Kehidupan Beragama, Rekayasa Sosial, dan Kemantapan Kehidupan Beragama

Sumber Foto; https://kumparan.com/muhamad-rosyid-jazuli/tentang-dinamika-keberagaman-keberagamaan-dan-demokrasi-di-indonesia-1tqUNf8rqeZ

Gus Dur menulis: Kehidupan beragama dapat berperan besar dalam rekayasa sosial. Yaitu dalam penciptaan alternatif moral, tanpa merobohkan strukturnya terlebih dulu.

Oleh: K.H. Abdurrahman wahid

Sebelum dikemukakan tulisan ini, terlebih dahulu diperlukan ke jelasan mengenai istilah ‘rekayasa sosial’ yang digunakan di sini. Kata rekayasa atau engineering secara sempit dapat diartikan upaya untuk melakukan perubahan mendasar dalam kehidupan suatu masyarakat, menyimpang dari alur hipotesis yang akan ditempuhnya jika tidak dilakukan upaya tersebut. Rekayasa dalam arti sempit ini seringkali mengambil bentuk tindakan berencana oleh sekelompok minoritas untuk memaksakan kehendak atas pihak mayoritas, sehingga dengan demikian ia kalau menimbulkan kesan manipulatif.

Sudah tentu pengertian tersebut bukannya yang dimaksudkan oleh makalah ini, karena langkah-langkah yang mengesankan manipulasi tentu jauh dari semangat kehidupan beragama yang benar dan sehat. Karenanya pengertian rekayasa sosial dalam hal ini harus diperluas, menjadi upaya berencana mengembangkan kehidupan masyarakat yang menuju kepada tatanan kehidupan yang lebih baik melalui kiprah mayoritas bangsa. Rekayasa seperti ini harus muncul dari dan diterima oleh masyarakat sebagai kebutuhan bersama, sehingga terhindar pemaksaan kehendak oleh pemegang kekuasaan atas rakyat banyak. Landasan pola kehidupan yang mereka jalani pada suatu saat.

Rekayasa sosial dalam pengertian ini mementingkan kerelaan semua pihak untuk menempuh pola kehidupan baru dan perumusan perubahan yang akan dicapai itu harus dilakukan secara demokratis, walaupun demokrasi yang diterapkan itu sendiri masih berbentuk primitif sekalipun (seperti sistem rembug desa di masa lampau di negeri ini dan perwakilan Panchayat di pedesaan India saat ini).

Rekayasa seperti itu tentu memerlukan pendekatan yang sama sekali berbeda dari rekayasa yang diterapkan dari atas, seperti pernah kita alami di masa lampau. Rekayasa dari atas itu memang bisa saja dirasakan kebutuhannya oleh elite yang memerintah, dan dengan pretensi bahwa rekayasa itu diperlukan oleh bangsa secara keseluruhan. Sublimasi kepentingan elite yang memerintah ke dalam kebutuhan bangsa itu yang sebenarnya menimbulkan kesan adanya manipulasi seperti dikemukakan di atas. Dalam kenyataan, rekayasa seperti itu jua jarang sekali yang mampu membangkitkan kesadaran bersama seluruh rakyat, dan dengan sendirinya lalu tidak ada partisipasi nyata dari masyarakat dalam pelaksanaan rekayasa itu sendiri. Dengan demikian menjadi jelas bahwa salah satu tolok ukur bagi pengenalan rekayasa yang timbul dari bawah adalah sejauh mana ia mampu mendorong partisipasi luas di pihak masyarakat.

Rekayasa sosial dengan pendekatan dari bawah ini tentu tidak sesederhana gambaran di atas. Antara perubahan yang diupayakan dan proses munculnya partisipasi untuk itu harus ada kaitan yang jelas, sehingga tercapai hubungan kausalitas nisbi. Rekayasa akan memungkinkan partisipasi, dan partisipasi menjamin kelangsungan rekayasa. Peningkatan satu sisi akan membawa peningkatan satu sisi yang lain. Ujung setiap tahap dari rekayasa akan merupakan titik mula berikut dari partisipasi, yang pada dirinya menjadi unsur tahap baru persambungan rekayasa tersebut. Dilihat dari sudut pandangan ini, rekayasa penuh seperti itu merupakan salah satu wajah dari pembangunan partisipatif yang hingga kini masih dicari modelnya oleh semua aliran pemikiran.

