Paradigma Pengembangan Masyarakat Melalui Pesantren

Sumber Foto: https://ldiijatim.com/pemprov-jatim-perkuat-kemandirian-ekonomi-pesantren/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pendahuluan

Sudah sejak beberapa dekade, pesantren mengalami erosi nilai. Lembaga ini mulai berada di ambang bahaya besar; ketika nilai kemandiriannya tercampur dengan pendidikan “orientasi ijasah”. Cita-cita untuk mengabdi kepada masyarakat sebagai pendidik agama sambil berwiraswasta makin hilang dari pikiran para lulusannya, untuk digantikan dengan cita cita menjadi pegawai.

Sebab dari problem ini jelas, meski tidak sepele, yaitu bahwa pesantren kian kehilangan sendi-sendi finansialnya yang secara tradisional ditopang oleh masyarakat. Oleh karena itu, lembaga ini terpaksa mencari sumber sumber finansial baru sebagai pengganti. Pada gilirannya, banyak sekali pesantren yang tergoda untuk larut dalam alur umum pendidikan nasional, yaitu “pendidikan sarwa uang” yang menjadikan pendidikan sebagai komoditi. Ini adalah suatu perkembangan baru, di mana tadinya semua bentuk pendidikan pesantren, mulai dari dayah di Aceh, surau di Sumatra Barat, sampai pondok di Jawa, Lombok, dan Sumbawa, menganut kebijaksanaan kependidikan yang relatif sama: kitab, kurikulum, pola kepemimpinan, dan tata nilai yang sama. Jika kesamaan itu dalam waktu yang cukup lama mampu bertahan menghadapi bermacam macam gempuran, adalah disebabkan oleh kekokohan basis sosial ekonomi pesantren. Oleh karena itu, tugas yang lalu dipandang penting adalah mengembangkan kekuatan sosial ekonomi masyarakat yang mulai menurun.

Perkembangan selanjutnya juga cukup memprihatinkan. Jalan yang kemudian dipilih oleh pesantren untuk mengatasi kesulitan itu adalah menggalakkan pelajaran ketrampilan yang justru mengancam eksistensi dari misi utamanya “mencetak kiai”. Konsep dasar dari gagasan ini adalah hendaknya pesantren menurunkan standar intelektual yang selama ini dipertahankan dengan kegiatan kegiatan diskusi yang dianggap melanglang di angkasa dan kurang berpijak pada realitas. Sebagai gantinya, hendaknya pesantren kembali pada watak semula, yaitu kesederhanaan. Dalam arti mengajarkan sesuatu yang praktis. Dan pada saat itu masuklah pelajaran ketrampilan di pesantren

Pendekatan semacam ini bagi saya hanya bersifat parsial bahkan mungkin manipulatif. Samar-samar terlihat bahwa hasrat pesantren untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bercampur dengan pamrih agar mereka pada gilirannya akan menyediakan landasan sosial ekonomi bagi pesantren sendiri. Atau jika hendak dipertegas, pesantren bergelagat hendak memanfaatkan kesulitan masyarakat demi kepentingannya sendiri.

Berangkat dari refleksi ini muncul dua kerangka (yang boleh juga dianggap sebagai dasar); kerangka logis dan kerangka strategis.

Kerangka Teologis

Pembicaraan tentang teologi tidak harus terlepas dari konteks sosial, karena teori justru berkaitan dengan dasar-dasar kehidupan. Oleh karena itu, gagasan pengembangan masyarakat melalui pesantren mesti empunyai dasar-dasar pranata dari kehidupan itu sendiri.

Dari sudut teologi, terdapat dua komponen utama dalam pandangan Islam mengenai pengaturan Masyarakat, yaitu watak kehidupan dan cara penggunaan kekuasaan. Dalam soal ini, Islam sebenarnya bintikan tiga prinsip; musàwah (prinsip persamaan),  ‘adalah (prinsip keadilan), dan sýurà (prinsip musyawarah/demokrasi). Segala kegiatan mestilah bersendikan ketiga prinsip ini yang diramu sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan yang dihadapi.

