Islam: Ideologis ataukah Kultural? (3)

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Beberapa partai politik masih mencantumkan Islam sebagai asas/dasar organisasinya, begitu juga beberapa perkumpulan lain yang non­politis. Ketika hal itu ditanyakan pada penulis, maka jawabannya adalah biar saja, karena itu adalah ke hendak mereka. Si penanya mengemukakan: aneh sekali, Anda dari dahulu selalu menentang negara Islam, mengapakah partai politik yang berasaskan Islam tidak Anda tolak? Bukankah ini berarti Anda menerima pandangan mereka?

Jawabannya justru karena penulis menolak negara Islam di Indonesia, tapi tidak di tempat lain yang penduduknya homogen (berpandangan tunggal). Karena bangsa kita beraneka ragam dalam pandangan hidup, dengan sendirinya negara tidak dapat hanya melayani mereka yang berpandangan negara Islam saja. Orang muslim pun, seperti penulis yang tidak menerima negara Islam di Indonesia, harus dihargai pendapat dan sikap hidup mereka. Apalagi yang tidak beragama Islam, yang jumlahnya melebihi 10% bangsa ini. Adalah tindakan gegabah untuk menganggap konsep negara Islam diterima seluruh kaum muslimin di negeri ini, hanya karena Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia.

Itulah yang membuat mengapa penulis menolak gagasan negara Islam di sini, karena penulis tidak ingin menyangkal kebenaran yang dibawakan oleh statistik tadi. Lain halnya dengan bangsa Pakistan, yang ingin mendirikan negara sendiri karena persamaan agama, dan untuk itu mereka berani berpindah tempat ke kawasan tersebut dari daerah asal, dan di Pakistan mereka membentuk kelompok kaum pendatang (muhajirin). Dapat dimengerti mengapa mereka menginginkan Republik Islam Pakistan pada waktu ini, walaupun tidak sejalan dengan pikiran penulis.

Kembali pada masalah asas Islam bagi partai politik maupun perkumpulan. Karena yang beratribut Islam adalah partai politik dan/atau perkumpulan-­perkumpulan, maka tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Kalau mereka memperjuangkan Piagam Jakarta, untuk dimasukkan ke dalam Undang­-Undang Dasar kita maka itu adalah hak mereka, juga untuk mengubah konstitusi dan dasar negara. Ini adalah konsekuensi berdemokrasi, bahkan di Amerika Serikat pun ada orang yang ingin agar Undang-­Undang Dasarnya diubah menjadi Undang-­Undang Dasar berideologi komunis. Masalahnya tinggal, apakah dalam pemilu, rakyat mau menerimanya atau tidak?

Sikap membedakan kehidupan negara dari kehidupan perkumpulan yang seperti ini, adalah sikap yang sehat kalau kita ingin mengembangkan demokrasi di negara kita. Dasar dari si­kap ini adalah keyakinan bahwa, rakyat banyak sudah tahu apa yang harus dilakukan, walaupun mayoritas mereka tidak berpendidikan tinggi, dan bahkan masih besar persentase yang buta huruf. Kalau dalam hal ini kita memiliki keberanian, maka mereka yang bercita-­cita mendirikan negara Islam tidak akan memperoleh tempat untuk menyuarakan kehendak, dan mereka akan menempuh jalan pemberontakan bersenjata.

Karenanya, kita harus memberikan tempat bagi perbedaan pendapat dan kemerdekaan berbicara, artinya adalah kebebasan menyatakan pikiran tanpa dikekang sama sekali. Inilah yang mendasari pendapat penulis, bahwa TAP MPRS No. 25 tahun 1966 [1] harus dicabut. Karena TAP itu melarang penyebaran paham Marxisme-­Leninisme atau Komunisme. Sebagai sebuah paham, pikiran itu hanya dapat diperangi oleh pendidikan dan penerang­an, bukan oleh sebuah Ketetapan MPR ataupun produk hukum apa pun. Lain halnya, kalau yang dilarang adalah lembaga atau institusi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI). Lembaga dapat dilarang oleh negara, seperti halnya kita melarang lembaga bernama Freemason (lembaga yang berpikiran bebas tanpa agama) [2]. Di sinilah diperlukan ketelitian kita, agar produk­-produk kenegaraan kita tidak merugikan diri sendiri.

