Mencari Nilai-nilai Baru dalam Paham Kebangsaan: Sebuah Tinjauan dari Sudut Pandangan Sosial

Sumber Foto: https://www.kompasiana.com/halida8041/60ab3b53d541df4ffa0074c2/menanamkan-semangat-kebangsaan-pada-anak-sekolah-dasar

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sebuah pendekatan obyektif atas kenyataan hidup yang dijalani bangsa kita sekarang mau tidak mau membawa kepada sebuah kesimpulan yang cukup drastis: semangat kebangsaan kita memang merosot. Jika kekalahan total di arena bulu tangkis di Calgary baru-baru ini terjadi di tahun-tahun lima puluhan dan enam puluhan, dapat dibayangkan betapa hiruk-pikuknya pendapat umum yang menyalahkan PBSI atas pembinaan salah yang dilakukannya selama ini, atas nama kebermatan bangsa dan martabat negara. Tetapi, keadaannya sekarang amat berlainan. Tidak ada seorang pemimpin pun merasa perlu menanggapinya. Dan tidak ada ribut-ribut terjadi. Semuanya dikembalikan kepada ‘fungsi masing-masing’, jadi urusan bulu tangkis adalah urusan orang lain, bukan urusan kita semua karena menyangkut nama bangsa dan negara.

Merosotnya semangat kebangsaan itu sering tidak diakui, dengan menampilkan argumentasi bahwa ukuran semangat kebangsaan itu sendiri yang berubah, tidak lagi gelora semangat dan fanatisme berlebihan seperti dahulu. Bangsa ini mengembangkan sebuah sudut lain, yaitu keseluruhan kiprah kita sebagai bangsa. Karya bangsa kita di berbagai bidang adalah ukuran utama yang harus dipergunakan. Justru dalam soal inilah tampak nyata sekali bahwa kehidupan kita sebagai bangsa tengah mengalami kelesuan semangat secara menyolok. Siapa pun tidak dapat menyangkal kenyataan bahwa mutu kerja kita secara kolektif sebagai bangsa patut dipertanyakan mutunya. Juga patut dipertanyakan apa penyebab ketidakpedulian kita kepada pemeliharaan mutu kerja itu, yang diputar dibalik akan memperlihatkan kelesuan semangat kebangsaan itu.

Sebagai kompensasi dari merosotnya semangat kebangsaan itu, kita melihat munculnya berbagai bentuk solidaritas sempit yang berkembang secara meluas dalam kehidupan masyarakat. Kebanggaan daerah yang sangat berlebihan terasa di hampir semua tempat dan lapisan masyarakat saat ini. Walaupun belum mencapai fanatisme kedaerahan yang membahayakan keutuhan bangsa dan negara, namun sebagai gejala solidaritas sempit kenyataan ini sudah jelas tampak dalam kehidupan. Walaupun tidak dapat ditampilkan dalam gambar hitam putih, karena perkawinan antar-suku berlangsung tanpa hambatan, namun kesadaran kolektif akan keunggulan daerah masing-masing memang terasa hidup. Solidaritas profesi sering juga menampilkan bentuk pernyataan diri yang sempit, seperti ketidaksediaan menghargai pendapat kalangan profesi lain dan mengakui legitimitas ‘kepentingan bangsa’ di atas kepentingan profesi masing-masing.

Yang paling terasa dalam hal ini solidaritas sempit yang timbul dalam bentuk keagamaan. Jika tahun-tahun lima puluhan dan enam puluhan merupakan masa semua kesadaran larut dalam kesadaran berbangsa yang tinggi, terlepas dari adanya pemberontakan di daerah-daerah, maka sekarang kesadaran beragama justru mengambil bentuk sangat sektarian: para penganut berbagai agama justeru hanya merasa terikat kepada kemajuan agama masing-masing. Kecurigaan antara para pemeluk berbagai agama terasa sangat besar dalam tahun-tahun belakangan ini. Bahwa umat Kristen turut meramaikan dua kali acara Musabaqah Tilawatil Quran, di Manado dan Pontianak, tidak diterima sebagai kebaikan hati ‘pihak luar’, melainkan justru sebagai campur tangan dalam urusan orang lain, adalah suatu hal yang menandai sempitnya solidaritas keagamaan kita dewasa ini. Isu ‘Kristenisasi’ di kalangan kaum muslimin dan ‘Islamisasi’ di kalangan kaum Kristen adalah sesuatu yang nyata terdapat dalam kehidupan bangsa kita, yang menunjukkan betapa solidaritas sempit justru berkembang saat ini.