Jika istilah rekayasa sosial diperlukan kejelasan pengertian, maka kata kehidupan beragama dalam tulisan ini memerlukan kejelasan cakupannya. Tentu tidak semua manifestasi kehidupan beragama yang diliput oleh istilah itu, melainkan hanya satu bagian darinya saja. Bagian khusus itu adalah penghayatan agama yang dimiliki dengan keyakinan teguh akan kegunaannya bagi masyarakat, setidak-tidaknya bagi kelompoknya. Karena adanya faktor kesadaran, dengan sendirinya bagian khusus itu meliputi penafsiran ajaran agama sepanjang yang dilakukan para pemeluk itu, yang membawa perubahan pada perilaku mereka. Dengan demikian penghayatan dan pengamalan ajaran agama dalam bentuknya yang ritual dan bersifat rutin, tidak termasuk dalam cakupan istilah kehidupan beragama yang digunakan di sini.

Namun seperti juga halnya dengan istilah rekayasa sosial di atas, dalam pengertian kehidupan beragama yang bersifat khusus lalu tidak menjadi sesuatu yang sederhana (simplistik) belaka, melainkan justru tinggi kompleksitas gugusan penafsiran ajaran itu. Penafsiran ajaran selalu membawa dalam dirinya perubahan pandangan hidup dan sikap, atau dengan kata lain berlangsung proses mempertanyakan kemapanan ajaran-ajaran yang semula diterima sebagai “kebenaran agama”. Dari upaya mempertanyakan kemapanan ajaran itulah lahir sikap untuk mencari relevansi agama bagi kehidupan masyarakat. Jelaslah dengan demikian, bahwa upaya penafsiran kembali ajaran agama adalah kegiatan untuk memahami keimanan dalam konteks ubah-ubah.

Kehidupan beragama dalam kompleksitas seperti itu memadukan dalam dirinya pengetahuan akan ajaran agama, nilai-nilai keagamaan yang membentuk pemeluk agama, dan relasi sosial antara seorang pemeluk dengan lingkungannya. Kombinasi antara pengetahuan, nilai dan relasi sosial itu membentuk pola yang membedakan seorang atau sekelompok pemeluk dan pemeluk lain, sehingga lalu menjadi tak terhindarkan lagi adanya perbedaan, bahkan pertentangan antar sesama pemeluk agama (baik dari satu agama maupun dari agama lain). Kesadaran akan keabsahan perbedaan pandangan dan sikap itu adalah hasil langsung dari adanya penafsiran kembali dan kompleksitas kehidupan beragama. Dalam pengertian ini berarti pengakuan akan perlunya pengembangan sikap tenggang rasa terhadap pluralitas kehidupan ummat berbagai agama.

Setelah sedikit banyak memberikan batasan akan pengertian istilah rekayasa sosial dan cakupan kata ‘kehidupan beragama’ seperti dikemukakan di atas dapatlah kita memasuki persoalan utama berupa peranan kehidupan beragama itu dalam rekayasa sosial yang akan berlangsung. Pendekatan yang dapat dilakukan sangat beragam, sehingga kamu tidak mau harus dilakukan penyederhanaan, sehingga tinggal titik-titik strategis yang dapat dipakai sebagai pintu masuk. Salah satu pengenalan titik-titik strategis itu adalah proyeksi rekayasa sosial itu sendiri dalam berbagai aspeknya. Pertama, aspek bentuk masyarakat yang akan dituju. Kedua, aspek penahapan rekayasa sosial tersebut. Ketiga, aspek pelaku rekayasa. Dan keempat, kelompok sasaran (target groups) yang akan “terkena” oleh rekayasa baik secara langsung atau tidak langsung.

Bentuk masyarakat yang akan dicapai oleh rekayasa berkaitan langsung dengan tujuan yang dirumuskan di balik kata “kesejahteraan”, “keadilan”, “kebahagiaan” dan seterusnya. Apakah yang ada dibalik penggunaan kata-kata tersebut? Keadilan yang bersifat yuridis sajakah, seperti yang umum dituju sekarang di seluruh dunia? Ataukah ada cara lain untuk merumuskan hubungan individual dan kolektif, sehingga menjadi terasa wawasan keadilan dalam kehidupan masyarakat itu pada segenap aspeknya? Kalau memang demikian yang dituju, tentu kehidupan beragama harus menopang; upaya pencarian wawasan keadilan yang lebih mantap dan lebih luas cakupannya. Demikian juga cara menegakkan keadilan itu. Haruskah pencarian keadilan bersifat penolakan total terhadap sebuah bentuk kemasyarakatan tertentu, ataukah justeru yang diperlukan adalah penyederhanaan agenda pencapaian keadaan adil tersebut?

