Saddam Hussein dan Kita

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam sebuah wawancara televisi, penulis mengemukakan bahwa banyak hal yang dilupakan Presiden Amerika Serikat, George W Bush Junior, mengenai Presiden Saddam Hussein dari Irak. Bush beberapa kali mengatakan, bahwa tujuan Amerika Serikat melakukan penyerangan berulang kali, untuk menangkap Saddam Hussein yang dianggapnya menjadi penyebab terorisme bersimaharajalela di dunia saat ini. Jadi, ia merasa berkewajiban menangkap Saddam Hussein untuk menegakkan pemerintahan yang kuat dan demokratis di Irak. Untuk tujuan itulah ia menyerang Irak secara besar-besaran. Bukan hanya sekadar bom yang dijatuhkan seperti hujan, melainkan juga dengan serangan seperempat juta orang bala tentara dari utara dan selatan, ditambah 40.000 orang prajurit Inggris. Ini berarti rangkaian serangan dalam ukuran perang sebenarnya.

Dilihat dari rencana semula, serangan itu seharusnya berakhir dengan kemenangan mutlak dalam waktu paling akhir 3 hari. Tetapi ternyata, setelah 13 hari serangan —ketika tulisan ini dibuat-, Saddam Hussein belum juga tertangkap. Sedang jumlah korban jiwa dan harta benda dalam satuan-satuan tempur pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat maupun kerugian material lainnya telah menimpa Amerika Serikat dan sekutunya dalam jumlah sangat besar, termasuk di dalamnya tank-tank dan senjata berat yang terkubur di gurun pasir.

Ini belum lagi termasuk sikap negara-negara Arab lainnya (di luar Kuwait), yang justru cenderung bersikap netral dalam sengketa tersebut. Di satu pihak, Bush Jr, tidak mengindahkan keputusan Dewan Keamanan PBB, sehingga serangan yang dilakukannya seperti tidak memiliki legitimasi internasional, sedang serangan atas Irak, merusak kehormatan nasional yang dimiliki negara-negara Arab lainnya.

Di samping hal-hal di atas, serangan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya itu juga dilihat sebagai serangan terhadap Islam. Umat Islam di seluruh dunia menyesalkan hal itu, apa pun sebab, alasan dan argumentasi untuk mendukung sikap menolak serangan itu. Megawati Soekarnoputri yang tidak mau mengutuk serangan tersebut, dianggap oleh banyak kalangan gerakan Islam di negeri kita, sebagai tidak membela Islam dari serangan (invasi) atas sebuah bangsa muslim seperti Irak. Bahkan banyak demonstrasi yang menuntut agar hubungan diplomatik RI-AS diputuskan saja, sedang produk-produk AS di boikot oleh kaum muslimin. Sebuah sikap konfrontatif yang sebenarnya jarang diperlihatkan oleh gerakan-gerakan Islam, di mana pun ia berada.

Sebab utama dari reaksi seperti itu adalah inkonsistensi pernyataan Presiden AS George W Bush Jr, tentang hakikat serangan AS atas Irak. Awalnya ia mengemukakan serangan itu dilakukan guna mencegah malapetaka bagi dunia, karena Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal dalam jumlah besar yang ditemukan. Ternyata belakangan diketahui, senjata-senjata itu justru dahulu diberikan AS kepada Saddam Hussein untuk menyerang Iran. Ini berarti AS ikut membuat senjata-senjata tersebut di masa lampau, dan sekarang cuci tangan dari kesalahan tersebut.

Dalam kesempatan lain, Bush mengatakan bahwa Saddam adalah “tokoh jahat” (evil figure)” yang harus dilenyapkan karena melanggar hak-hak asasi manusia. Mengapa hanya Saddam Hussein? Bukankah ada sebuah negeri di Timur Tengah yang setiap tahun menembak mati para warga negaranya, hanya karena mereka dianggap menjadi oposan politik bagi para penguasa negeri?

Kalau memang Bush benar-benar ingin membela demokrasi, tentunya ia harus mulai dengan Benua Amerika sendiri, masih ada negara-negara otokrasi di benua tersebut, seperti Guatemala. Bahwa ini tidak diperbuat Bush Jr, sangat mengurangi kredibilitas ungkapannya itu, hingga dapat dikatakan sebagai argumentasi kosong, pernyataan tersebut tidak punya arti apa-apa dan dengan demikian tidak menyakinkan siapa pun.