Gejala lain yang dapat dipergunakan untuk menandai merosotnya semangat kebangsaan kita dewasa ini adalah besarnya kesenjangan komunikasi antara lapisan-lapisan masyarakat yang saling berbeda. Ada semacam rasa ketidakpedulian akan nasib orang lain dari masyarakat yang tidak sama lapisannya dengan lapisan kita sendiri. Ada keengganan untuk berkomunikasi secara tuntas dengan lapisan-lapisan lain dalam masyarakat, karena proses seperti itu akan membawakan semacam rasa bersalah bagi lapisan yang kebetulan ‘bernasib baik’ dalam hidup. Kalau pun ada semacam kebutuhan mengenai lapisan-lapisan masyarakat lebih ‘bawah’, maka ia akan muncul dalam sikap karitatif untuk membantu meringankan penderitaan, bukannya keinginan melakukan pengenalan mendalam atas persoalan-persoalan di bawah itu sendiri. Lapisan bawah masyarakat adalah obyek kegiatan kita, bukannya subyek yang menjadi pihak dampingan (counterparts) kita.

Selain munculnya berbagai bentuk solidaritas sempit itu, nyata sekali semangat kebangsaan kita mengalami kemerosotan dalam menyusutnya kemampuan untuk mengimbangi kecenderungan kuat akan birokratisasi kehidupan masyarakat. Semakin lama semakin pengap udara terasa oleh menjadi-jadinya proses birokratisasi itu, yang lambang utamanya adalah UU Keormasan yang baru saja disahkan DPR akhir bulan lalu. Bahwa organisasi kemasyarakatan harus diatur oleh sebuah undang-undang tersendiri, adalah bukti dari adanya dua hal sekaligus: semakin semrawutnya kehidupan organisasi kemasyarakatan sendiri, dan kecenderungan untuk mengatur mereka di pihak pemerintah. Berarti adanya proses melemahnya organisasi kemasyarakatan, dan semakin besarnya perahan atau kehadiran pemerintah dalam kehidupan mereka. Untuk baik atau buruknya, ini berarti birokratisasi, dan mudahnya hal itu dilakukan menunjukkan semangat dan kegairahan hidup organisasi kemasyarakatan sudah sangat menurun. Kecemburuan mereka untuk memelihara independensi diri masing-masing sejauh mungkin, ternyata sudah tidak ada bekas-bekasnya lagi. Kalau diingat bahwa justru dengan semangat menjaga independensi diri itulah dahulu dilawan wildescholen ordonantie, peraturan sekolah liar di masa kolonial, tentu patut dipertanyakan mengapa sampai demikian merosot semangat melawan upaya birokratisasi itu. Paham kebangsaan kita dahulu bertumpu sepenuhnya pada semangat perlawanan terhadap upaya penggrogotan independensi diri itu, dan sudah wajar jika hilangnya semangat tersebut dikaitkan dengan merosotnya semangat kebangsaan kita dewasa ini.

Solidaritas kebangsaan kita juga menemukan bentuk pernyataan diri yang kuat dahulu dalam solidaritas antarbangsa terjajah. Kini solidaritas itu sudah mencapai titik sangat rendah, tinggal menjadi semacam hubungan antarbangsa yang diatur oleh persamaan kepentingan belaka. Kita dan sama bangsa-bangsa ASEAN memiliki solidaritas kuat, karena ada persamaan kebutuhan di bidang politik dan keamanan, belakangan ini disusul olah kepentingan ekonomi. Dengan bangsa-bangsa lain yang bernasib sama, sudah tidak ada lagi perhatian kita, kecuali sebagai berita saja, seperti kelaparan di Ethiopia atau pergulatan Nicaragua melawan Amerika Serikat. Kita hanya menjadi penonton di pinggiran, bukannya salah satu pemain dari pertandingan yang sama. Bahkan lebih jauh lagi, kemandirian politik kita semakin lama semakin terasa melemah di hadapan semakin meningkatnya kekuatan ekonomi, politis dan militer negara-negara adikuasa. Seolah-olah pangkalan Uni Soviet di Cam Ranh Bay dan pangkalan Amerika Serikat di Subic Bay, yang berjarak begitu dekat, sama sekali tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap kemerdekaan kita. Hal yang seharusnya menjadi ancaman politik ini, tokh tidak sampai membangunkan kita dari keterlenaan dengan sejumlah tolok ukur fisik akan keberhasilan pembangunan ekonomi yang kita jalankan saat ini.

