Benarkah Harus Ada Konsepnya?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pertanyaan di atas haruslah diajukan kepada pemerintahan sekarang ini, yang tampaknya tidak memiliki konsep apa pun dalam menangani krisis multidimensi yang menghinggapi bangsa kita saat ini. Sebab kenyataannya, pemerintah tidak memiliki keberanian untuk mengambil satu sikap saja dalam setiap persoalan. Karena konsistensi pandangan yang diambil tidak diperhatikan, maka orientasi permasalahan tidak pernah memiliki kejelasan. Bukti yang paling jelas adalah, inkonsistensi dalam orientasi ekonomi kita. Di satu pihak, kita merasakan adanya kecenderungan untuk membiarkan optimalisasi keuntungan, yaitu perusahaan mendiktekan “keharusan-keharusan” yang kemudian diikuti pemerintah. Di antaranya adalah dihilangkannya bentuk-bentuk subsidi bagi kebutuhan masyarakat, untuk menghilangkan “kerugian-kerugian” setiap usaha.

Contoh yang paling jelas dan aktual adalah berbagai kenaikan tarif dan harga penjualan BBM. Jelas, hal itu disebabkan oleh desakan luar negeri, agar supaya segala macam subsidi dihilangkan. Hal itu diperlukan, guna menghindarkan “kerugian” pada berbagai BUMN. Dengan kata lain, perlunya subsidi bagi sejumlah hajat hidup orang banyak, adalah sebuah keharusan. Yang perlu diubah bukanlah adanya subsidi itu sendiri, melainkan terjadinya biaya tinggi ekonomi (high cost economy), akibat permainan birokrasi pemerintah. Ini berarti diperlukan keberanian moral yang tinggi dan kemauan politik yang kuat, untuk melakukan pengikisan KKN. Bukan dengan mengurangi subsidi yang akan menyusahkan rakyat banyak saja. Namun, justru kebalikannya yang terjadi. Seperti yang kita lihat dewasa ini KKN tampak bertambah merajalela.

Dengan demikian, masyarakat ditimpa dua hal yang sebenarnya berbeda satu dengan yang lain. Di satu pihak, rakyat menderita akibat dicabutnya subsidi dari berbagai hal yang menjadi kebutuhan pokok. Termasuk hal yang secara politis dianggap sebagai “kebutuhan pokok”, yaitu perdagangan dunia, rakyat juga “terkena imbasnya” akibat kemahiran birokrasi pemerintahan ber-KKN. Kedua hal inilah yang dikhawatirkan akan menciptakan situasi sangat negatif bagi perekonomian nasional kita, dan bahkan revolusi atau anarki sosial yang tidak terkendalikan lagi. Dalam ungkapan lain, bahaya akan terjadinya konflik horisontal haruslah benar-benar dirasakan pemerintah, justru agar supaya kita tidak terdesak oleh perkembangan keadaan yang sama sekali tidak terduga. Itu adalah akibat dari langkanya konsep dalam menangani permasalahan krisis multidimensi yang kita hadapi saat ini.

*****

Menjelang keberangkatan ke Semarang, di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, penulis mendengarkan tayangan televisi mengenai aktivitas sebuah LSM di Kabupaten Simalungun (Sumatera Utara), yang mengusahakan agar masyarakat merasakan perlunya penjagaan atas kepemilikan hutan pohon Meranti di sebuah suaka alam yang hanya seluas 200 Ha. Hal itu ternyata berdampak pada terlindung dan terjaganya hutan itu dari para perambah hutan, karena masyarakat merasa penting kelestarian hutan Meranti itu. Ini menunjukkan bahwa rasa turut memiliki oleh rakyat, sebagai sebuah faktor dalam perekonomian kita, memang sangat dibutuhkan. Jadi, penghapusan subsidi secara semena-mena akan sangat mempengaruhi kemampuan kita untuk menyelesaikan krisis ekonomi, karena hilangnya faktor rakyat tadi.

Apa yang terjadi di Kecamatan Purba Tengah di kawasan Simalungun itu bersesuaian sepenuhnya dengan usul Erna Witoelar, semasa menjadi Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah, dengan gagasan agar masyarakat diberi kepemilikan sejumlah tertentu atas hutan-hutan kita, agar mereka merasa berkepentingan untuk menjaga kelestarian hutan. Usul itu diajukan untuk mencegah pembakaran hutan oleh orang-orang yang membakar hutan hanya untuk membuat ladang tanaman saja. Gagasan itu diajukan dalam sidang kabinet waktu itu, untuk mengatasi pembakaran hutan.

