Islam dan Marshall McLuhan di Surabaya

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Penulis diundang oleh harian Memorandum untuk memberikan ceramah Maulid Nabi Muhammad Saw, beberapa waktu yang lalu, yang dihadiri ribuan massa, di antaranya para habaib yang datang dari berbagai penjuru Jawa Timur. Penulis sendiri disertai Prof. Dr. Mona Abaza dari Mesir, Maria Pakpahan dan dr. Sugiat (DPP PKB Jakarta). Sementara H. Moh. Aqiel Ali, selaku pemimpin umum harian ini, menyatakan peredaran oplaag harian tersebut kini sudah mencapai 120 ribu eksemplar per hari, yang menjadikannya koran besar dengan pembaca yang rata di Jawa Timur.

Maksud penulis mengajak Prof. Dr. Mona Abaza dan Maria Pakpahan tercapai yaitu melihat sesuatu yang belum pernah mereka saksikan. Hal itu adalah digelarnya pembacaan shalawat Nabi dari Habib Al-Haddad dan sajak burdah dari Imam Al-Busyairi. Ketika memberikan ceramah, penulis mempertanyakan adakah para peraga kedua jenis peragaan agama itu berlatih atas kehendak sendiri sepanjang tahun, ataukah ada yang membiayai? Terdengar jawaban gemuruh; tidak! Ini artinya mereka tidak pernah mengkaitkan latihan sepanjang tahun dengan pembiayaan acara. Dengan kata lain, mereka berlatih atas inisiatif sendiri dan dibiayai oleh keinginan keras mengabdi pada agama.

Inisiatif sendiri tanpa ada yang menyuruh inilah yang oleh Marshall McLuhan, seorang pakar komunikasi, sebagai “happening” (kejadian). Dicontohkan penulis dalam ceramah itu –seperti yang terjadi di Masjid Raya Pasuruan, setiap tahun dua kali. Para pemain rebana datang dari seluruh penjuru Jawa Timur, setiap kelompok bermain sekitar 5-10 menit. Mereka datang sendiri dengan menyewa truk, memakai pakaian dan tanda pengenal serta makanan sendiri. Begitu juga kendaraan yang mereka pakai, umumnya truk, disewa sendiri oleh tiap kelompok.

*****

Apa yang disebutkan sebagai happening oleh McLuhan itu, juga terjadi pada acara haul/peringatan upacara kematian Sunan Bonang di Tuban. Acara itu tidak memerlukan undangan dari panitia, kecuali hanya berupa pemberitahuan yang sangat terbatas, tidak lebih dari 300 orang saja, untuk mereka yang disediakan tempat duduk. Sedangkan untuk puluhan ribu pengunjung lainnya, mereka membawa sendiri tikar/koran bekas sebagai alas duduk serta botol air untuk mereka minum sendiri, tanpa mendapat undangan untuk hadir. Selama 43 tahun, muballigh kondang alm. KH. Yasin Yusuf dari Blitar, berpidato dalam acara haul tersebut, tanpa mendapatkan undangan dari panitia. Yang penting, ia dan rakyat pengunjung tahu hari dan tanggal acara haul tersebut, dan mereka datang atas dasar kesadaran mereka sendiri.

Ternyata, dalam hal-hal yang terjadi tanpa disiapkan matang-matang terlebih dahulu, pengamatan Marshall McLuhan itu terjadi. Happening itu terdapat di seluruh dunia dalam bentuk dan ragam yang beraneka warna. Apakah implikasi dari hal tersebut? Mudah saja pertanyaan itu untuk dapat dijawab: selama hal-hal itu dapat dianggap membawa berkah Tuhan, dan hal itu dibuktikan oleh hal-hal di atas, maka selama itu pula kesukarelaan akan menjadi pendorongnya. Ini terjadi, dalam banyak bidang kehidupan yang memperagakan kekayaan kultural suatu kelompok, tanpa ada yang dapat melarangnya.

Dengan kata lain, kesukarelaan atas dasar keagamaan itu, adalah sesuatu yang menghidupi masyarakat kita. Apa yang tidak diuraikan penulis dalam acara peringatan maulid Nabi Saw itu, karena keterbatasan waktu, adalah keharusan bagi kita untuk menerapkan secara lebih luas prinsip kesukarelaan di atas. Terutama dalam kehidupan politik kita, perlu dipikirkan adanya sebuah sistem politik yang sesuai dengan ajaran agama tentang keikhlasan, kejujuran/ketulusan, dan keterbukaan. Menjadi nyata bagi kita, bahwa pembentukan sebuah sistem politik yang memiliki kandungan sangat beragam, benar-benar diperlukan saat ini.

Jelaslah bahwa, aspek kesukarelaan dan keterbukaan sistem politik itu sangat diperlukan dalam sikap dan landasan kehidupan kita sebagai bangsa. Sementara itu, happening sebagaimana yang diajarkan McLuhan itu ternyata memiliki arti yang mendalam bagi peneropongan akan fungsi ajaran agama tersebut. Pengingkaran terhadap kesukarelaan di bidang politik, hanya akan menghasilkan sistem politik yang memungkinkan seseorang berbohong kepada rakyat.