Pengembangan masyarakat melalui pesantren tentu saja termasuk ke dalam kegiatan yang harus berdiri pada prinsip-prinsip tersebut. Perilaku orang-orang dalam kegiatan ini mesti pula tunduk pada ketiganya. Banyak keterangan yang menyebutkan bahwa pola kepemimpinan kiai belum terbiasa dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat partisipatif, melainkan cenderung melaksanakan kehendaknya sendiri. Justru di sinilah tantangan yang sesungguhnya dalam melakukan kegiatan pengembangan masyarakat melalui pesantren, yaitu menyantuni dua tuntutan yang tampak bertolak belakang. Sementara itu, dalam masyarakat pesantren mesti ditegakkan prinsip persamaan, antara kiai dengan unsur masyarakat yang lain, termasuk orang kecil. Jika diukur dengan prestasi menyantuni dua tuntutan ini, terpaksa harus dikatakan bahwa baru sedikit saja pesantren yang telah berhasil.

Tujuan dan cara penggunaan kekuasaan menjadi penting karena hal ini menyangkut keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. Dalam sejarah, karena Islam adalah agama hukum, kekuasaan masyarakat atas individu cenderung sangat kuat dan hak individu dibatasi. Dengan kata lain, kekuasaan merupakan perwujudan dari otoritas masyarakat atas individu. Kenyataan sejarah ini sebenarnya bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan keseimbangan. Oleh karena itu, apa yang diperlukan adalah arah yang jelas bagi penggunaan kekuasaan menuju suatu suasana di mana arah individu akan memungkinkan tegaknya al-kulliyah al-khamsah (lima jaminan dasar) yang diberikan Islam; jaminan dasar atas keselamatan keyakinan, keselamatan fisik, kesucian keluarga, harta milik, dan jaminan atas keselamatan profesi. Dalam soal penggunaan kekuasaan ini, khazanah Islam mengenal sebuah kaidah tasharruf imàm manuthun bi almaslahah (kebijaksanaan, pemegang kekuasaan dalam kaitannya dengan rakyat mestilah bertujuan meningkatkan kesejahteraan mereka).

Dari sini diharapkan muncul mekanisme kekuasaan yang senantiasa bekerja untuk kesejahteraan masyarakat, bahkan manipulasi oleh para pemegang kekuasaan, yaitu suatu bentuk kekuasaan yang dibatasi tetapi cukup efektif. Sedangkan individu sekaligus dapat melawan ataupun meminta perlindungan dari kekuasaan. Ini berarti keharusan mengembangkan teori sosial Islam yang menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat. Hal ini, kalaupun ada, terlalu sedikit dilakukan, dan itu pun secara tidak langsung (manifested).

Oleh karena itu, pengembangan masyarakat adalah upaya kolektif untuk mencari keseimbangan antara kesejahteraan individu dan masyarakat, yaitu kesejahteraan kolektif yang tidak mengalahkan hak hak individu dan perwujudan hak hak individu dengan tidak merugikan masyarakat sebagaimana yang terjadi di masyarakat kapitalis murni. Dalam kaitannya dengan peranan pesantren, lembaga ini harus membawakan konsep teologi Islam dalam wujud peranan untuk mengikuti sekaligus mengendalikan perubahan masyarakat pada batas batas yang diperkenankan agama. Hal ini sebenarnya merupakan konseptualis dan aktualisasi dari tujuan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafür dalam wujud upaya pembinaan dan pengembangan masyarakat.

