Islam: Ideologis ataukah Kultural? (5)

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam perjalanan menuju Banjarmasin, di pagi hari, penulis mengikuti siaran warta berita televisi di ruang tunggu pesawat Mandala. Ditayangkan di televisi itu peringatan Tabot di Bengkulu, yang diselenggarakan untuk menghormati Syekh Burhanudin [1] yang hidup di kawasan itu pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 Masehi. Karena dijelaskan dalam pemberitaan tersebut, bahwa acara tersebut juga diikuti orang­-orang keturunan India, jelaslah bahwa orang-orang Syi’ah sekte Isma’illiyah [2] adalah pembawa Islam ke Bengkulu saat itu. Sekte Syi’ah Isma’iliyah inilah yang kemudian menurunkan para pemimpin yang bernama Aga Khan di negeri India.

Walaupun kemudian ajaran Sunni tradisional menguasai Bengkulu, upacara Tabot itu tampaknya tidak juga kunjung hilang, dan sekarang bahkan menjadi bagian dari adat setempat. Di permukaan tampak Syi’isme dalam baju adat atau kultur ma­syarakat setempat, walaupun seluruh ajaran kaum muslimin di kawasan itu, di“sunni”kan melalui fiqh/hukum Islam. Ini berarti bahwa, Sayyidina Hasan dan Husain dimuliakan dalam “ajaran” Sunni, dengan dilepaskan dari sekte Syi’isme. Ini adalah kejadian lumrah, seperti halnya pembacaan dziba’ oleh jutaan warga Nahdltul Ulama di berbagai kawasan di negeri kita.

Kedua hal tersebut di atas, yaitu munculnya Syi’isme dan pembacaan dziba’ dalam bentuk budaya adalah bentuk paling kongkrit dari penampilan Islam di masa lampau di negeri ini, yakni dalam bentuk kultural, bukannya ideologis. Hal ini harus kita perhatikan baik-­baik, jika ingin memahami proses masuknya Islam ke Indonesia dan menyimak perkembangan agama tersebut di kawasan Asia Tenggara. Ketidakmampuan memahaminya, hanya akan menghadapkan Islam pada paham-­paham lain di negeri ini. Sesuatu yang jelas-­jelas tidak diingini oleh mayoritas kaum muslimin Indonesia bahkan mayoritas bangsa.

Inilah yang menjadi tema utama yang harus diperhati­kan dalam mencermati perkembangan Islam di negeri ini, yang sering disebut sebagai “negerinya kaum muslim moderat”. Kega­galan mengambil sikap ini, apapun alasannya (ideologis ataupun politis), jelas menjadi tantangan bagi kaum muslimin di negeri ini. Karena kedudukan Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslimin (sekitar 185 juta jiwa) terbesar di seluruh dunia. Dengan sendirinya siapa yang menang di negeri ini akan menentukan masa depan Islam; apakah ia berkembang sebagai ideologi ataukah secara kultural?

Tulisan-­tulisan berikut akan mencoba menelusuri perkem­bangan ini, tentu saja dengan memenangkan pendapat kaum moderat yang tidak mementingkan ideologi. Dalam pandangan mereka, Islam muncul dalam keseharian kultural, tanpa berbaju ideologi sama sekali. Dengan mencoba bersikap simpatik kepada pendekatan ideologis, penulis bermaksud menekankan penting­nya saling pengertian antara kedua pendekatan tersebut.

Kalau kita tidak menginginkan terorisme merajalela di negeri kita, dengan menggunakan nama Islam, tentu pendekatan ideologis ini harus benar­-benar diperhatikan dengan cermat. Apa pun sebab-­sebab yang menimbulkannya, terorisme dengan menggunakan nama Islam lebih banyak disebabkan oleh ketidak­pahaman mereka akan proses modernisasi yang dialami bangsa kita mulai abad ke­-19 Masehi hingga saat ini. Ini bukan berarti, penulis meniadakan kemungkinan adanya asal-­usul lain bagi terorisme yang menggunakan nama Islam yang kini sudah merajalela di mana­-mana seperti kita saksikan di berbagai kawasan di negeri ini dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai sebuah proses sejarah, hal itu adalah sesuatu yang biasa, betapa pun sakit dan susah kita dibuatnya, akibat dari rumah-­rumah, sekolah­-sekolah dan tempat-­tempat umum lain yang dirusakkan, maupun jiwa yang melayang karenanya. Namun dapat disimpulkan bahwa terorisme bukannya sebuah proses yang tidak dapat dihindari.

