Islam, Negara, dan Rasa Keadilan

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam dua sumber tekstual kitab suci al-Qurân mengenai keadilan, tampak terlihat dengan jelas bagaimana keadilan dapat ditegakkan, baik dari masalah prinsip hingga prosedurnya. Dari sudut prinsip, kitab suci al-Qurân menyatakan; “Wahai orang-­orang yang beriman, tegakkan keadilan dan jadilah saksi-­saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri (yâ ayyuha alladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi al-qisthi syuhadâ’a li Allâhi walau ‘alâ anfusikum)” (QS al-­Nisa [4]:135). Dari ayat ini tampak jelas bahwa, rasa keadilan menjadi titik sentral dalam Islam.

Sedangkan dari sudut prosedur, kitab suci al-Qurân menyatakan; “Jika kalian saling berhutang, maka hendaknya kalian gunakan tanda-tanda tertulis (idzâ tadâyantum bidainin ilâ ajalin musammâ faktubûhu)” (QS al­-Baqarah [2]:282). Dalam hal ini, rasa keadilan harus ditegakkan dengan bukti tertulis, sehingga tidak dapat dipungkiri oleh orang. Prosedur ini juga dijalankan dalam masyarakat berteknologi maju, sehingga kesan yang ada selama ini menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat tertinggal dapat dihilangkan.

Demikian pula, seorang hakim tidak dapat lepas dari tuntutan keadilan ini, seperti yang dikemukakan oleh sebuah hadits;“idraul hudud bi as-subuhat” yang memberikan pesan jika seorang hakim ragu-­ragu tentang kesalahan seorang terdakwa, maka ia tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, sebab ditakutkan si hakim berbuat kesalahan.” Jadi, aspek­-aspek keadilan dalam Islam bersifat menyeluruh, meliputi prinsip, prosedur, dan pelaksanaannya.

Apa yang dikemukakan di atas, adalah aspek­-aspek keadilan dalam masalah mikro. Dalam banyak hal, keadilan mikro itu seluruhnya tergantung dari bangunan makro sistem kemasyarakatan yang ditegakkan. Banyak ungkapan dari sumber-­sumber tertulis dalam Islam yang memungkinkan adanya penafsiran makro yang berdasarkan prinsip keadilan bagi umat manusia. Ungkapan dalam hadits; “Tangan yang memberi lebih baik daripada tangan yang menerima (al-yadu al-‘ulyâ khairun min al-yadi al-suflâ),” jelas menunjukkan adanya keharusan dipeliharanya keadilan dalam hubungan antara negara kreditor kepada debitor. Sayangnya, hal ini justru tidak terdapat dalam tata ekonomi modern kita di seluruh dunia saat ini.

Pengertian makro, juga tampak dalam keharusan bagi para pemimpin negara/masyarakat untuk menunaikan tugas membawa kesejahteraan. Adagium fiqh menyatakan; “Langkah dan kebijakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin terkait lang­sung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al- imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah).” Artinya, ke­sejahteraan masyarakat tidak akan dapat tercapai, jika pemimpinnya tidak mewujudkan keadilan seluruh warga masyarakat, melainkan hanya untuk sebagian saja.

Ini sangat penting untuk diperhatikan karena kebanyakan di negeri-­negeri muslim, seorang penguasa selalu menikmati kekayaan berlimpah, sementara banyak kaum miskin di sekeli­lingnya. Kehidupan kaum miskin seperti terombang-­ambing di tengah banyaknya produk­-produk yang dihasilkan oleh para pemilik modal yang berjumlah sangat kecil. Ketimpangan situasi seperti itu terjadi dalam kehidupan modern -secara internasional dewasa ini. Dengan situasi yang tidak adil seperti itu, jelas bahwa Islam tidak menyetujui kapitalisme klasik yang didasar­kan pada prinsip persaingan bebas (laises faire) dalam pergaulan internasional saat ini.

Karena itu, orientasi pembangunan negara untuk kepen­tingan warga masyarakat/rakyat kebanyakan, harus lebih diutamakan, dan bukannya pengembangan sumber daya manusia yang tinggi maupun penguasaan teknis yang memadai bagi modernisasi. Dengan kata lain, bukan modernitas yang lebih dikejar melainkan terpenuhinya rasa keadilan dalam kehidupan bermasyarakat yang harus diutamakan. Kehidupan modern yang penuh kenikmatan bagi sekelompok orang bukanlah sesuatu yang dituju Islam, melainkan kesejahteraan bagi seluruh penduduk. Prinsip ini sangat menentukan bagi keberlangsungan hidup sebuah negara.

Di sinilah kemampuan kita untuk menemukan sebuah sistem yang menjamin kepentingan rakyat kebanyakan, di atas kepentingan, dalam batas waktu tertentu, kelompok industrialis pemilik modal. Dalam pengertian ini, asas keseimbangan diperlukan agar kesejahteraan orang kebanyakan benar-­benar diperhatikan, tanpa mengekang kelompok industrialis maupun pemilik modal untuk berkembang.

Sebenarnya telah banyak percobaan untuk menemukan sistem yang demikian itu, namun semuanya gagal apabila hanya mengandalkan kepada ideologi­-ideologi yang ada yaitu sistem kapitalisme, sosialisme, maupun komunisme. Seringkali, koreksi-koreksi dilakukan dengan mencampuradukkan beberapa ideologi di dalam sebuah wawasan yang sangat umum. Seperti modifikasi atas ideologi kapitalisme menjadi folks kapitalismus (kapitalisme rakyat), yang mencoba mengoreksi kapitalisme klasik yang hanya mementingkan persaingan bebas, dengan tidak menganggap penting arti rakyat kebanyakan.

Folks kapitalismus mengambil semangat egalitarian dari sosialisme, ini berbeda dari birokrasi komunisme yang banyak mengadopsi dari kapitalisme klasik, paling tidak mengenai cara-cara berkompetisi. Islam ­pun juga pernah harus melakukan hal yang sama yaitu dengan berani mengambil cara-­cara dari ideologi-ideologi lain. Puluhan tahun yang lalu, ada gagasan tentang “Sosialisme Islam” [1], yang walaupun gagal berkembang namun tetap saja harus dihargai sebagai upaya dinamisasi agama tersebut. Begitu juga dengan pengertian-pengertian dasar yang kita terus mengalami perubahan. Dahulu, pengangguran berarti tiadanya pekerjaan bagi seorang warga negara, sekarang orang yang bekerja tapi di bawah 35 jam per minggu sudah dinamai penganggur.

Dengan arti perubahan tersebut, maka pemahaman kita mengenai hubungan antara negara dan warganya juga bersifat dinamis. Jika negara mampu mewujudkan kemakmuran warganya pada taraf tertentu, maka hal itu sudah dianggap menunaikan kewajiban menciptakan kesejahteraan, karena negara mampu melindungi para warganya dengan menjamin taraf kehidupan pada titik tertentu, misalnya, melalui asuransi sosial. Ini berarti penciptaan kemakmuran dan keadilan, yang kedua-­duanya dijadikan tujuan UUD 1945 sudah ditunaikan dengan baik, meski ada sejumlah warga negara yang bekerja di bawah 35 jam. Nah, kalau ini berhasil diwujudkan oleh sebuah masyarakat Islam, berarti pula Islam telah berhasil menyejahterakan warga negara tanpa menjadi sebuah sistem formal. Sangat kompleks memang, tapi cukup berharga untuk direnungkan, bukan?

Catatan kaki:

[1] H. Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto adalah tokoh Islam yang merumuskan ide ini pada awal masa pergerakan Indonesia.