Islam: Antara Birokrasi dan Pasar Bebas

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam menguraikan sejarah ekonomi bangsa-bangsa Timur Tengah, Charles Issawi menunjuk kepada Bangsa Mesir. Bangsa ini sulit melepaskan diri dari birokrasi pemerintahan, karena tradisi sejarah itu yang menunjukkan kekuatan mereka semenjak ribuan tahun yang lalu. Dimulai dengan Fir’aun/Paraoh yang menjadi manifestasi kekuasaan Tuhan di muka bumi, melalui para sultan yang menjadi wakilnya dan kekuasaan kaum imperialis yang luar biasa, birokrasi pemerintah menjadi sesuatu yang kokoh dengan adanya Sosialisme Arab di bawah Gamal Abdel Naser. Birokrasi pemerintahan mengembangkan diri begitu rupa, hingga kepentingan kepentingannya seringkali disamakan dengan kepentingan rakyat banyak, sebuah hal yang secara perlahan-lahan tapi pasti sedang merasuki kehidupan kita sebagai bangsa.

Hal ini jarang dipikirkan orang, dan mau tak mau kita harus mengaitkannya dengan konsep negara Islam yang saat ini ditiup-tiupkan oleh sementara orang. Karenanya, sebuah pertanyaan harus dijawab sebelum meneruskan pemikiran tentang konsep tersebut yaitu: di manakah letak birokrasi pemerintahan dalam sebuah konsep negara Islam? Ini diperlukan, untuk menghindarkan sebuah negara Islam, kalau konsep seperti itu dapat dibuat dan kemudian dilaksanakan, karena hal itu akan menyangkut kepentingan kita bersama sebagai bangsa.

Dapat saja keinginan itu dianggap sebagai sesuatu yang mengada-ada, tetapi ia harus dibicarakan di sini untuk memperoleh kejelasan tentang posisi Islam dalam kehidupan kita sebagai bangsa yang bernegara dan bermasyarakat. Jika ini kita abaikan, jangan-jangan kita dihadapkan kepada semakin kuatnya birokrasi pemerintahan dalam kehidupan kita. Ini untuk menghindarkan kita dari penyesalan berkepanjangan, jika gagasan tentang konsep negara Islam dapat diwujudkan.

*****

Ketika penulis menanyakan kepada Datuk Seri Dr. Mahathir Muhamad, tentang keputusan Malaysia keluar dari kungkungan Dana Moneter Internasional (IMF), beliau menjawab bahwa guru besar Massachussets Institute of Technology (MIT), Paul Krugman yang menganjurkan hal itu. Ketika guru besar itu singgah di Jakarta, penulis bertanya kepadanya; apakah hal itu sebaiknya juga dilakukan oleh Indonesia? Beliau menyatakan, Malaysia dapat melakukannya karena memiliki birokrasi yang bersih dan ramping (clean and lean bureaucracy), dan Indonesia sebaiknya tidak melakukan hal itu, karena tidak memiliki birokrasi seperti yang disebutkan tadi. Penulis tidak menjawabnya, karena disadari kita memang memiliki birokrasi pemerintahan yang terlalu besar dan korup.

Karena itu, yang ingin diutamakan adalah beberapa hal, dimulai dari peningkatan pendapatan pegawai negeri sipil dan warga TNI/POLRI. Persenjataan dan kesejahteraan mereka harus ditingkatkan secara drastis, kalau diinginkan mereka tidak terlibat tindakan-tindakan korup dan penyelundupan. Tanpa dilakukannya kedua hal itu, mustahil kita akan memiliki birokrasi yang jujur. Sementara itu, pengalihan tenaga-tenaga birokrasi harus terus dilakukan begitu rupa, agar tempat-tempat yang memerlukannya memperoleh tenaga birokrat yang cukup, dan tempat-tempat yang tidak begitu memerlukan terlalu banyak akan memperoleh birokrasi sejumlah yang diperlukan.

Demikian pula, status purnawirawan harus diterapkan pada waktunya agar tidak menghambat karier maupun kemungkinan promosi generasi muda. Jika hal ini dilaksanakan secara konsekuen, dalam waktu beberapa tahun saja akan tercapai keseimbangan antara kebutuhan birokrasi dan tersedianya tenaga untuk itu. Pada tahap itulah kita baru dapat melakukan rekonsiliasi kepegawaian –seperti yang ditentukan oleh undang-undang. Memang berat tugas menciptakan birokrasi dalam jumlah dan tingkatan yang sesuai dengan kebutuhan, tapi memang masa depan bangsa ini tergantung sepenuhnya pada kemampuan kita untuk mewujudkan keseimbangan seperti itu.

*****

Hal itu berarti keharusan menciptakan profesionalisme penuh bagi sistem kepegawaian kita. Kitab suci al-Qurân menyebutkan keharusan itu dengan istilah “memenuhi janji mereka di kala mengucapkan sumpah prasetia kepada jabatan” (wal mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû) (QS al-Baqarah [2]:176). Adakah sebuah janji yang lebih besar dari pada sesuatu yang diucapkan ketika menyatakan janji prasetia kepada jabatan? Karena itulah profesionalisme harus ditegakkan, guna memungkinkan kita menepati janji prasetia yang kita ucapkan ketika pertama kali menerima jabatan.

Birokrasi pemerintahan memang diperlukan oleh sebuah negara modern, namun birokrasi seperti itu haruslah benar-benar profesional, untuk membantu dalam pengambilan keputusan pemerintah serta mencari kebijakan yang diperlukan untuk menyejahterakan rakyat. Tetapi, birokrasi pemerintahan bukanlah entitas independen, melainkan sebagai pihak yang selalu berpegang kepada kepentingan warga negara kebanyakan.

Jelaslah dari uraian di atas, bahwa Islam tidak memberikan kekuasaan mutlak kepada birokrasi pemerintahan untuk berbuat semau mereka. Tetapi, Islam juga memandang pentingnya arti birokrasi pemerintahan yang baik, karena segenap kebijakan pemimpin tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaannya oleh sebuah birokrasi pemerintahan. Sebaliknya, pasar bebas yang merupakan inti dari sistem ekonomi hanya akan terwujud tanpa terlalu besarnya birokrasi pemerintahan. Karenanya, birokrasi pemerintahan yang tidak terlalu besar dan tunduk sepenuhnya kepada para pemimpin politik sebagai pengambil keputusan terakhir, merupakan keharusan yang tak dapat ditawar lagi (conditio sine qua non, mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihî fahua wâjibun). Tidakkah lalu menjadi jelas bagi kita, bahwa menurut pandangan Islam, birokrasi pemerintahan seharusnya berukuran tidak terlalu besar dan memiliki wewenang serba terbatas.