Salah satu faktor yang harus diperhitungkan dengan kecermatan tinggi adalah penghadapan antara; yang ideal Idan realitas dalam pencarian bentuk masyarakat yang akan dituju dengan rekayasa. Mudah sekali bagi kehidupan beragama untuk menampilkan bentuk-bentuk utopis sebagai tawaran alternatif terhadap keadaan yang serba tidak menyenangkan. Tetapi sikap seperti itu justru akan menyebabkan turunnya peranan kehidupan beragama bagi kehidupan kebangsaan, karena bagaimana pun suatu bangsa harus berpijak pada realitas.

Harus ada kejelasan nyata tentang jauhnya perbedaan antara peranan moral dan peranan politis dari kehidupan beragama. Jika ia menawarkan alternatif dalam arti pola kehidupan baru dalam wadah kemasyarakatan yang sudah ada yang tentu saja memerlukan masa sangat panjang untuk dicapai maka kehidupan beragama menawarkan alternatif moral. Yang digarap adalah perubahan pola perilaku warga masyarakat, bukan bentuk kemasyarakatannya an sich. Namun, apabila kehidupan beragama menawarkan alternatif struktural yang sama sekali lain dan wadah yang telah ada, maka yang ditawarkan adalh alternatif politis. Walaupun benang pembeda antara keduanya sangatlah tipis, tetapi tetap juga terbedakan dengan nyata alternatif politis mementingkan perubahan kelembagaan, sedangkan alternatif moral tidak begitu hirau terhadapnya.

Sebuah sikap yang dewasa dari kehidupan beragama dalam kaitannya dengan kedua jenis alternatif itu adalah kebijaksanaan untuk paling jauh meletakkan diri pada sikap berhati-hati untuk menekankan diri pada alternatif moral. Terhadap alternatif politis, kehidupan beragama sebaiknya menahan diri untuk tidak langsung menceburkan diri sepenuhnya. Kalaupun nanti terjadi perubahan dalam struktur politik dari masyarakat yang mengalami rekayasa itu, hendaknya hal itu terjadi dalam kewajarannya sendiri, tanpa terlalu didorong oleh kehidupan beragama.

Aspek penahapan rekayasa juga sangat penting untuk dijadikan titik tolak meninjau peranan kehidupan beragama dalam kehidupan kebangsaan. Ia juga sangat erat terkait pada tujuan rekayasa dan bentuk masyarakat yang akan dituju. Sebuah rekayasa tuntas dengan cara perubahan struktural serba menyeluruh tentu mendahulukan dua buah kegiatan utama. Di satu pihak, dikembangkan kesadaran akan indahnya bangunan masyarakat baru yang sedang diupayakan, dan di pihak lain, ketekunan untuk membongkar tatanan masyarakat yang ada.

Kehidupan beragama, jika ingin memantapkan kehidupan kebangsaan, harus melakukan seleksi sangat ketat atas keabsahan pandangan-pandangan yang diajukan melalui kedua jalur penanganan masalah di atas. Kehidupan beragama harus mampu menunjukkan, bahwa utopia akan membuat kita jatuh lebih sakit, jika kenyataan tidak mendukungnya. Demikian juga harus ditunjukkan, bahwa penggulingan struktur yang ada secara kekerasan hanya akan melahirkan siklus kekerasan yang tidak habis-habisnya. Kehidupan beragama justru harus mampu menunjukkan bahwa kekuatan moral dapat mendorong struktur yang ada untuk memperbaiki diri, melalui pembenahan perilaku warga masyarakat. Perbaikan terus-menerus atas struktur kemasyarakatan yang ada, tanpa membuang sama sekali struktur dasarnya, adalah cara pemecahan kesulitan paling ideal, walaupun keberhasilannya akan memakan waktu sangat lama.