Manifestasi lain dari merosotnya semangat kebangsaan kita saat ini adalah menyusutnya perhatian kepada budaya nasional, yang akan menjadi wadah penyaluran kehidupan kultural kita sebagai bangsa. Di hadapan sebuah hiburan komersial yang begitu dahsyat, yang melanggar semua ‘perbatasan budaya’, terasa tidak lagi relevan untuk berbicara tentang apa kaitan antara budaya daerah dan budaya nasional. Budaya daerah muncul sebagai garapan komersial, disajikan sebagai ‘mata acara pariwisata’ kepada para wisatawan asing. Selama mereka masih mau menikmatinya, mengapa pula harus kita ributkan hubungan budaya daerah dan budaya nasional? Tidak terasa kebutuhan akan kebudayaan sebagai totalitas pemikiran dan pengalaman rohani kita semua, melainkan kebudayaan sebagai tempat berhimpunnya sejumlah eksotika. Terjadi semacam anti- intelektualisme dalam kehidupan budaya kita, dalam bentuknya yang paling buruk: penolakan terhadap ‘kejenuhan’ pembahasan filosofis, dan ‘kebutuhan’ akan bentuk manifestasi seni dan budaya yng ‘lebih langsung’. Tidak ada refleksi mendalam dan kontemplasi berlingkup sangat jauh, yang ada hanyalah ‘penikmatan sesaat’ segenap produk budaya. Apa yang ditakutkan sebagai ‘pemberontakan khalayak’ (opstand der horden, rebellion de las massas) oleh Ortega Y. Gassett dan produksi massal oleh sejumlah intelektual seperti Camus dan Sartre, kini muncul dalam betuknya yang nyata di Indonesia, dan ini mencerminkan merosotnya semangat kebangsaan kita juga. Bukankah luhurnya budaya bangsa adalah salah satu pendorong munculnya semangat kebangsaan di masa lampau? Dan bukankah di hadapan komersialisasi seni budaya jutru terkandung makna merosotnya semangat kebangsaan itu?

Untuk mendorong munculnya kembali semangat kebangsaan itu, tidak cukup dilakukan usaha yang bersifat setengah-setengah belaka, seperti pawai alegoris, acara ‘napak tilas’ para pejuang dalam kesulitan-kesulitan fisik mereka di masa lampau, dan menghadirkan sejumlah film perjuangan dan buku-buku tentang kehebatan perjuangan kemerdekaan dahulu. Diperlukan lebih banyak hal lagi, yang justru bersifat lebih fundamental bagi kehidupan bangsa kita. Sejumlah kesadaran baru haruslah ditampilkan secara tekun, ditanamkan dan ditumbuhkan dengan penuh kesabaran, dan lebih penting lagi dikembangkan dengan kejujuran sikap yang tuntas kepada masa depan bangsa secara keseluruhan.

Sejumlah nilai-nilai baru harus dikembangkan, meliputi bidang-bidang berikut. Pertama, haruslah dikembangkan semangat untuk tidak hanya menghormati orang lain, melainkan justru untuk mengerti kesulitan ya dihadapinya. Hanya dari kedekatan seperti itulah solidaritas yang tulus akan muncul antara berbagai kelompok etnis, bahasa, budaya, agama, dan politik yang membentuk bangsa kita. Saat ini, kita telah mengembangkan kebiasaan hanya untuk merasakan kesulitan sendiri, tanpa mau tahu kesulitan orang lain. Salah satu bentuk paling umum dari sikap ini adalah kecenderungan untuk mementingkan pemecahan ‘masalah teknis’ daripada melakukan refleksi atas masalah-masalah fundamental kita. Inilah yang justru harus diubah, dan arus yang harus dibalik.