Surat al Baqarah ayat 177 menunjukkan bahwa dari semula Al Qur’an telah memisahkan (lihat teks ayat) dua porsi keimanan kita (Rukun Iman dan Rukun Islam) dengan suatu jembatan yang berupa kesadaran yang mesti diputuskan statusnya. Keyakinan yang sangat bersifat pribadi tercantum dalam Rukun Iman sedangkan dimensi sosialnya tercantum dalam Rukun Islam. Pada dimensi individu, ukuran keimanan bersifat sangat pribadi dan merupakan urusan seseorang berhubungan dengan Allah sendiri. Sedangkan pada dimensi sosialnya, Rukun Islam adalah syahadah yang mestinya sangat pribadi yaitu iman kepada Allah, berwawasan sosial karena pengucapannya sering harus dilakukan di muka orang banyak dan dipakai dalam persaksian dan sumpah. Begitu juga tentang Rukun Islam yang lain. Shalat, apalagi berjamaah, berfungsi mencegah perbuatan keji dan munkar, yang berarti mengandung orientasi menjaga keterlibatan masyarakat. Sementara itu, zakar telah jelas sebagai ibadah sosial dan ibadah haji adalah saat berkumpulnya kaum muslimin dari segala penjuru dengan berbaju ihram yang sama tanpa memandang tinggi dan rendah.

Persoalannya kini adalah bagaimana dimensi pribadi ini bisa diterjemahkan secara sosial, sebab di dalam iman ternyata adalah mungkin untuk menjadi mukmin yang baik dan sekaligus menjadi makhluk Sosial. Sebaliknya bisa terbentuk pula sikap hidup yang begitu sosial tetapi tanpa keimanan. Usaha menjembatani kedua bentuk keberagamaan yang ekstrim ini adalah sebuah keharusan yang ditunjuk oleh ayat tadi. Ayat ini menghubungkan Rukun Iman dan Rukun Islam dengan “rukun sosial”, yaitu perhatian yang cukup terhadap dana untuk membela kaum lemah. Akan tetapi, secara epistemologis, “rukun sosial” yang ada di tengah itu belum pernah dirumuskan dan disepakati sebagai soal teologi, melainkan dianggap sebagai soal politik. Biasanya “rukun sosial” hanya dimasukkan ke dalam “Bab Jihad”, di mana status jihad itu sendiri hanya berhukum fardhu kifayah yang cukup dilakukan setahun sekali.

Upaya pengembangan masyarakat dilihat dari pandangan teologis adalah upaya menyusun dasar dasar teoretik yang menjembatani dua rukun tersebut. Kerangka penyusunan belum tersedia, tetapi kita berusaha merumuskan bentuk bentuk kemasyarakatan yang hendak kita kembangkan untuk mengoptimalisasi sumber daya demi kebutuhan spiritual, materiil, transendental, atau jangka panjang.

Kerangka Strategis

Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalami transisi dari masyarakat feodal/agraris menuju masyarakat modern. Perkembangan yang terjadi ternyata bersifat dualistik: di satu pihak telah tercapai modernitas, termasuk upaya menciptakan infrastruktur ekonomi, dan perilaku di segala bidang telah lebih rasional, sampai terkadang dengan mengorbankan norma-norma agama, tetapi di pihak lain perilaku feodal masih dipergunakan sebagai alat untuk mencari akar ke masa lampau. Dalam situasi perkembangan dualistik menuju modernitas (keadaan sarwa modern) ini maka Islam berfungsi dengan baik apabila ia dikaitkan dengan perubahan pada struktur masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, sasaran perubahan itu bukanlah pada sistem pemerintahan atau sistem politik, tetapi pada subsistem-subsistemnya. Sebagai contoh, tanpa mempersoalkan pada “sistem” ekonomi Indonesia, yang tak jelas bentuknya ini, diambillah langkah-langkah untuk mencari model-model ideal dari pengorganisasian koperasi, suatu bentuk usaha yang ide dasarnya dipercayai bisa menjembatani antara sistem kapitalis dan sistem sosialis; misalnya dengan mencobakan bentuk bentuk usaha bersama yang pada masa lalu banyak dilakukan. Di sini pendekatan sosio-kultural mengambil peranan penting dalam mengubah perilaku tanpa mengubah bentuk-bentuk lahiriah lembaga itu sendiri.

