Islam: Ideologis ataukah Kultural? (4)

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam upacara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa untuk bidang humaniora di Universitas Soka Gakkai, Tokyo, baru-­baru ini, penulis mengemukakan dalam sambutannya bahwa sebuah tradisi baru telah dimulai di Asia. Di samping PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang membawa moralitas keagamaan dalam kehidupan politik suatu bangsa, kita melihat hal yang sama dilakukan Partai Komeito, yang didukung oleh gerakan Buddha terbesar di dunia, Soka Gakkai di Jepang. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bharatiya Janata Party, yang dipimpin oleh Perdana Menteri India Atal Behari Vajpayee. Dan, didukung oleh organisasi Hindu kenamaan di negeri itu, Rash­ triya Swayamsevak Sangh (RSS), yang didirikan tahun 1925, setahun sebelum NU lahir (tahun 1926).

Malam harinya, sebelum pemberian gelar tersebut, penulis berkunjung ke rumah Prof. Mitsuo Nakamura, seorang ahli gerakan Islam di Indonesia, yang tinggal di Ito City (sekitar dua jam berkendaraan mobil dari Kota Tokyo). Sebuah pertanyaan beliau menunjuk dengan tepat problematika yang dihadapi penulis: “Anda memisahkan ideologi agama dari kehidupan negara. Mengapakah sekarang Anda justru membawa agama dalam ke­hidupan bernegara?” tanyanya. Mendengar pertanyaan tersebut, badan yang terasa kecapaian akibat berkendaraan mobil ke Ito City selama dua jam itu, hilang seketika. Inilah yang penulis cari selama beberapa tahun ini, tetapi tidak pernah dirumuskannya dalam bentuk pertanyaan seperti itu.

Penulis memberi jawaban, bahwa yang terjadi (dan terus terang saja, dikembangkan penulis di Indonesia melalui PKB), adalah penolakan terhadap langkanya moralitas dalam kehidupan politik kita dewasa ini. Jadi dengan demikian, kalau dalam masyarakat sekuler di Barat ada moralitas non­-agama dalam ke­hidupan politik, di negara-­negara berkembang yang belum me­miliki tradisi yang mapan, moralitas ditegakkan melalui dasar-­dasar agama. Dalam pandangan penulis, ukuran-­ukuran ideologis­ agama tetap tidak memperoleh tempat dalam kehidupan bernegara, karena sifatnya yang sesisi dan hanya khusus untuk kepentingan para pemeluk agama tersebut. Di sinilah terletak perbedaan antara moralitas dan ideologi, walaupun sama-­sama berasal dari wahyu yang satu.

Kita harus jeli membaca sejarah bangsa­-bangsa di dunia, untuk mengambil pelajaran serta sikap yang diperlukan. Kita sering mendengar moralitas yang tinggi tanpa berdasarkan agama, seperti diperlihatkan Jiang Zemin dan Zhu Rongji di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sepenuhnya disandarkan pada moralitas sekuler yang bersifat materiil. Oleh karena itu, kita harus mampu mengembangkan moralitas politik yang di dasarkan pada ajaran­-ajaran umum semua agama. Kejujuran, kesungguhan kerja dan pertanggungan­jawab secara jujur kepada nasib bangsa di kemudian hari, merupakan sebagian morali­tas umum agama-­agama. Karenanya, pemakaian agama untuk menimbulkan moralitas seperti itu justru harus dihargai, dan bukannya dicurigai.

Antonio Gramsci [1] mengemukakan gagasan sosialisme yang penuh kemanusiaan, dan di dalamnya tentu terdapat peran besar dari moralitas yang tinggi, sebagai sebuah koreksi atas Marx­isme-­Leninisme yang sarat dengan ketentuan-­ketentuan organisatoris belaka. Pandangannya saat itu (sebelum 1927) dianggap sebagai penyimpangan Komunisme di Italia, namun adanya ke­bangkrutan dan kehancuran Uni ­Soviet justru membenarkannya. Demikian pula halnya dengan Alexander Dubcek [2] di Praha yang berani menawarkan Komunisme yang berwajah kemanu­siaan. Namun, beberapa puluh tahun kemudian apa yang mere­ka bawakan menjadi kenyataan: bahwa Komunisme pun harus melakukan koreksi atas peranannya dalam kebangunan manusia di akhir abad lalu dan sepanjang abad ini. Pengamatan ini sepenuhnya mengikuti apa yang diingatkan Vladimir Ilyich Lenin: “Penyakit kiri ke­kanak-­kanakan (leftism infantile disease)” yang dihadapi kaum revolusioner mana pun, yaitu heroisme romantis. Mereka menganggap revolusi akan rampung ketika aku yang berjuang. Aku-­isme seperti inilah yang justru merusak revolusi, karena perjuangan jangka panjang harus ditundukkan kepada kebutuhan pribadi seorang pemimpin yang tidak lama jangka hidupnya.

Lawan dari aku­-isme itu adalah budaya/kultur dan agama, termasuk manifestasi budayanya yang sangat penting dalam sejarah umat manusia. Kalau tidak kita pahami dengan benar, peranan agama tidak lagi berorientasi kultural, melainkan berorientasi institusional. Kegagalan memahami hal ini berarti kegagalan pula dalam memahami proses demokratisasi, yang memang sejak semula sudah tidak ideal. Sir Winston Spencer Churchill [3] pernah menyatakan, demokrasi banyak kelemahan dan kekurangannya, tetapi ia tetap merupakan perwujudan terbaik dari upaya umat manusia menegakkan pemerintahan yang benar. Dengan menghiraukan hal-­hal seperti ini, maka pandang­an Mao Zedong [4] di RRT menjadi sesuatu yang tidak sehat.

