Umat Buddha dan Kesadaran Berbangsa

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Tulisan ini merupakan sambutan yang disampaikan penulis atas datangnya Hari Raya Waisak 2547/2003. Semakin hari semakin nyata, bahwa peranan umat Buddha sebagai bagian dari bangsa Indonesia tampak semakin penting, terutama karena mereka banyak yang bergerak di bidang ekonomi dan dunia usaha. Dunia tersebut mengharuskan adanya orientasi yang jelas sebagai umat agar tidak terjadi kehilangan arah secara kolektif. Karena itulah, dalam jumlah penganut yang tidak terlalu besar, namun pengaruh umat Budha itu sendiri tambah hari tampak semakin besar.

Jacob Oetama, pemimpin umum “Kompas” mengatakan masa depan bangsa kita ditentukan oleh kemampuan mempersatukan diri antara dua golongan yang berperan besar dalam hidup kita: kaum muslimin “mainstream” (mereka yang tidak mendukung terorisme serta tidak menghendaki negara agama di negeri kita) dan kaum pengusaha. Kaum pengusaha yang memiliki demikian banyak sumber­sumber dan kemampuan teknis, siapa lagi kalau bukan pengusaha Tionghoa, yang umumnya beragama Buddha dan Konghucu.

Orang­-orang Tionghoa, yang di negeri asal dianggap sebagai perantau (Hoa-Kiauw), di negeri ini menggangap diri dan diterima sebagai warga negara, dan memiliki hak­-hak yang sama dengan para warga negara yang lain. Mengapa? Karena mereka lahir di negeri ini dan menjadi warga negara, sehingga sepatutnya mereka juga dikenal sebagai “penduduk asli” seperti yang lain­ lain juga. Hanya karena peraturan kolonial yang tertulis sajalah mereka dianggap sebagai “orang Asing Timur” (vremde osterlingen) yang hidup damai dengan penduduk Asli. Orang­-orang seperti John Lie [1] yang turut angkat senjata memperjuangkan kemerdekaan kita, adalah bukti dari perjuangan mereka mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda. Yang sangat menyakitkan, mereka dianggap sebagai orang lain.

Tentu saja, menganggap mereka sebagai orang lain adalah kesalahan besar yang harus kita koreksi. Kalaupun ada ikatan dengan tanah leluhur, itu tidak lain hanya sesuatu yang bersifat kultural dan historis belaka. Sama dengan orang Minahasa dan orang Minangkabau menggunakan nama­-nama Barat, seperti Frederick Waworontu dan Emil Salim, yang tidak menjadikan mereka Barat.

Karena itulah, saya selalu melawan anggapan atau penyebutan umat Buddha, yang sebagian besar dianut oleh suku Tionghoa di negeri ini, sebagai “warga keturunan”. Mereka adalah orang Tionghoa sebagaimana halnya ada orang Papua, orang Aceh, orang Sunda, dan sebagainya. Juga menjadi kerja kita untuk memberi kerangka gerak yang memadai bagi umat Buddha, yang merupakan salah satu aset (kekayaan) bangsa kita. Pengembangan aset ini haruslah dilakukan dengan kepala dingin, sebagai bagian dari penataan kehidupan nasional secara keselu­ruhan dalam jangka panjang.

Kalau nilai­-nilai yang diikuti golongan Islam seperti santri ditentukan oleh Majelis Ulama Indonesia, orang-­orang Katolik oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia dan umat Kristen Pro­testan oleh Persekutuan Gereja­-Gereja Indonesia, orang­-orang Konghucu oleh Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, maka umat Buddha, dalam pandangan penulis, mengikuti dan melaksanakan nilai­-nilai agama yang dirumuskan oleh Konferensi Agung Sangha Indonesia. Bukannya oleh pihak atau perkumpulan orang awam. Merekalah yang harus tunduk kepada perkumpulan para agamawan. Hal inilah yang harus kita sadari, baik sebagai aparat pemerintah maupun sebagai warga masyarakat. Selama hal ini belum terwujud dengan sempurna, maka ke­hidupan kita sebagai bangsa juga akan pincang.

Catatan kaki:

[1] John Lie alias Jahya Daniel Dharma adalah perwira Angkatan Laut RI keturunan Tionghoa. Dengan kapal kecil cepat bernama “The Outlaw”, ia rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda dengan membawa hasil bumi Indonesia ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang diperolehnya lalu diserahkan kepada pejabat RI yang ada di Sumatera sebagai sarana perjuangan melawan Belanda.