Di kalangan umat berbagai agama, misalnya, akan berkurang rasa kecurigaan jika sejak semula sudah ada kebutuhan untuk saling mengerti kesulitan pihak lain. Apa yang oleh kaum muslimin dianggap sebagai pernyataan rasa beragama yang wajar-wajar saja, bagi orang Kristen dan Hindu terasa sebagai ‘proses Islamisasi’ berdaya tinggi, dengan risiko menyerap pengikut-pengikut agama lain ke dalam Islam. Untuk itu, mereka justru menginginkan diperkecilnya formalisasi kehidupan beragama melalui lembaga pemerintahan, apapun bentuknya. Justru kebutuhan inilah yang dirasakan oleh kaum muslimin sebagai proses ‘de-islamisasi’ dan menjadi bagian dari ‘proses kristenisasi’ Selama kesediaan untuk memahami masalah dari berbagai sudut pandangan belum muncul, selama itu pula saling pengertian antar umat beragama tidak akan muncul. Kalau diingat betapa rawannya kaitan antara kehidupan beragama dan semangat kebangsaan kita, dapat dipahami betapa pentingnya ditumbuhkan kesadaran saling memahami kesulitan seperti itu.

Semangat lain yang harus ditumbuhkan adalah kesadaran untuk mementingkan bangsa di atas kelompok sendiri. Kecenderungan sektarian kita memang sangat kuat, terlepas dari kemampuan bangsa kita untuk menumpas gerakan-gerakan separatis di masa lampau. Kecenderungan memahami kebutuhan kolektif kita sebagai bangsa, masih sangat kecil terasa dalam kehidupan kita. Yang umum, kaum muslimin lebih mementingkan ‘kepentingan Islam’ di atas ‘kepentingan Indonesia’, kepentingan umat Kristen dibatasi pada ‘kepentingan Kristen’ semata, dan demikian seterusnya. Demikian juga, kepentingan etnis terasa lebih menonjol di atas kepentingan nasional. Bahkan lebih jauh solidaritas sempit itu sudah meluas di kalangan pemerintahan: aparat pemerintah daerah di banyak provinsi dikuasai oleh alumni UGM, sedangkan dunia profesi di Jakarta dikuasai oleh alumni UI. Bukan rahasia lagi bahwa LBH Jakarta adalah ‘wadah alumni FH UI’. Jika hal-hal demikian dianggap sebagai sesuatu ‘yang biasa dan wajar-wajar saja’, dapat diperkirakan bahwa akan sulit sekali untuk menembus segala dinding penyekat antara kita, dan mendalami kebutuhan bangsa secara keseluruhan. Walaupun lagi-lagi tidak dapat dibuat gambaran hitam putih dalam hal ini, jelas sekali bahwa kepentingan sektarian saat memegang prioritas utama dalam lingkup pemikiran kita masing-masing. Inilah yang justru harus diganti oleh orientasi yang sama sekali baru: mencari bentuk kongkrit dari kesadaran berbangsa dan bernegara, yang bertumpu pada kepentingan nasional. Kepentingan nasional selama ini masih terlalu ditampilkan dalam bentuk abstrak, seperti loyalitas kepada negara, dan dengan demikian sangat terbatas jangkauannya dalam kehidupan nyata. Justru kongkretisasinya sebagai nilai yang mengatur kehidupan kita secara fungsional yang masih harus dikembangkan.