Demikianlah, terlihat betapa erat hubungan antara budaya/kultur dan politik, paling tidak untuk menampilkan kesusilaan politik (political morality) yang diperlukan oleh sistem pemerintahan mana pun di dunia ini. Kata-kata Zhu Rongji [5] “sediakan sepuluh buah peti mati, sembilan buah untuk para koruptor dan se­buah lagi untuk diriku, kalau aku juga korup”, adalah ungkapan moralitas yang diinginkan. Karenanya, baik itu moralitas sekuler dari sebuah ideologi duniawi seperti Komunisme, maupun mo­ralitas agama yang digunakan dalam pengembangan sistem poli­tik, haruslah dibaca sebagai keniscayaan sebuah pemerintahan yang benar-­benar bertanggung jawab pada rakyat.

Di sini, kita harus belajar dari para moralis dunia, dari Fir’aun Akhnaton di Mesir kuno hingga Mahatma Gandhi di India dalam abad ke-20, membuat rambu-­rambu yang harus diguna­kan dalam mengemban amanat rakyat yang kita junjung tinggi. Kegagalan memahami hal ini, hanya akan membuat seorang pe­nguasa mementingkan diri saja, seperti halnya Kaisar Nero [6] yang membakar Kota Roma untuk mencari kesenangan. Juga Kaisar Wu Zetian [7] yang curiga dan menganggap semua orang ingin me­nyingkirkan dirinya dari pemerintahan, maupun Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Mataram yang bergembira dengan para dayang-­dayangnya di atas Taman Sari dengan membuang dan menyaksikan lawan-­lawan politiknya di makan buaya, karena ti­dak dapat melawan binatang-­binatang buas itu tanpa senjata.

Jadi benar menurut kaidah fiqh: “tindakan dan kebijak­sanaan seorang pemimpin mengenai rakyat yang dipimpin, harus terkait langsung dengan kesejahteraan mereka”, merupakan sebuah rambu moral yang melarang seorang pemimpin untuk menumpuk kekayaan bagi dirinya sendiri. Tiap agama dan keyakinan memiliki sejumlah adagium/ketentuan seperti itu, karena itulah moralitas ­agama sangat diperlukan dalam menciptakan sistem politik yang sehat. Karenanya, kita tidak perlu ragu-­ragu bahwa moralitas ­agama memberikan sumbangan bagi pemben­tukan sistem politik yang sehat bagi sebuah bangsa. Pada tingkat inilah agama dan politik dapat dihubungkan, dan tidak pada tingkat ideologis.

Catatan kaki:

[1] Antonio Gramsci (1891­-1937) adalah pendiri dan anggota Partai Sosialis Italia/the Italian Socialist Party (PSI). Seorang penulis, intelektual, wartawan, dan aktivis yang sangat aktif dan terkenal sebelum akhirnya ditangkap oleh pemerintahan fasis Italia dan dimasukkan penjara hingga meninggal. Meski hidup di penjara lebih dari 20 tahun, ia meninggalkan berbagai catatan teori­-teori politik dari refleksi dan surat­-suratnya di dalam penjara yang kemudian dikumpulkan dalam bentuk buku The Prison Notebooks. Melalui catatan­ catatan dan suratnya itulah lahir berbagai teori politik yang terkenal hingga sekarang. Beberapa istilah seperti “hegemony”, “organic intellectual” dan “historical bloc” berasal dari tulisannya tersebut.

[2] Alexander Dubcek (1921­-1992), salah seorang pemimpin partai ko­munis, pernah menduduki Sekretaris Jenderal di Slovakia yang mencanangkan pembaruan, pembebaskan media dari sensorship dan mengkritik pemerintah.

[3] Sir Winston Leonard Spencer Churchill (1874-­1965), adalah salah seorang pemimpin terkemuka Kerajaan Inggris (United Kingdom). Pernah menjadi Perdana Menteri maupun anggota parlemen dan menduduki jabatan pen­ting di berbagai bidang. Ia juga seorang penulis yang produktif dan terkenal.

[4] Mao Zedong atau Mao Tse­tung (1893–1976), adalah pendiri Negara Republik Rakyat Cina/The People’s Republic of China. Pemimpin Cina dan Komunis paling terkenal dengan pencanangan Revolusi Kebudayaan (Cultural Revolution).

[5] Dia salah seorang Perdana Menteri Cina 1998­-2003 ketika jabatan presiden dipegang Jiang Zemin.

[6] Nero Claudius Caesar Drusus Germanicus (37­68 C.E.) raja di kota Roma. Terkenal dengan bakatnya sebagai penulis puisi dan penyanyi tetapi juga sangat ambisius. Ia membakar Kota Roma konon untuk membangun ista­na yang megah, karena Kota Roma ketika itu tidak cukup untuk membangun istana yang menjadi cita-­citanya.

[7] Wu Zetian (625-705 AD) adalah Permaisuri Kaisar Kao Tsung pada zaman Dinasti Tang. Setelah suaminya meninggal, dia menjalankan kekaisar­an. Dalam mengamankan kekuasan, Wu membentuk pasukan khusus untuk memata-­matai lawan politiknya. Dia tak segan membunuh kaum oposisi yang melawan kebijakannya.