Di sini jelas tidak ada perbedaan antara upaya mengatasi pembakaran hutan dari upaya untuk melestarikannya. Kedua pandangan itu tertuju pada sebuah kenyataan, betapa pentingnya menciptakan rasa memiliki hutan-hutan kita oleh masyarakat luas. Ini dimungkinkan, jika pemerintah mengenal sangat dalam atas adanya rasa memiliki itu di kalangan masyarakat.

Jadi, faktor masyarakat menjadi sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi oleh siapa pun, terutama pemerintah. Tanpa adanya rasa memiliki seperti itu, sia-sialah kebijakan apa pun yang akan di ambil, walaupun para perumus kebijakan itu sendiri adalah tokoh-tokoh intelektual dengan berbagai gelar ilmu dari beberapa perguruan tinggi, yang memiliki reputasi ilmiah yang sangat baik. Jadi, benarlah kata sebaris sajak Arab: “Bukanlah orang muda kalau mengatakan itulah bapak kami (yang berbuat), melainkan seorang pemuda berkata inilah Aku” (laisa al-fatâ man yaqûlû kâna abî wallâkin al-fatâ man qâlâ hâ’anâ dza).

*****

Jadi, sikap untuk menghamba kepada orang luar tanpa memikirkan kerugian orang banyak adalah sikap yang sangat sempit, yang didasarkan ketakutan pada pihak asing itu sendiri. Dalam ajaran Islam, kepentingan orang banyak itu dirumuskan sebagai kebutuhan umum (al-mashlahah al-ammah) yang dalam bahasa kita digantikan oleh kata kesejahteraan. Dalam pembukaan Undang-Undang 1945, hal itu dirumuskan sebagai masyarakat adil dan makmur. Kata adil (al-adlu) dan kemakmuran (al-rohfalah), menunjukkan orientasi mementingkan kebutuhan orang banyak dan kesejahteraan mereka (moril dan materiil). Jadi, orientasi kepentingan orang banyak menjadi ukuran penyelenggaraan pemerintahan dalam Islam. Menarik sekali, ungkapan fikih “kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas/bagi rakyat yang dipimpin, harus terkait langsung, dengan kesejahteraan mereka (tasharruf alImâm ‘alâ al-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah). Karena itu, kepentingan rakyat adalah ukuran satu-satunya dalam Islam bagi penyelenggaraan pemerintah yang baik.

Dalam dunia modern sekarang, kebijakan subsidi yang tidak begitu mempengaruhi perdagangan bebas selalu terjadi. Seperti di Amerika Serikat, dana milyaran dollar US untuk membeli dan menyimpan susu dan produk ikutannya (keju, mentega, dsb), dimasukkan dalam anggaran belanja negara (federal budget) tiap tahunnya. Mengapa? Karena subsidi yang diberikan itu menyangkut persediaan dan permintaan (supply and demand). Mengapa kita tidak berani menetapkan ukuran sendiri mengenai harga minyak bumi dan barang-barang tambang lainnya? Bukankah mark up dan pungutan–pungutan yang dibebankan kepada Pertamina, mengakibatkan mahalnya bahan bakar di negeri ini? Bukankah dalam hal ini diperlukan subsidi tertentu kepada minyak bumi kita? Subsidi untuk kendaraan maupun subsidi untuk pengangkutan yang diperlukan bagi rakyat kebanyakan? Jadi, penghapusan subsidi bahan bakar tanpa melihat keperluan rakyat, berarti kita menaikkan biaya penghidupan bagi masyarakat kebanyakan, tanpa diimbangi oleh kenaikan pendapatan.

Jadi, kebijakan mengurangi subsidi minyak atau menghilangkan subsidi bahan bakar minyak adalah sebuah tindakan kapitalistik, tanpa melihat aktivitas bagi kebanyakan orang. Sikap ini jelas menunjukkan tekanan-tekanan beberapa negara kuat di Barat atas pemerintah kita. Kalau pemerintah lalu menaikan harga BBM dan menaikkan tarif-tarif tertentu, ini jelas menunjukkan orientasi memaksimalkan keuntungan (profit maximalization) telah berhasil didesakkan oleh negara-negara kapitalis kepada pemerintah, walaupun bertentangan dengan UUD 1945 yang berorientasi memenuhi kebutuhan orang banyak. Tugas kita adalah memberikan koreksi atas keputusan tersebut, karena sudah demikian jelas Islam berorientasi kepada kebutuhan orang banyak.