Islam: Gerakan ataukah Kultur?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Ketika menghadapi Hari Waisak 2546 pada 26 Mei 2002 penulis mendapat undangan dari KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia) untuk hadir dalam acara tersebut di Balai Sidang Senayan Jakarta. Penulis menjawab akan hadir. Dan, rombongan KASI berlalu dengan hati lega. Setelah berjalan beberapa waktu, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri sebagai personifikasi kepala negara dan pemerintah akan datang pada peringatan yang sama di Candi Borobudur oleh Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia), pada waktu yang besamaan pula. Di saat itulah ada orang yang bertanya pada penulis, akan datangkah ke acara KASI?

Ketika penulis menjawab ya, segera disusul dengan pertanyaan berikut, hadirkah Anda dalam acara KASI itu yang berbeda dari pemerintah? Penulis menjawab, akan hadir. Apakah alasannya? Karena penulis yakin, KASI mewakili para bhiksu dan agamawan dalam agama Buddha di negeri kita. Sedangkan Walubi adalah organisasi yang dikendalikan bukan oleh agamawan. Dengan kata lain, Walubi adalah organisasi milik orang awam (laymen) [1]. Prinsip inilah yang penulis pakai sejak awal dalam bersikap pada sebuah organisasi agama.

Pada Hari Raya Waisak itu, sebelum berangkat ke Balai Sidang, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri ternyata tidak jadi hadir untuk keperluan tersebut di Candi Borobudur. Namun, pemerintah diwakili Menteri Agama. Dengan demikian jelas, pemerintah mengakui Walubi sebagai perwakilan umat Buddha di negeri kita. Sedangkan di Balai Sidang hadir Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea, yang bukan membidangi masalah agama. Dengan ungkapan lain, pemerintah justru mengutamakan Walubi sebagai perwakilan umat Buddha dan bukannya KASI.

Nah, di samping penulis, juga hadir Kardinal Dharmaatmadja, Haksu Tjhie Tjay Ing dan seseorang yang mewakili Majelis Ulama Indonesia (MUI). Untunglah, datang Akbar Tandjung mewakili DPR dan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie yang bertindak selaku penasihat panitia. Namun, kesan bahwa pemerintah lebih mengutamakan Walubi dan bukannya KASI sebagai perwakilan umat Buddha di Indonesia tidak dapat dihindari lagi.

Sebenarnya, sikap tidak jelas pemerintah itu sangat menguntungkan KASI. Dengan ungkapan lain, di hadapan kekuasaan pemerintah yang tidak begitu melindunginya, ternyata KASI justru ditunjang dua pihak yang penting, pihak agamawan Buddha sendiri dan para pemuka agama-­agama lain yang menghargainya. Bukankah kedua modal itu akan memungkinkan KASI dapat bergerak lebih maju?

Kejadian di atas menjadi lebih menarik lagi, jika kita bandingkan dengan keadaan internal kaum muslim di Indonesia. Kalau dalam agama­agama lain seorang agamawan diangkat organisasi tertinggi dari agama tersebut, yang biasanya didominasi para agamawan, justru dalam Islam hal itu tidak ada. Bukankah justru Rasulullah Saw sendiri yang bersabda, “Tidak ada kependetaan dalam Islam (lâ rahbâniyyata fî al-Islâm).” Karenanya, pantaslah kalau dalam Islam tidak ada pihak yang memiliki otoritas dalam pengangkatan ulama. Semua terserah pada pengakuan masyarakat kepada seseorang untuk dianggap sebagai ulama. Karena kekosongan itu, lalu organisasi­organisasi Islam meletakkan para wakil mereka dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI). Apakah yang terjadi? Hilangnya keulamaan dalam arti penguasaan ilmu-­ilmu agama dalam kepengurusan MUI itu sendiri. Seseorang yang hanya hafal sepuluh ayat al-Qur’an dan sepuluh hadis Nabi, sudah bisa masuk dalam jajaran pimpinan harian MUI. Seolah aspek penguasaan ilmu-­ilmu agama di lingkungan MUI tidak bersifat baku, padahal merekalah pembawa tradisi Islam kultural dalam kehidupan umat. Jadi organisasi itu tidak mencerminkan kelompok agamawan, melainkan hanya tampilan wakil gerakan-­gerakan agama atau organisasi, seperti Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.

Dari sini letak kelemahan dan justru kekuatan yang dimiliki umat Islam. Dikatakan kelemahan, karena tidak ada kohesi dan kejelasan siapa yang diterima dan tidak sebagai agamawan. Karena langkanya kohesi intern umat itu, cara termudah mempersatukan seluruh elemen umat Islam adalah menentukan musuh bersama, dipilihlah kekuatan Barat yang dianggap merusak kekuatan Islam. Dan dikatakan kekuatan, karena tak adanya sikap dominan dari para agamawan. Oleh sebab itu, pemikiran-­pemikiran orang awam tentang agama diperlakukan sama dengan pemikiran para ahli agama itu sendiri.

Contoh konkret yang dapat dikemukakan di sini, yaitu kisah Ki Panji Kusmin [2] di awal­-awal tahun 1970­an. Orang awam ini dapat digambarkan sebagai pihak representatif yang mewakili Islam, atau justru sebaliknya. Kemudian beberapa tokoh muslim yang memiliki kekuatan sendiri, walau didukung oleh kekuatan pemerintahan, menentang pandangannya yang memandang Tuhan tidak perlu dibela siapa pun dalam kebesaran-­Nya. Sangat nyata, dengan berniat membela­-Nya berarti terjadi dikotomi pandangan para tokoh agama berpandangan formal itu.

Karena tiap orang dapat menyatakan dirinya mewakili Islam, maka harus ada standar minimal untuk menilai apakah sese­orang dapat dianggap mewakili Islam atau tidak. Tanpa kriteria ini, hanya situasi semrawutlah yang lahir, seperti yang terjadi sekarang ini. Di sinilah arti penting dari sabda Nabi Muham­mad Saw: “Kalau persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat, (idzâ wussida al-amru ilâ ghairi ahlihi, fantazdiri al-sâ’ah).” [3] Sanggupkah kaum muslimin di negeri kita menetapkan kriteria tersebut?

Catatan kaki:

[1] Baik pihak KASI maupun Walubi mengaku sebagai organisasi paling sah yang memayungi seluruh umat Buddha Indonesia. Saat ini (2006), organisasi KASI di tingkat nasional dijalankan oleh seorang Sekretaris Jenderal Bhiksu Vidya Sasana Sthavira. Sedangkan DPP Walubi dipimpin oleh Ketua Umum Siti Hartati Murdaya.

[2] Ki Panji Kusmin adalah nama samaran pengarang cerpen Langit Makin Mendung dalam Majalah Sastra (1971). Cerpen yang dinilai menghina Tuhan itu, menyeret pemimpin majalah Sastra, HB Jassin dihukum 1 tahun penjara, karena tidak mau membeberkan identitas asli Panji Kusmin.

[3] Hadis ini diriwayatkan oleh Al-­Bukhari dalam Bab Al-Ilm lewat jalur Abu Hurairah. Pernyataan Nabi ini muncul karena dialog dan pertanyaan dari seorang badui yang menanyakan tentang kapan terjadinya kiamat.