Islam, Moralitas, dan Ekonomi

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sejumlah ahli ekonomi berpendapat bahwa ada kaitan langsung antara Islam dan ekonomi. Dengan demikian, ada yang dinamakan  ekonomi Islam, yaitu Islam memuat ajaran-ajaran ekonomi yang harus diterapkan oleh masyarakat kaum muslimin. Pengakuan ini sangatlah menarik, karena kita sudah lama melihat bahwa ekonomi hanyalah bersifat empirik saja, sedangkan agama memiliki nuansa spiritual yang sangat kuat. Jadi, ada sebuah pertanyaan yang sangat menarik, adakah ekonomi Islam?

Pada tahun-tahun 70-an dan 80-an, sejumlah ekonom mengajukan pendapat, bahwa sebuah ekonomi dapatlah dinamakan ekonomi Islam, kalau mengikuti ketentuan-ketentuan agama Islam mengenai riba, eksistensi bank dan penolakan terhadap asuransi. Menurut pendapat ini, sistem perbankan tidak diperkenankan menggunakan bunga bank (bank interest), sedangkan ketentuan-ketentuan yang lazim dalam asuransi sama saja dengan permainan judi, yang diharamkan oleh Islam. Dengan demikian, pemberian atau pengambilan bunga bank dan penerimaan asuransi berarti penyimpangan dari hukum Islam. Ekonomi yang menggunakan kedua-duanya sama saja dengan ekonomi yang menolak ajaran Islam.

Dalam tahun-tahun 70-an, muncul juga pendapat orang-orang seperti Prof. Dr. Mubyarto dari Universitas Gajah Mada (UGM), yang mengemukakan pendapat tentang Ekonomi Pancasila. Menurut pendapat beliau, Ekonomi Pancasila harus terkait langsung dengan ekonomi orang kecil, dan bertumpu pada moralitas. Pendapat ini identik dengan konsepsi dari ekonomi Islam, minus soal bunga bank dan asuransi. Karenanya, pembahasan tentang ekonomi Islam dengan segera lalu terhenti, karena orang lalu berdiskusi tentang Ekonomi Pancasila. Dalam pada itu, ekonomi yang empirik dan bebas nilai, seperti yang dibawakan kaum teknokrat, tetap dilaksanakan dan berkembang pesat.

Sekarang ini, terasa adanya keperluan untuk membahas ada tidaknya ekonomi Islam. Pertama, karena adanya sejumlah program yang menggunakan nama syari’ah, seperti bank syari’ah yang ada di lingkungan sebuah bank besar milik negara (BUMN). Begitu juga ada beberapa upaya percobaan untuk menerapkan asuransi menurut ajaran Islam –yang dikenal dengan nama takaful. Kedua, karena dalam waktu lima belas tahun terakhir, ekonomi kita benar-benar bersifat empirik dan tidak menggunakan acuan moral sama sekali. Ini berarti, telah terbangunnya ekonomi yang benar-benar kapitalistik dan berazas siapa yang kuat dan cerdik, dialah yang menguasai segala-galanya.

Bahkan, begitu kuatnya watak kapitalistik dalam ekonomi kita waktu itu, hingga seorang bankir dan pendiri jaringan sebuah bank raksasa di negeri ini, senantiasa mengucapkan “puji Tuhan” setiap kali akan menipu orang. Jadi agama diredusir hanya menjadi keimanan dan keyakinan belaka, sedangkan dimensi sosial dijauhkan dari agama dalam pengertian tersebut. Benarkah dengan sistem ekonomi harus membuang jauh-jauh pertimbangan moral sama sekali? Di sisi lain, sebuah sistem ekonomi yang hanya bertumpu pada acuan moral saja dapatkah dinamai sebuah sistem ekonomi. Kalau jawabannya positif, berarti ekonomi Islam ada; dan kalau jawabannya negatif, berarti tidak ada ekonomi Islam. Justru dalam menentukan jawaban atas kedua pertanyaan di atas, terletak wujud atau tidak terwujudnya ekonomi Islam.

Yusuf Qardhawi mengemukakan, bahwa tidak dapat begitu saja bunga bank dianggap sebagai riba, tergantung pada besar-kecil dan maksud pemungutan bunga bank tersebut. Menurut pendapatnya, jika bunga bank dipungut dari upaya non-produktif –katakanlah bersifat konsumtif belaka, maka ia dapat dikatakan riba. Kalau bunga bank itu merupakan bagian dari sebuah upaya produktif maka bunga bank yang digunakan atas transaksi itu bukanlah riba, melainkan bagian dari ongkos produksi saja.

Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa ada tiga hal yang sangat penting yang tidak boleh dilupakan sama sekali. Pertama, orientasi ekonomi itu sendiri, yang harus memperjuangkan nasib rakyat kecil serta kepentingan orang banyak. Ini sesuai dengan ketentuan agama Islam bahwa tindakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin. Istilah yang digunakan dalam bahasa Arab oleh fiqh adalah maslahah, diterjemahkan oleh penulis dengan istilah kesejahteraan. Dan, dalam bahasa Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, masyarakat sejahtera dirumuskan sebagai masyarakat adil dan makmur, hingga orientasi kepentingan dan kesejahteraan warga masyarakat itu, yang dikandung oleh Islam dalam hal perekonomian, sepenuhnya sesuai dengan UUD 1945.

Kedua, mekanisme yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan itu, tidak ditentukan format dan bentuknya. Dengan demikian, acuan persaingan-perdagangan bebas dan efisiensi yang dibawakan oleh kapitalisme, tidaklah bertentangan dengan pandangan ekonomi yang dibawakan Islam. Bahkan Islam menganjurkan adanya sikap fa tstabiqu al-khairat (berlombalah dalam kebaikan), yang menjadi inti dalam praktek ekonomi yang sehat. Dengan persaingan dan perlombaan, akan terjadi efisiensi yang semakin meningkat. Namun, pemerintah sebagai penguasa harus memberikan perlindungan kepada yang lemah tanpa melakukan intervensi dalam perdagangan. Ini adalah prinsip yang harus dipegang teguh dalam menentukan kebijakan ekonomi, hingga negara-negara yang berteknologi maju pun melindungi para penganggur yang tidak memperoleh pekerjaan sampai 3% dari jumlah keseluruhan kaum pekerja.

Dari orientasi dan mekanisme pasar seperti itu, jelas bahwa tidak ada satu pun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan masalah bunga bank dan pelaksanaan asuransi sebagai unit parsial dalam kehidupan ekonomi, dapat saja dirumuskan suatu yang benar-benar sesuai dengan ajaran Islam, dengan predikat bank Islam/bank syari’ah maupun takaful/asuransi Islam. Pendekatan parsial yang  memakai  kata Islam sebagai pengenal, tanpa menyebut ekonomi secara keseluruhan sebagai “ekonomi Islam” dapat saja dilakukan tanpa kehilangan islamisitas kita sendiri.

What is a name? ungkap dramawan dunia William Shakespeare. Karenanya, dapat saja kita melihat pelaksanaan prinsip-prinsip Islam, namun dalam orientasi dan mekanismenya adalah ekonomi kapitalistik. Orientasi kapitalistik itu dibedakan dari orientasi yang diuraikan di atas, yaitu dalam orientasi kapitalistik yang diutamakan adalah individu pengusaha besar dan pemilik modal. Dalam Islam, justru kepentingan rakyat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan yang menjadi ukuran.