Kurangnya kesadaran akan kepentingan nasional, karena kepentingan nasional itu sendiri tidak terjabarkan secara kongkret, membuat sulit munculnya semangat pengorbanan bagi masa depan, atas kerugian masa kini Kilau dipandang perlu. Memang masih cukup banyak pejuang yang tulus-ikhlas untuk kepentingan negara dan bangsa, tetapi dalam kenyataan hidup semangat berkorban seperti itu masih memerlukan penggarapan secara massif, guna memungkinkan munculnya kekuatan baru untuk melakukan transformasi masyarakat secara tuntas bagi kepentingan masa depan kita semua sebagai bangsa dan negara. Kesadaran untuk berkorban itu erat kaitannya dengan kesadaran akan salahnya pendekatan kuantitatif yang mementingkan insentif materiil sebagai pendorong munculnya kiprah kita. Sekala prioritas kita akan kepuasan juga mengalami pergeseran besar, dari semangat mementingkan kepuasan rohani yang berjangka panjang menjadi kepuasan hedonistik sesaat. Kecenderungan ini yang justru harus dibalik, menjadi arus mementingkan masalah-masalah di masa depan, kalau perlu dengan mengurangi perhatian kita akan ‘capaian wajar’ yang dewasa ini berkembang dalam sekala kuantitatif.

Pendekatan yang diperlukan secara sosial untuk menciptakan kesadaran seperti itu, yang pada gilirannya berarti penumbuhan paham kebangsaan yang kuat dan benar, adalah dengan cara menyelesaikan secara tuntas hubungan antar-agama dan ideologi negara Pancasila. Hubungan antara sesama umat beragama juga merupakan akibat saja dari penataan hubungan agama dan ideologi negara.

Penetapan Pancasila sebagai asas tunggal, yang berarti ideologi tunggal, bagi organisasi-organisasi kemasyarakatan, pada dirinya merupakan pendekatan baru sama sekali dalam hubungan antara agama dan negara. Antara keduanya terdapat wilayah yang menjadi bagian Pancasila, karena menyangkut sisi ideologis dari kehidupan organisasi-organisasi kemasyarakatan kita. Agama harus memberikan hak untuk itu kepada negara karena bagaimana pun juga bagi bangsa kita agama akan lebih berfungsi positif kalau dilepaskan dari masalah-masalah ideologis. Sebaliknya, independensi agama dalam masalah-masalah yang menyangkut keimanan dan ritus keagamaan, haruslah dihormati sepenuhnya oleh negara. Pengaturan tuntas seperti itu untuk sementara memang masih dapat ‘dititipkan’ kepada sejumlah perangkat normal seperti UU Keormasan, tetapi dalam jangka panjang ia justru akan lebih hidup jika dikembangkan melalui ‘dialog budaya’ yang berlingkup luas. ‘Dialog budaya’ itu melibatkan baik pemerintah maupun masyarakat, terutama komunikasi langsung antara para pemimpin berbagai agama, sehingga muncul saling pengertian akan masalah-masalah bersama maupun masalah yang saling berbeda antara masing-masing mereka.

Sebuah aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan hubungan simbiotik antara Pancasila sebagai ideologi negara dan sistem-sistem budaya daerah yang ada di negeri kita. Melalui inventarisasi atas sejumlah sistem budaya daerah ternyata bahwa diperlukan penyegaran aspek-aspek tertentu dari sistem-sistem budaya daerah itu, yang dapat dilakukan oleh Pancasila. Contoh yang paling mudah diingat adalah bagaimana Pancasila mampu merubah orientasi sistem budaya Jawa yang terlalu menekankan kejayaan masa lampau dan terlalu mementingkan harmoni, sehingga berkembang orientasi penuh ke masa depan dan kreativitas individual yang tinggi melalui persaingan keras. Dalam proses simbiotik itu, Pancasila sendiri akan mengalami pengayaan diri (self-enfichment) yang luar biasa, yang akan mengembangkan wawasan dirinya.

Untuk melakukan itu semua, diperlukan sejumlah sikap dasar kita, guna memungkinkan pengenalan pokok permasalahan dan perinciannya sekaligus, dan memungkinkan pula pencarian pendekatan dan penemuan jawaban yang tepat atas permasalahan-permasalahan yang timbul. Kejujuran sikap yang tuntas dan konsisten terhadap sejarah kebangsaan kita; kejujuran pesan dalam penyelenggaraan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah dan munculnya kelompok rintisan yang melakukan perluasan cakrawala paham kebangsaan kita, itu semua adalah persyaratan utama kerja seperti itu. Semoga kita diberi kekuatan oleh Tuhan untuk melakukannya sebelum sama sekali terlambat.