Sebuah Telaah Awal: Peranan Organisasi Sosial Politik di Masa Depan

Sumber Foto: https://yudhapratama845.wordpress.com/2013/12/26/keadaan-politik-indonesia/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sebenarnya masih sangat riskan untuk melakukan telaah terhadap prospek organisasi sosial-politik di negeri kita di masa depan. Banyak kendala yang menyulitkan pembuatan telaah seperti itu. Pertama, karena masih sangat sulitnya dilakukan proyeksi keadaan sosial-politik kita setelah 1983, saat yang pada umumnya dianggap sebagai titik alih kepemimpinan secara tuntas dari Angkatan 45 kepada generasi penerusnya.

Banyak pertanyaan belum terjawab, sampai di manakah derajat ketuntasan alih generasi itu berlangsung, masihkah kehidupan sosial-politik kita dibebani dengan “penerusan” menyediakan tempat bagi tenaga-tenaga tua dari birokratis pemerintahan dan kalangan purnawirawan ABRI? Jika demikian, bukankah organisasi sosial-politik hanya akan menjadi keranjang sampah politik belaka? Dan, bukankah dengan demikian tenaga-tenaga segar dari luar kalangan kepegawaian dan ABRI sulit berkembang, dan mengembangkan kepemimpinan mereka sendiri, karena kalah legitimasi dari kasus kelompok tersebut?

Di pihak lain, kesulitan melakukan proyeksi itu juga disebabkan oleh segregasi sangat kaku antara mereka yang menjadi praktisi politik dan kalangan luarnya, terutama kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Dalam sistem politik yang terbuka, pertukaran peranan antara kedua belah pihak berjalan wajar, tanpa mengganggu struktur politik yang ada. Bob Hawke adalah pemimpin serikat buruh, sebelum menjadi pemimpin partai dan akhirnya menjadi perdana menteri Australia. Sementara Bob Whone menjadi ketua sebuah LSM, begitu ia kalah dalam pemilihan anggota parlemen.

Pada saat ini, boleh dikatakan masih sangat sulit melakukan upaya “bertukar peran” seperti itu, karena ketatnya proses menempuh jenjang karier politik melalui organisasi sosial-politik.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam konteks itu adalah kenyataan bahwa posisi pihak legislatif sangat lemah dalam sistem politik kita, bila dibandingkan dengan pihak eksekutif. UUD 1945 memang memberikan porsi sangat besar kepada sayap eksekutif dalam tata pemerintahan kita, karena ialah yang bertugas menciptakan kerangka “pengambil keputusan integralistik” salah satu ciri dari dijauhinya sedapat mungkin pola persaingan individual dalam meniti karier politik. Dengan kata lain, hampir tidak mungkin dilakukan pengenalan jenis (stereo typing) corak pemimpin-pemimpin politik masa datang, kecuali “keharusan” memperoleh restu pihak birokrasi pemerintahan dan ABRI

Dilihat dari kesulitan-kesulitan di atas dalam melakukan proyeksi politik, jelaslah bahwa telaah yang dilakukan harus mengambil pendekatan hipotesis, dalam arti menyajikan sejumlah kemungkinan dan dari berbagai kemungkinan itu lalu dibuat konfigurasi hipotesis yang diperkirakan akan terjadi. Pendekatan ini sebenarnya sangat tidak memuaskan, namun tidak ada pilihan lain mengingat kendala-kendala proyektif di atas.

Hipotesis pertama yang dapat dikemukakan adalah akan munculnya “keadaan longgar”. Peralihan kepemimpinan nasional akan terjadi secara lancar, dan disepakati adanya batasan yang lebih jelas atau lingkup dan jangkauan dwifungsi, dalam arti lebih terbuka kesempatan bagi para pemegang peranan dari luar jajaran birokratis dan purnawirawan ABRI untuk tampil dalam kedudukan kunci dalam lembaga-lembaga politik kita. Termasuk organisasi sosial-politik.

