Keadilan dan Rekonsiliasi

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Minggu lalu, di bilangan Kramat V, Jakarta, penulis me­resmikan sebuah panti jompo milik sebuah yayasan yang dipimpin orang­-orang eks Tapol (Tahanan Politik) dan Napol (Narapidana Politik), kasarnya orang­-orang PKI (Partai Komunis Indonesia) yang sudah dibubarkan. Mereka mendirikan sebuah panti jompo di gedung bekas kantor Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), yang dianggap sebagai organisasi perempuan PKI. Peresmian yang diminta mereka secara apa adanya pada pagi yang cerah itu, disaksikan antara lain oleh SK Trimurti [1], salah seorang pejuang kemerdekaan kita. Ini penulis lakukan karena solidaritas terhadap nasib mereka, yang sampai sekarang pun masih mengalami tekanan­-tekanan dan kehilang­an segala­-galanya. Puluhan ribu, mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan, karena dituduh “terlibat” dan bahkan memimpin PKI. Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat me­nyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak me­miliki hak­-hak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam pemilu. Rumah­-rumah dan harta benda mereka yang dirampas. Dan stigma (cap) pengkhianat bangsa, tetap melekat pada diri mereka hingga saat ini.

Dengan dipimpin oleh dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati [2], mereka membentuk PAKORBA (Paguyuban Korban Orde Baru) yang memiliki cabang di mana­-mana, walhasil gerakan mereka berskala nasional. Namun karena perikemanusiaan jugalah penulis mempunyai solidaritas yang kuat dengan mereka, seperti hal­nya solidaritas penulis kepada mantan anak buah Kartosuwiryo, yang disebut DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia). Bahkan waktu turut “berkuasa”, PKI pernah turut memberikan cap pemberontak kepada (mantan) anggota DI/TII itu.

Penulis pernah menyebutkan dalam sebuah tulisan, Karto­suwiryo merekrut anggota dengan menggunakan nama DI/ TII, karena ia diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedir­man, guna menghindarkan kekosongan daerah Jawa Barat, yang ditinggalkan TNI untuk kembali ke Jawa Tengah (kawasan RI) akibat Perjanjian Renville [3]. Seorang pembaca menyanggah “catatan” penulis itu karena di matanya tidak mungkin Karto­suwiryo menjadi “penasehat militer” Jenderal Soedirman. Lebih pantas kalau ia adalah penasehat politik. Pembaca itu tidak tahu, bahwa penasehat politik Jenderal Sudirman adalah ayah penulis sendiri, KH. A. Wahid Hasyim. Karena itu simpati penulis kepa­da anggota DI/ TII juga tidak kalah besarnya dari simpati kepada mantan orang­-orang PKI.

Di sini penulis ingin menekankan, bahwa konflik-konflik bersenjata di masa lampau dapat dianggap selesai, apa pun alas­annya, karena kita sekarang sudah kuat sebagai bangsa dan tidak usah menakuti kelompok mana pun. Justru keadilan yang harus kita tegakkan, sebagai persyaratan utama bagi sebuah proses de­mokratisasi. Kita adalah bangsa yang besar. Dengan penduduk saat ini 205 juta lebih, kita harus mampu menegakkan keadilan, dan tidak “menghukum” mereka yang tidak bersalah. Seperti pembelaan (pledoi) Amrozi di muka Pengadilan Negeri Denpa­sar, bahwa ia merakit bom kecil saja, sedangkan ada orang yang di balik pemboman Bali itu dengan bom besar yang membunuh lebih dari 200 orang. Pernyataan Amrozi ini seharusnya men­dorong kita memeriksa “pengakuan” tersebut. Karena hal ini ti­dak dilakukan maka hingga saat ini kita tetap tidak tahu, apakah pendapat Amrozi itu berdasarkan fakta atau tidak. Demikian juga, kita tetap tidak tahu siapa yang meledakkan bom di Hotel Marriott Jakarta beberapa waktu kemudian.

Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita, sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Diperlukan ke­rendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam per­spektif perikemanusiaan, bukannya secara ideologis. Kalau meng­gunakan kacamata ideologis saja, maka sudah tentu akan sangat mudah bagi kita untuk menganggap diri sendiri benar dan orang lain bersalah. Ini bertentangan dengan hakekat kehidupan bang­sa kita yang demikian beragam. Kebhinekaan/keragaman justru menunjukkan kekayaan kita yang sangat besar. Karenanya kita tidak boleh menyalahkan siapa­-siapa atas kemelut yang masih menghinggapi kehidupan bangsa kita saat ini.