Di samping itu ideologis, pendekatan institusional ini seringkali ditunggangi oleh kepentingan politis. Ini terjadi terus-­menerus hingga tulisan ini dikirimkan ke meja redaksi untuk diterbitkan. Kepentingan politik sesaat, untuk merebut atau mempertahankan kepemimpinan negara, membuat sejumlah lingkaran kekuasaan di negeri ini dalam beberapa tahun terak­hir, untuk mendukung gerakan-­gerakan ideologis Islam. Karena kepentingan politik mereka, dikombinasikan dengan ketakutan sebagian penguasa untuk menindak terorisme berbaju ideologis itu, jadilah toleransi kepada gerakan­-gerakan mereka justru menjadi pendorong para teroris untuk menggunakan nama suci agama.

William Cleveland menuliskan dalam disertasinya [3], beberapa waktu lalu. Ia menjelaskan ideologi Islamistik dari Syakib Arsalan, pemimpin sekte Druz di Lebanon yang juga kakek dari Kamal Jumlad ini, berasal dari penolakannya terhadap gagasan nasionalisme Arab. Hal itu timbul dari ambisi pribadi Syakib untuk tetap menjadi anggota Parlemen Ottoman di Turki. Ambisi ini hanya dapat dicapai kalau keutuhan Islam di bawah pemerin­tahan Ottoman dapat dipertahankan di seluruh kawasan Arab, juga di tempat-­tempat lain dalam dunia Islam. Tentu saja, kita dapat menolak atau menerima pendapat ini, tapi yang terpenting adalah upaya untuk mencoba mengerti asal-­usul historis maupun idealistik dari gagasan itu sendiri.

Disertasi itu, yang ditulis oleh paman tua Paul Cleveland, ketua Lembaga Persahabatan Amerika Serikat­-Indonesia (Usindo) saat ini, mencoba menggali alasan-­alasan historis pemikiran utama yang dikembangkan Syakib Arsalan, yang tentu saja berbeda, atau mungkin bertentangan dengan sebab­-sebab idealistik dari Syakib Arsalan, yang dikenal sebagai penganjur Islam ideo­logis dengan bukunya “limâzâ ta’-akhkhara al-muslimûn wa taqaddama ghairuhum (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Selain Mereka Maju?)”. Dari sinilah kita lalu mengerti mengapa harus diketahui sebab­-sebab paham Islam ideologis itu, termasuk nantinya sebab­-sebab sosiologis dan sebagainya. Kalau tujuan ini dapat dicapai, nama Islam dapat dijernihkan dan dipisahkan dari terorisme, serta dapat dikembangkan pegangan lebih pasti bagi kaum “muslimin moderat”. Mereka ini dalam pandangan penulis adalah mayoritas kaum muslimin yang tengah disalahpahami orang terutama oleh kaum non-­muslim.

Catatan kaki:

[1] Syekh Burhanuddin adalah seorang tokoh tarekat dari Ulakan, Paria­man, Sumatera Barat. Dia murid Syekh Abdurrauf Singkel, ulama terkemuka Aceh yang juga seorang tokoh tarekat Syattariah, Qadiriyah, dan Naqsabandiyah.

[2] Syi’ah Ismailiyah merupakan salah satu sekte Syi’ah. Syi’ah sekte ini muncul karena perbedaan pendapat tentang imam ke-7 pengganti Ja’far al-Shiddiq. Menurut kelompok ini, pengganti Ja’far al-Shiddiq adalah Ismail meskipun ia sudah meninggal. Namun kelompok lain (Syi’ah Imamiyah atau Syi’ah Dua Belas) berpendapat bahwa pengganti Ja’far al-Shiddiq adalah Musa al­-Kadzim, adik Ismail.

[3] Judul disertasi Profesor Sejarah di Universitas Simon Fraser, Kanada ini yaitu, Islam Against the West: Shakib Arslan and the Campaign for Islamic Nationalism.