Mengetahui hal sekecil ini, yaitu perbedaan antara paham dan lembaga harus dilakukan dengan cermat. Tanpa kecermatan seperti itu, kita akan berjalan ke arah yang salah, yaitu menindak hal yang tidak perlu diperhatikan dan membiarkan sesuatu yang memerlukan tindakan. Prinsip ini penting diingat oleh lembaga lembaga yang mengutamakan perembugan/permusyawaratan, seperti yang dibuat oleh Undang-­Undang Dasar kita: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang seringkali hanya dianggap sebagai ajang percaturan kekuasaan.

Walaupun banyak dijalankan oleh umat muslim, tetapi sistem politik nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi politik Jawa dalam menjaga keberlangsungan negara. Sering kontinuitas kekuasaan diwariskan dari sebuah generasi kepada generasi selanjutnya. Joko Tingkir, umpamanya, mem­punyai keturunan Kiai Haji Ahmad Mutamakkin [3] dari Kajen, Pati, yang sangat tunduk pada Amangkurat IV [4] di Surakarta. Sedang Joko Tingkir alias Sultan Hadiwidjaya adalah penguasa Kesultanan Demak (memerintah tahun 1550-­1582) yang digulingkan oleh Sutawidjaya [5], pendiri dinasti Mataram yang kemudian bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayyidin Panatagama Kalifatullah Ing Tanah Jawi. Karena penulis masih keturunan Kiai Haji Ahmad Mutamakkin, berarti masih terkait dengan Sunan Benawa di Kendal, ayah Sunan Pakubuwana I, dengan sendirinya para penguasa Mataram masih menghormati penulis.

Karena sistem politik Jawa masih memiliki bekasnya yang mendalam atas sistem politik nasional kita sekarang, dengan sendirinya tali temali ini harus diperhatikan juga. Contoh tadi juga memperkuat pendapat penulis, bahwa kita tidak memiliki acuan negara Islam bagi sistem politik yang kita kembangkan. Menurut dugaan penulis, kurang dari 20% pemilih akan mem­berikan suara kepada partai-­partai politik yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Benarkah apa yang disangkakan penulis itu? Pemilu adalah satu­-satunya tempat untuk menguji kebenaran pendapat itu. Sejarahlah yang akan menjawab.

Catatan kaki:

[1] Meskipun UUD 1945 telah dilakukan amandemen setidaknya empat kali dan secara hukum TAP MPR dan MPRS tidak berlaku lagi, tetapi TAP MPRS No. 25 tahun 1966 ini sampai sekarang masih menjadi inspirasi dan bahkan menjadi konsideran bagi berbagai UU. Peraturan atau regulasi di ber­bagai tingkatan dan bahkan Peraturan Daerah (Perda) di beberapa tempat untuk membatasi kebebasan berpolitik warga negara tertentu.

[2] Beberapa sumber menyebut Freemason sebagai organisasi rahasia in­ternasional yang anti-agama. Bahkan Gereja Katolik pada masa Paus Leo XIII melalui Ensiklik berjudul Humanum Genus (1884), melarang semua umat Katolik bergabung dengan organisasi itu.

[3] Mengenai KH. A. Mutamakkin, lihat pula Bab I bag. 9 berjudul “Islam: Apakah Bentuk Perlawanannya?”

[4] Amangkurat IV memerintah Kesultanan Surakarta tahun 1719­-1726 M.

[5] Sutawidjaya mengangkat diri sebagai raja dengan gelar Panembahan Senapati setelah wafatnya Sultan Hadiwijaya 1582. Sutawijaya memerintah sampai kira-­kira 1601 yang kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Mas Jolang yang kemudian terkenal dengan Panembahan Seda Krapyak.