Sebuah contoh lagi dapat dikemukakan. Abu Bakar Ba’asyir yang dianggap sebagai “biang kerok” terorisme di negeri kita, saat ini mendekam di LP (Lembaga Permasyarakatan) Cipinang, Jakarta Timur setelah pengadilan menjatuhkan hukuman em­pat tahun penjara. Memang pengadilan menetapkan ia bersalah namun kepastian sejarah belum kita ketahui, mengingat data­-data yang “tidak pasti (unreliable)” digunakan dalam mengambil keputusan. Selain itu, memang pengadilan­-pengadilan kita penuh dengan “mafia peradilan”, maka kita tidak dapat diyakinkan oleh “kepastian hukum” yang dihasilkannya. Seperti halnya kasus Akbar Tandjung, jelas keputusan Mahkamah Agung akan terus “diragukan” apa pun bunyi keputusan itu sendiri. Tidak heran­lah sekarang kita mengalami “kelesuan” dalam menegakkan ke­daulatan hukum. Inilah rahasia mengapa tidak ada investasi dari luar negeri, karena langkanya kepastian hukum tadi.

Sebuah kasus lain cukup menarik untuk dikemukakan di sini. Kiai Mahfud Sumalangu (Kebumen), adalah pahlawan yang memerangi balatentara pendudukan Belanda di Banyumas Se­latan. Ketika Kabinet Hatta memutuskan “rasionalisasi” TNI atas usul Jenderal Besar AH. Nasution, antara lain berupa ketentuan bahwa Komandan Batalyon TNI haruslah berijazah. Ijazah itu hanya dibatasi pada keluaran beberapa lembaga pendidikan saja (tidak termasuk pesantren), maka kiai kita itu tidak diperkenan­kan menjadi komandan batalyon di Purworejo. Sebagai gantinya diangkat seorang perwira muda bernama A. Yani. Akibatnya kiai kita itu mendirikan Angkatan Umat Islam (AUI) yang kemudian dinyatakan oleh A. Yani sebagai pemberontak. Peristiwa tragis ini terjadi pada awal tahun 50­-an, namun bekasnya yang pahit masih saja tersisa sampai hari ini.

Korban­-korban politik seperti ini masih banyak terdapat di negeri kita dewasa ini. Karenanya, kita harus memiliki kelapang­an dada untuk dapat menerima kehadiran pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan kita. Termasuk di dalamnya orang­-orang mantan Napol dan Tapol PKI, yang kebanyakan bukan orang yang benar­-benar memahami ideologi komunis. Karena itulah, penulis tidak pernah menganggap mantan anggota PKI maupun DI/TII sebagai “lawan yang harus diwaspadai”. Penulis justru beranggapan bahwa mantan anggota PKI itu, sekarang sedang mencari Tuhan dalam kehidupan mereka, karena apa yang saat ini mereka anggap sebagai “kezaliman­-kezaliman”, justru pernah mereka jalani saat “berkuasa”. Sekarang mereka berpegang pada keyakinan yang mereka miliki, yang tidak bertentangan dengan Undang­-Undang Dasar. Kalau kita juga menggunakan cara pan­dang itu, berarti kita sudah turut menegakkan keadilan.

Dari uraian di atas, jelas bahwa yang kita perlukan adalah rekonsiliasi nasional, setelah pengadilan memberikan keputusan “yang adil” bagi semua pihak. Kalau “konglomerat hitam” dapat diberi status Release and Discharge (bebas dari segala tuntutan), mengapakah kita tidak melakukan hal seperti itu pada orang­-orang mantan PKI dan DI/TII? Jadi, pengertian dari rekonsiliasi yang benar adalah pertama mengharuskan adanya pemeriksaan tuntas oleh pengadilan, kalau bukti­-bukti yang jelas masih dapat dicari. Baru kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis pengadilan dikeluarkan. Di sinilah keadilan harus ditegakkan di Bumi Nusantara. Sebuah tekad untuk memeriksa kasus-kasus yang terjadi di depan mata kita dalam masa lima belas tahun ter­akhir ini, justru meminta kepada kita agar “melupakan” apa yang terjadi 40­-50 tahun yang lalu. Kedengarannya mudah dilakukan, namun dalam kenyataan sulit dilaksanakan.

Catatan kaki:

[1] Soerastri Karma Trimurti begitu nama lengkapnya. Perempuan yang la­hir pada 1912 ini adalah wartawan tiga zaman. Pernah mendapat penghargaan Bintang Mahaputera V yang disematkan langsung oleh Presiden Soekarno.

[2] Penulis buku menggemparkan dengan judul Aku Bangga Jadi Anak PKI, (Jakarta: Cipta Lestari, 2002).

[3] Perundingan Renville dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika USS Renville yang dimulai pada 8 Desember 1947. Pada tanggal 17 Januari 1948 hasil Perjanjian Renville ditandatangani oleh Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifuddin, yang disaksikan oleh H.A. Salim, Dr. Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, di mana sebagian isinya: penghentian tembak-menem­bak di sepanjang “Garis van Mook”. Penghentian tembak menembak yang diikuti dengan perletakan senjata dan pembentukan daerah­-daerah kosong mili­ter. Mengakui secara de facto kekuasaan RI sekitar daerah Yogyakarta.