Kehidupan politik akan lebih segar, karena pencarian legitimasi dari rakyat akan bersifat membuka pintu bagi pelemparan gagasan politik dan isu-isu nasional yang baru. Badan-badan legislatif akan lebih bergairah memainkan peranan kontrol sosial atas pihak eksekutif dan yudikatif, sehingga suasana dialogis antara berbagai sayap dalam pemerintahan akan lebih banyak tersembul keluar, dan mendorong minat rakyat untuk mengamati berpartisipasi dalam politik. Proses ini akan membawakan tolok-tolok ukur dalam menilai kompetensi para aktor di panggung politik.

Dalam keadaan demikian, organisasi sosial-politik akan berperan lebih sebagai wadah dialog intern masing-masing dan ekstern antar sesamanya dalam merumuskan sasaran, pencapaian, dan tolok ukur yang diinginkan dalam menilai keberhasilan para politisi dalam menunaikan tugas profesional mereka. Demikian pula organisasi sosial-politik akan lebih memfungsikan diri sebagai tempat pelemparan isu-isu aktual dan faktual dari masyarakat atas pelayanan lebih baik dari aparat pemerintah. Tidak kalah pentingnya, organisasi sosial-politik akan menjadi ajang perdebatan tentang strategi pembangunan yang akan ditempuh bangsa ini di masa depan. Pendek kata, organisasi sosial-politik akan menjadi tempat penggodokan ide dan format politik kita di masa depan.

Hipotesis lain yang berkebalikan dapat saja terjadi, lebih dari sekarang, kehidupan politik akan lebih diperketat, sehingga sepenuhnya bergantung pada para birokrat pemerintahan dan perwira ABRI. Dalam keadaan demikian organisasi sosial-politik akan tetap pada fungsinya sekarang, yaitu lebih sebagai alat pemberi dan pencarian legitimasi daripada berbagai wadah pengembangan ide politik. Bahkan mungkin organisasi sosial-politik justru berfungsi menyumbat berkembangnya ide-ide politik yang berkembang di bawah permukaan dalam kehidupan masyarakat, seperti sedikit banyak telah mulai diperankan akhir-akhir ini.

Dalam keadaan demikian, organisasi sosial-politik, lalu menjadi onderdil dari mesin politik yang mandul, yang bisa hidup hanya karena memenuhi ketentuan-ketentuan prosedural belaka dari perundang-undangan yang ada. Kehidupan politik dalam arti sebenarnya, yaitu perdebatan antara berbagai wawasan kehidupan tidak akan dilakukan.

Antara kedua kutub hipotesis yang “longgar” dan “ketar” itu masih mungkin ditayangkan proyeksi lainnya dalam spektrum yang berjalan sangat lebar. Namun, untuk keperluan hipotesis, dapatlah dicukupkan dengan pola penghadapan seperti itu.

Di satu pihak, dari tilikan yang disederhanakan seperti itu, lalu dapat dibuat semacam “daftar prioritas” agenda yang harus diperjuangkan organisasi sosial-politik sendiri. Jika hipotesis “proyeksi ketat” yang terjadi, organisasi sosial-politik harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan semakin menurunnya kredibilitasnya sendiri di mata masyarakat, suatu proses berkepanjangan yang membawa akibat-akibatnya sendiri bagi pencapaian persyaratan utama untuk memasuki tahap lepas landas pembangunan nasional kita, yaitu peningkatan mutu dan kreativitas manusia secara mendasar. Dengan kata lain, dalam keadaan sesuram berlangsungnya proses politik serba monolitik itu, organisasi sosial-politik tetap masih harus memperjuangkan peranan lebih berarti dalam kehidupan politik kita di masa depan, kalau tidak ingin menjadi lumpuh total di masa depan.

Jika hipotesis kedua yang terwujud di masa depan, dengan sendirinya organisasi sosial-politik dihadapkan kepada pilihan-pilihan sulit tentang penentuan batas-batas kebebasan yang ditetapkannya bagi dirinya sendiri. Suatu sikap “mumpung bebas” justru akan menimbulkan ekses, berkepanjangan, seperti terjadi sekarang di Argentina dan Brazilia. Demagogis dan perjuangan gigih untuk kepentingan sempit golongan sendiri akan sangat mewarnai kehidupan politik, dan akibat regrasifnya sendiri bagi stabilitas kehidupan bangsa akan terasa untuk jangka waktu sangat lama. Mungkin justru dapat mengambilalih keadaan kepada situasi ketat dengan dalih menjaga stabilitas.

