kita Muhammad Saw, untuk membawakan persaudaraan di antara sesama manusia? Pengertian berangkai yang penulis ajukan ini, tentulah terkait sepenuhnya dengan pernyataan Tuhan: “Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, tiada diterima (amal)-nya dan ia akan termasuk di akhirat “kelak” sebagai orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâma dînan falan yuqbala minhu wa hua fî al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Pernyataan ini menunjukkan hak tiap orang untuk merasa benar, walaupun Islam meyakini kebenarannya sendiri.

Prinsip ini seperti dalam pernyataan Konsili Vatikan II (1962-1965) [1] di bawah Paus Yohannes XXIII; “Kami para Uskup yang berkumpul di Vatikan menghormati hak tiap orang untuk mencapai kebenaran abadi, walaupun tetap meyakini hal itu ada dalam Gereja Katolik Roma.” Sekarang, gereja tersebut merupakan lembaga yang tidak berfungsi penuh sebagai negara, walaupun secara protokoler memang demikian.

Ini adalah proses menuju perubahan signifikan dalam peran yang diambil Vatikan–dari sebuah negara penuh, menjadi sebuah negara-protokoler. Tentu saja, ini adalah sebuah proses sejarah yang sangat menarik, walaupun dalam perubahan ini tetap ada Bapak Suci Sri Paus, yang oleh kaum Katolik dianggap tidak “terbantahkan (infallible)” [2] sebagai pemberi tafsir dan fatwa tunggal, yang tak dikenal oleh Islam.

Dengan melihat kepada “kenyataan” tersebut, jelaslah bahwa ketiadaan negara tidak berarti kaum muslimin “harus” hidup secara individual (perorangan), melainkan mereka harus membuat komunitas masing-masing, dan merumuskan “kewajiban-kewajiban kolektif agama” yang mereka anut. Dengan kata lain, ber-amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kewajiban agama dan mencegah larangannya) dilakukan secara persuasif oleh tiap warga masyarakat beragama Islam, yang merasa memiliki kemampuan.

Dengan demikian, terjadi keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban perorangan (individual) dan secara bersama (kolektif). Dalam kehidupan masyarakat Islam “kenyataan” seperti ini harus terus-menerus kita sadari dalam sebuah kehidupan bersama. Dengan cara ini, kita akan dapat memahami ucapan Umar bin Khattab ketika menjabat khalifah bertujuan sebagai jaring pengaman sosial “Tiada Islam tanpa komunitas, tiada komunitas tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan (La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa bi tha’ah).”

Di sinilah, letak kegunaan membagi perspektif pernyataan dan perintah agama, yang disampaikan kepada kita melalui kitab suci al-Qur’ân maupun ucapan Nabi Muhammad Saw, dalam artian perorangan dan bermasyarakat (individual ataupun kolektif). Perkembangan sejarah telah menunjukkan tidak ada sistem tunggal maupun menetap dalam Islam.

Umpamanya saja, tidak ada cara untuk menetapkan pergantian pemimpin. Dari Abu Bakar ke Umar bin Khattab ke Utsman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib ke para raja setelah mereka, kemudian para presiden hingga para amir di masa kini, semuanya menjadi saksi bagi kelangkaaan adanya suksesi dalam Islam, walaupun harus ada suksesi sebagai tuntutan sejarah, tanpa disebut caranya.

Begitu juga, ukuran “masyarakat Islam” tidak pernah sama. Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar memimpin Madinah sebagai komunitas, Umar memimpin imperium Islam dari Persia di timur hingga Gibraltar di barat, negara-bangsa (nation-state) di bawah imperialisme hingga kini, dan negara kota (city-state) di kawasan-kawasan teluk saat ini, semuanya memiliki legitimitasi yang sama dalam pandangan Islam.

Tak adanya kesamaan dalam kedua hal di atas, yang juga diikuti oleh keragaman yang sangat tinggi dalam kalangan masyarakat-masyarakat Islam, membuat sebuah konsep negara Islam tidak dapat dibangun. Pilihannya, kita harus membangun masyarakat-masyarakat Islam –yang beraneka ragam. Ini berarti, perlunya “kajian kawasan” (area studies) –sebagaimana pernah penulis kemukakan kepada Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (United Nation University) di Tokyo dalam tahun-tahun 1980-an, di bawah Rektor Dr. Soedjatmoko. Mudah mengatakannya, sulit membuat pusat-pusat kajian seperti itu, bukan? [3]

Catatan kaki:

[1] Konsili Vatikan II adalah sebuah pertemuan (konsili) besar para Kardinal (pemimpin tertinggi gereja Katolik di suatu negara) sedunia untuk membahas persoalan-persoalan penting dalam gereja Katolik atas undangan Sri Paus Yohanes Paulus XXIII di Kota Vatikan 1962-1965. Kompilasi lengkap pembicaraan dan keputusan Konsili Vatikan II telah diterbitkan oleh Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI (Konferensi Wali Gereja) Pusat tahun 1993 (edisi revisi). Ungkapan yang paling terkenal dari Konsili Vatikan II adalah keselamatan tidak hanya ada di Gereja Katolik Roma, dan implikasinya harus memberikan penghormatan kepada kepercayaan dan agama lain. Dan statement ini merupakan pembaharuan dari cara pandang gereja Katolik sebelum Konsili Vatikan II yang memandang keselamatan hanya ada pada Gereja Katolik Roma.

[2] Dalam keyakinan teologi Islam Syi’ah juga dikenal adanya kemaksuman imam dua belas sebagai orang yang paling berhak meneruskan kepemimpinan Rasulullah SAW.

[3] Dr. Soedjatmoko adalah salah seorang intelektual Indonesia yang mendunia. Terkenal dengan gagasan dimensi manusia dalam pembangunan di masa Orde Baru. Karena gagasannya itu dia diangkat menjadi Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1980 yang bermarkas di Tokyo, Jepang. Soedjatmoko meninggal pada 1989 dalam usia 67 tahun.