Islam: Pengertian Sebuah Penafsiran

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Para santri yakin bahwa kekuasaan menjatuhkan azab dan memberikan pahala atas sebuah perbuatan, berada di tangan Allah Swt. Dalam hal ini, berlaku sebuah adagium yang didasarkan atas kitab suci al-Qur’ân dan Hadis Nabi Saw. Adagium itu berbunyi: “memberikan pengampunan dan menurunkan siksa kepada siapa pun adalah otoritas Allah (yaghfiru liman yasya’ wa yu adzibu man yasyâ).” Dalam hal ini, kendali atas keadaan sepenuhnya berada di tangan Allah Swt.

Dalam konteks ini pula, sebuah pengertian baru haruslah dipertimbangkan: sampai di manakah peranan negara dalam menjatuhkan hukuman, sebagai salah satu bentuk siksaan. Dapatkah negara atas nama Allah memberikan hukuman sebagai bagian dari siksa di dunia? Sudahkah manusia terbebas dari siksa neraka, jikalau ia telah menjalani hukuman negara? Kalau belum, berarti ada penggandaan (dubbleleren) antara negara sebagai wakil Allah dan kekuasaan Allah sendiri untuk menetapkan hukuman. Bukankah justru hal ini bertentangan dengan hadits Nabi Saw: “Idra’ul hudud bi as-syubuhat. (Jangan berlakukan hukum hadd ketika permasalahan tidak jelas).” Dari hadis ini dapat dipahami, bahwa hendaknya hakim jangan menjatuhkan hukuman mati jika ia ragu-ragu, benarkah si terdakwa nyata-nyata bersalah? Jelas dari hadis itu pula memberikan pengertian bahwa kekuasaan negara ada batasnya, sedangkan kekuasaan Allah tidak dapat dibatasi.

Dari pengertian yang sangat sederhana ini, kita sudah dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak dapat sebuah negara disebut sebagai negara Islam, tanpa harus memperkosa hal-hal yang menjadi kewajiban negara secara wajar. Jadi, dalam masalah azab dan pahala pun kita langsung terkait dengan pertanyaan adakah negara agama atau tidak? Jawaban yang salah akan berakibat pada konsep yang salah pula dalam hubungan antara agama dan negara. Hal inilah yang memerlukan perenungan mendalam dari kita dalam menanggapi pendapat bahwa diperlukan sebuah negara Islam, kalau memang diinginkan berdiri negara teokratis itu, bagi bangsa kita yang majemuk.

Memang benar, diperlukan pemikiran yang mendalam tentang konsepsi yang jelas dalam hubungan antara negara dan agama, jika diinginkan keselamatan kita sebagai bangsa yang majemuk terpelihara di kawasan ini. Kalau belum apa-apa kita sudah menyuarakan adanya negara Islam, tanpa adanya konsepsi yang jelas tentang hal itu sendiri, berarti telah dilakukan sebuah perbuatan yang gegabah dan sembrono. Bukankah sikap demikian justru harus dijauhi oleh kaum muslimin dalam mencari hubungan antara agama dan negara? Apalagi jika ditemukan motif-motif lain dalam mendirikan sebuah negara agama, seperti adanya keinginan untuk berkuasa sendiri bagi partai-partai politik Islam, yang melihat bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai “kekalahan” dalam pertarungan politik di tingkat nasional.

Dengan demikian gagasaan federalisme, yang menganggap gagasan NKRI bertentangan dengan keinginan berbagai propinsi untuk lebih independen dari pemerintah pusat, dapat dinilai sebagai aspirasi-aspirasi separatis. Sebenarnya propinsi hanya menghendaki pengambilan keputusan tentang penerimaan dan pengeluaran uang harus lebih banyak dilakukan di daerah dari pada di pusat. Jadi dengan demikian, yang diinginkan adalah fungsi federal dari pemerintahan, bukannya separatisme Indonesia untuk menjadi 7 (tujuh) negara atau republik federatif. Kalau ada orang-orang yang menghendaki Indonesia dalam bentuk federatif menjadi tujuh republik, maka pendapat itu adalah merupakan suara minoritas yang sangat kecil, yang tidak perlu mendapatkan perhatian besar.

Cara yang terbaik untuk mengetahui benar tidaknya bahwa yang menghendaki bentuk RI sebagai republik federatif, yang bertentangan dengan gagasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah suara minoritas yang demikian kecil, dapat diketahui melalui pemilihan umum. Dan jika hal itu dilakukan dengan pengawasan internasional, maka akan menghasilkan mayoritas suara bagi partai-partai politik yang hanya menginginkan perampingan kekuasaan pemerintah pusat, dalam hal penunjukkan kepala daerah oleh DPRD setempat maupun penetapan anggaran penerimaan dan belanja yang berpusat pada daerah, dan bukannya pada pemerintah pusat.

Karena ketidakmampuan memahami hal ini, maka para eksponen konsep negara federal sebenarnya harus menjelaskan bahwa gagasan mereka tidak berarti menjadikan RI terkeping keping menjadi sekian negara yang masing-masing berdaulat. Bahkan negara unitaris seperti Jepang dan Prancis pun memberikan kedaulatan penuh kepada propinsi/negara bagian untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masing-masing. Bahkan kepolisiannya pun ditetapkan dan diatur oleh pemerintah daerah setempat. Jadi, independensi daerah dari pusat tidaklah berarti hilangnya kesatuan negara —yang berarti, watak negara kesatuan dapat saja menampung aspirasi-aspirasi federal. Singkatnya, negara federal bukanlah negara federatif.

Langkanya penjelasan seperti ini telah menerbitkan kesalahpahaman sangat besar antara partai-partai politik yang mempertahankan NKRI dan menentang negara federal di satu pihak, dan eksponen gagasan negara federal yang mencurigai NKRI. Kedua-duanya memiliki baik legitimasi maupun kepentingan masing-masing tentang konsep negara yang dikehendaki. Sangatlah tragis untuk melihat kecurigaan yang satu terhadap yang lain dalam hal ini, dan lebih-lebih untuk menyifati gagasan NKRI sebagai gagasan nasionalistik, dan gagasan negara federal sebagai sebuah pandangan Islam. Jadi, satu sama lain saling menyalahkan, padahal kedua-duanya saling menyepakati perlunya sebuah negara yang satu, dengan watak federal dalam artian independensi seperti yang dimaksudkan di atas.

Dari sinilah kita menjadi tahu, bangsa kita telah kehilangan komunikasi dan sosialisasi mengenai kedua hal di atas. Kita lalu curiga antara satu terhadap yang lain. Kecurigaan itu telah menjadikan kehidupan politik kita sebagai bangsa menjadi sangat labil. Tidak stabilnya sistem politik itu menjadi penyebab dari krisis multi-dimensional yang kita alami sekarang ini. Jadi, bukankah ketidakmampuan komunikasi dan sosialisasi politik tersebut dapat dinilai sebagai azab dari Allah bagi bangsa kita?