Kunci keberhasilan mengelola periode itu dengan baik adalah dalam penemuan titik keseimbangan antara kebutuhan memelihara stabilitas di satu pihak dan mengembangkan kebebasan berpendapat dan bersikap secara nyata di pihak lain. Kondisi faktual “setengah bebas” yang konduksif bagi peningkatan mutu dan kreativitas manusia Indonesia dengan tidak menggoyangkan sendi-sendi pemerintahan adalah persyaratan mutlak bagi kelangsungan hidup proses demokratisasi di masa depan.

Dari kedua pemikiran itu kita harus beralih kepada dinamika perkembangan masa depan dalam kehidupan masyarakat. Di satu pihak, kesadaran dan kemapanan sosial-ekonomi bangsa kita yang semakin bertambah di kalangan bangsa kita, dengan hasil semakin luasnya sikap dan pandangan hidup serba lugas (zakelijkheid), akan muncul kecenderungan semakin besarnya dikalangan cukup luas dalam masyarakat untuk mempertanyakan “larutnya nilai-nilai luhur” bangsa kita dan menampilkan “sistem nilai alternatif” agama dan tradisi akan muncul menjadi pesaing aktif bagi model modernisasi sosial-ekonomi yang akan dikembangkan. Paham serba nilai (hilostik) akan melawan sikap pragmatis dari modernisasi yang terlalu didominasi oleh “kemajuan sosial-ekonomis” itu.

Salah satu dari pandangan hidup (keltahchaung) serba nilai yang dibawakan agama dan tradisi adalah sifatnya yang universal. Tekanan pada “universitas kehidupan” ini dalam jangka panjang dapat menjadi arus pemukulan bagi wawasan kebangsaan kita sendiri. Karenanya, organisasi sosial-politik kita di masa depan harus mampu menyediakan kerangka dialog yang menetap yang akan membawakan hal-hal positif wawasan kebangsaan kita bagi pemekaran universitas bari bagi umat beragama dan penganut tradisi di masa depan, dan pada saat yang sama memberikan latar belakang universal yang akan lebih mematangkan wawasan kebangsaan kita.

Dalam konteks inilah sebenarnya masih diperlukan pembedaan orientasi politik keagamaan, kebangsaan, dan keekonomian. Orientasi keagamaan, nasionalisme, dan sosialisme, sebagai orientasi politik dan bukannya sebagai ideologi akan mengembangkan pola dialog yang mematangkan kehidupan politik kita di masa depan. Karenanya, kajian tentang orientasi keagamaan, nasionalistis dan sosialistis dari gagasan-gagasan politik kita perlu dilakukan oleh organisasi sosial-politik kita saat ini, bagi keperluan pencarian format dialog masa depan.

Oleh karena itu terasa kebutuhan untuk melakukan antisipasi sebuah perkembangan lain di masa depan. Dalam dua dasawarsa terakhir ini telah muncul kegiatan LSM sebagai fenomena baru dalam kehidupan bangsa kita. Terbagi menurut bidang yang diminati, kesemua LSM itu membentuk pola kesadaran baru yang oleh Ignas Kleden disebut “Komunitas politik” baru.

Konsep komunitas politik di luar lembaga politik yang ada itu memerlukan outlet bagi kepedulian dan keprihatinan mereka melalui kekuatan sosial-politik yang ada, yang tidak lain berarti melalui organisasi sosial-politik. Kelalaian memberikan saluran penampung hanyalah akan berakibat matinya inisiatif berkomunikasi bagi LSM dengan pihak politisi. Akibat tidak adanya komunikasi dua arah antara LSM dan organisasi sosial- politik adalah miskinnya masukan bagi organisasi sosial-politik dalam upaya menjadi wadah penggodokan gagasan-gagasan politik yang segar di masa depan.