Di antara contoh konkret yang bisa disebut adalah apa yang terjadi dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU). NU yang ada sekarang adalah NU tahun 1926 dengan perangkatnya: Tanfidziyah dan Syuriyah, bahkan lebih keras lagi dengan adanya sistem Mustasyar. Akan tetapi, sekaligus NU sekarang bukanlah NU  yang dulu. Karena di dalam tubuhnya telah berkembang pemikiran-pemikiran makro cakrawala pandang yang cara lebih luas, pemikiran yang jauh ke depan dan kerja yang lebih administratif. Perubahan perubahan dalam kultur ini masih dalam konteks kelembagaannya semula. Karena terjadi perubahan pada segi budaya maka berubah pulalah konteks masyarakatnya. Dengan demikian, untuk konteks Indonesia secara umum, tantangan umat Islam sebenarnya adalah bagaimana mengisi Pancasila, Negara Kesatuan RI, dan sistem ekonomi politiknya dengan wawasan Islam yang secara kultural bisa mengubah wawasan hidup orang banyak dengan memperhatikan konteks kelembagaan masyarakat tadi.

Perbandingan

Pendekatan sosiokultural terkadang disalah-pahami sebagai hanya bersudut pandang budaya atau politik saja, suatu kekeliruan yang menyesatkan. Kalangan yang tampak menggebu gebu dengan pendekatan politik sering terjerumus dalam pembicaraan tentang perilaku budaya suatu lembaga bukan bagaimana merombaknya. Apalagi perincian yang dikemukakan dalam rangka pendekatan politik itu ternyata adalah cara cara sosial budaya. Dus, sebenarnya telah terjadi kerancuan semantik. Secara singkat, pendekatan politik selalu mempersoalkan segi kelembagaan sedangkan pendekatan kultural berbicara tentang perilaku masyarakat dan usaha pencerahan. Kemudian persoalannya mengaitkan lembaga dengan perilaku lembaga. Di sinilah letak peranan dari dekatan sosiokultural.

Secara lebih lengkap, perbandingan antara ketiga strategi itu adalah sebagai berikut:

Strategi sosiopolitik menekankan perlunya merinci butir-butir pokok dari formulasi ajaran Islam di dalam lembaga negara melalui upaya legal formalistis yang terus-menerus oleh gerakan-gerakan Islam, terutama melalui sebuah partai yang secara eksplisit menyatakan diri sebagai partai Islam atau sebuah partai politik eksklusif khusus umat Islam. Termasuk dalam strategi ini adalah tahap berikutnya yaitu keharusan adanya kontrol terhadap aparatur pemerintah oleh kaum muslimin. Untuk mengantisipasi tercapainya tahap ini, umat Islam harus mendidik diri sendiri dengan moralitas Islam yang benar dan mengembangkan jalan hidup islami baik untuk individu maupun masyarakat. Kampanye ke arah islamisasi hukum nasional harus diberikan prioritas di dalam konteks ini.

Strategi kultural dirancang untuk kematangan kepribadian kaum muslimin dengan meluaskan cakrawala mereka, memperluas cakupan komitmen mereka, memperdalam kesadaran mereka tentang kompleksnya lingkungan manusia dan memperkuat solidaritas mereka dengan sesama manusia, tanpa memandang latar belakang ideologi politik, kesukuan, dan kultural mereka maupun agama. Cara mencapai tujuan-tujuan ini adalah dengan sepenuhnya mengembangkan sikap rasional kaum muslimin terhadap kehidupan. Strategi ini menekankan dialog terbuka dengan semua ideologi dan pemikiran filsafat sehingga kaum muslimin sebanyak mungkin bisa menyerap segala macam pengetahuan dan informasi. Tentu saja sikap ini menjauhkan diri dari segala bentuk pelembagaan ajaran Islam sepanjang hal ini akan menggiring mereka ke arah pandangan eksklusif dan pengekangan kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, suatu kebebasan yang dinilai tinggi oleh strategi ini. Strategi ini, selain itu, lebih suka pada ide sebuah negara sekuler selama bentuk pemerintahan ini cukup objektif untuk menjamin kebebasan.