Aspek pelaku rekayasa juga memunculkan permasalahan tersendiri bagi kehidupan beragama yang bertujuan memantapkan kehidupan beragama yang bertujuan memantapkan kehidupan kebangsaan. Masalah pelaku rekayasa sosial tergantung sepenuhnya pada jawaban pertanyaan berikut, bagaimanakah dapat dicegah rekayasa oleh mereka yang bersikap eksklusivistik? Dengan kata lain, rekayasa sosial senantiasa dihadapkan pada keharusan melakukan pilihan. Rekayasa oleh spektrum pelaku yang terlalu luas, minimal sebagai pengambil keputusan, akan membawa kepada keharusan konsensus, yang akan membuat kepemimpinan rekayasa tampak tidak efektif. Namun, pemusatan wewenang melakukan rekayasa pada tangan sekelompok kecil elite, juga sangat berbahaya. Efektivitas yang dimilikinya akan membungkam segenap perbedaan pandangan, dan dalam jangka panjang akan membuat bentuk masyarakat baru yang dilahirkan akan menjadi tertutup pula. Sudah tentu hal ini tidak dikehendaki oleh kehidupan beragama, seperti dirumuskan di atas. Karenanya, tantangan utama bagi kehidupan beragama yang dinamis adalah bagaimana membuat efektif peranan pelaku rekayasa sosial yang berspektrum lebar, sehingga tidak menjurus kepada rekayasa dari atas belaka. Rekayasa yang harus dilakukan adalah rekayasa dengan sebanyak mungkin keputusan substansial tentang rekayasa itu sendiri dilakukan oleh sebanyak mungkin warga masyarakat. Ini mudah dikatakan, tetapi sangat sulit dilakukan Namun, kehidupan beragama memiliki pola-pola penyadarannya sendiri, yang dapat digunakan untuk melakukan perubahan dengan cara tersebut.

Aspek kelompok sasaran dari rekayasa yang berlangsung, merupakan tantangan terbesar bagi kehidupan beragama. Sebuah rekayasa sosial yang benar-benar sesuai dengan watak moralistik dari kehidupan beragama adalah rekayasa yang justeru dilakukan oleh sebanyak mungkin warga masyarakat yang menjadi sasaran rekayasa itu sendiri.

Inilah hakikat dari pembangunan nasional yang berwatak partisipatif. Hanya dengan cara inilah dapat dijamin munculnya kekuatan yang akan mendorong pencapaian tujuan rekayasa itu, namun ia juga berarti kontrol efektif atas kemungkinan penyimpangan dari tujuan semula dari rekayasa.

Tentu tidak mudah untuk mendorong rekayasa partisipatif seperti itu , karena relasi sosial yang telah ada akan memberikan reaksi baliknya sendiri. Kepentingan kelompok, tidak samanya persepsi tentang masa depan yang ingin dituju dan seribu satu masalah lain akan merupakan titik hambatan bagi upaya menerapkan rekayasa partisipatif dengan melibatkan sebanyak mungkin kelompok sasaran yang dituju oleh rekayasa itu. Namun, peranan penyadaran moral dari kehidupan beragama akan memungkinkan tumbuhnya kesadaran partisipatif seperti itu, sebagaimana ditunjukkan oleh proyek-proyek rekayasa bercakupan kecil selama ini.

Dari apa yang diuraikan di atas menjadi jelas, bahwa kehidupan beragama dapat memainkan peranan besar dalam sebuah rekayasa sosial. Inti peranan itu adalah penciptaan alternatif moral, untuk memungkinkan perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat, tanpa merobohkan strukturnya terlebih dahulu.

Dalam proses rekayasa seperti itu, kehidupan beragama dapat melakukan peranan sangat penting. Yaitu penumbuhan kesadaran akan perlunya partisipasi masyarakat seluas mungkin.

Untuk dapat berperan dengan baik, kehidupan beragama harus membatasi diri hanya berperan pada rekayasa yang tidak hanya dilakukan oleh sekelompok kecil elite belaka. Dengan kata lain, kehidupan beragama akan menemukan tantangannya yang besar dalam keharusan menemukan bentuk-bentuk rekayasa partisipatif, menumbuhkan kesadaran tuntas tentang perlunya partisipasi, dan mengupayakan agar kelompok sasaran justru merupakan pengambil keputusan yang dominan.

Dengan cara seperti itulah rekayasa sosial dapat diperankan oleh kehidupan beragama, dengan tetap mempertahankan mantapnya kehidupan kebangsaan dalam proses rekayasa itu sendiri berlangsung.