Karena itulah terjadi demonstrasi besar-besaran di seluruh dunia, apalagi di kalangan bangsa-bangsa muslim. Walaupun penulis sendiri dianggap sebagai “moderat”, namun penulis tidak dapat menerima serbuan itu sebagai sebuah langkah yang tepat. Baik secara militer maupun menurut diplomasi, langkah itu adalah sebuah tindakan gegabah dari sebuah negara adi kuasa atas negara lain yang lemah.

Lebih-lebih lagi, Bush Jr sama sekali “melalaikan” perhitungan tujuan perangnya, yaitu menangkap Presiden Irak, Saddam Hussein. Maka jika dalam waktu tiga bulan Saddam Hussein tidak tertangkap, haruslah dilakukan penyelesaian damai. Sangat sulit untuk menangkap Saddam Hussein, karena hubungan yang sangat baik dengan suku-suku Arab yang berpindah-pindah tempat (nomaden) di Irak, Yordania, dan Syria. Mungkin Saddam Hussein akan mengulangi tindakannya dalam pertengahan abad lampau, ketika ia melarikan diri karena diancam hukuman mati di Irak. Dengan hubungannya yang sangat baik itu, Saddam dilindungi oleh suku-suku (kabilah) dari berbagai negara, sehingga ia sanggup berjalan kaki dan naik unta sejauh lebih dari 2.000 km untuk mencapai Mesir di bawah pahlawan Gamal Abdul Nasser.

Karena itulah, penulis mengatakan dalam wawancara dengan TV7, bahwa jangan-jangan diktum Von Clausewitz: “perang adalah penerusan perundingan damai yang gagal” harus dilaksanakan secara terbalik dalam kasus Irak. Yaitu, perundingan damai adalah kelanjutan dari perang yang tidak mencapai tujuannya. Ini akan terjadi kalau dalam tiga bulan pasukan-pasukan AS-Inggris tidak berhasil menangkap Saddam Hussein. Karena rakyat AS tentu menuntut melalui demonstrasi besar-besaran agar pasukan AS ditarik dari Irak. Perundingan tersebut diperlukan untuk “menolong muka” AS. Hal ini juga penulis sampaikan kepada Duta Besar Australia di sebuah tempat lima hari setelah itu, di depan para stafnya.

Menjadi jelas dari uraian di atas, bahwa pengenalan mendalam atas sebuah kawasan sangat diperlukan jika ingin diambil tindakan militer atasnya. Dan pengenalan kawasan itu harus disertai pertimbangan objektif yang justru sangat diabaikan oleh Presiden Bush Jr. Arogansinya yang timbul dari pengetahuan, bahwa AS adalah satu-satunya negara adi kuasa yang dapat “mengalahkan” negara mana pun, menutupi kenyataan serangan militer itu dilakukan karena pertimbangan-pertimbangan geopolitis, bukan pertimbangan moral. Menurut “ketentuan” geopolitis Bush Jr, Irak sebagai penghasil minyak kedua terbesar di dunia, dengan 116 miliar barel atau sekitar separuh dari produksi Saudi Arabia sebagai penghasil minyak terbesar di dunia, haruslah “dikembangkan” sebagai imbangan, karena Saudi Arabia dewasa ini menyimpang dari kebijaksanaan luar negeri AS. Ditambah lagi, karena Irak saat ini mulai menggunakan mata uang masyarakat Eropa, Euro dalam menyelesaikan transaksi minyaknya.

Keterusterangan pihak AS dalam menggunakan pertimbangan-pertimbangan ekonomis ini, haruslah disampaikan oleh Bush Jr, setidak-tidaknya melalui berbagai lembaga-lembaga nonpemerintahan di negeri Paman Sam itu. Tindakan menutup-nutupi berbagai pertimbangan geopolitis dan finansial itu hanya akan mengurangi kredibilitas AS saja. Hilangnya kredibilitas itu akan memaksa negara tersebut, menggunakan kekuatan militer dalam hubungan dengan negeri-negeri lain. Menjadi teladan bagi kita, bahwa mengendalikan sebuah negara adi kuasa tidaklah mudah, melainkan membutuhkan kemampuan bersabar dan sikap tidak memandang rendah orang lain. Apalagi hanya mendengarkan suara kelompok-kelompok garis keras belaka. Tidak mudah menjadi pemimpin dunia, bukan?