Strategi sosiokultural melihat perlunya mengembangkan kerangka kemasyarakatan yang mempergunakan nilai nilai dan prinsip-prinsip Islam. Akan tetapi, kelembagaan yang lahir dari proses ini bukanlah institusi-institusi Islam yang eksklusif, melainkan “institusi biasa” yang bisa diterima oleh semua pihak. Dengan kata lain, kerangka kemasyarakatan yang dikembangkan oleh kaum muslimin mesti serupa dengan apa yang dikembangkan oleh orang lain. Kebiasaan ini harus mencerminkan keinginan masyarakat untuk melakukan sendiri transformasi yang fundamental. Formalisasi ajaran Islam bukanlah bagian dari transformasi itu, tetapi membantu kemapanan masyarakat di mana kaum muslimin bisa melaksanakannya baik secara individual maupun kemasyarakatan. Sebagai ganti dari institusi-institusi politik, strategi ini bercita-cita membangun sebuah komunitas yang menjunjung tinggi tata hukum. Kebebasan dari tekanan, kerangka kenegaraan yang demokratis. Pembagian kekayaan negara yang adil, dan sebagainya. Tujuan-tujuan ini tidak dicapai melalui jaringan politik, melainkan kampanye kultural untuk membuat masyarakat sadar tentang kemampuan yang ada pada diri mereka untuk menentukan nasib. Institusi-institusi sosial yang akan mereka bangun akan bersifat kultural, meskipun dengan wajah sosio-ekonomi, ditambah dengan kesadaran politik tentang kekuatan masyarakat untuk mentransformasikan kehidupan mereka.

Pendekatan sosiokultural menyangkut kemampuan orang Islam untuk memahami masalah masalah dasar yang dihadapi bangsa, dan bukan berusaha memaksakan agendanya sendiri. Kalau yang terakhir ini terjadi maka yang berlangsung sebenarnya hanyalah proses pelarian (eskapisme), ketika umat Islam menuntut syarat syarat yang terlalu idealistik untuk menjadi muslim yang musliman orang yang baik. Lalu tidak diakuilah kemusliman orang yang tidak mampu memenuhi syarat syarat itu, seperti orang orang yang baru bisa melaksanakan ibadah haji dan zakat sementara belum mampu melaksanakan shalat dan puasa dengan baik. Kecenderungan formalisasi ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat dan islamisasi dalam bentuk manifestasi simbolik ini jelas tidak menguntungkan karena hanya akan menimbulkan kekeringan.

Oleh karena itu, patut diusulkan dahulu Islam menekankan pembicaraan tentang keadilan, demokrasi, dan persamaan. Dengan demikian, peran umat Islam dalam kehidupan berbangsa ini akan lebih efektif dan perilaku mereka akan lebih demokratis. Selain itu, kenyataan bahwa gerakan gerakan Islam Indonesia yang beragam dari segi strategi yang dipergunakannya untuk melayani tujuan Islam di tengah perubahan sosial di saat ini perlu dikaji apa pengaruhnya terhadap pesantren, terutama dalam upaya merumuskan langkah-langkah pengembangan masyarakat yang kini dilakukan.

Hubungannya dengan LSM

Strategi strategi seperti yang telah dikemukakan, sebenarnya bukan hanya bisa diperbincangkan dalam kaitannya dengan pesantren dan Islam saja, melainkan untuk semua agama dan semua lembaga masyarakat. Khusus untuk LSM, kesadaran tentang keragaman strategi itu akan banyak membantu untuk memecahkan persoalan kesimpangsiuran lalu lintas kerja sama antar aneka ragam LSM.

Persoalan LSM tergolong tidak ringan. Hal ini disebabkan antara lain karena selama ini belum ada kesepakatan tentang definisi lembaga ini. Padahal definisi ini diperlukan agar lembaga ini tidak saling mematikan satu sama lain. LSM, sebagaimana pranata kemasyarakatan yang lain, selalu mempunyai dua sisi: gerakan dan organisasi. Pada bagian ini akan dibicarakan dahulu LSM sebagai gerakan.

Sebagai gerakan, LSM berada dalam keadaan dilematis. Di satu pihak LSM selama ini menetapkan dirinya sebagai mengambil peranan dalam melakukan transformasi sosial. Dalam pengertian ini, kerja LSM haruslah multisektoral, paripurna (menggarap segala bidang), dan fungsionalisasi dari peranan itu nantinya adalah dalam bentuk lembaga-lembaga yang juga merasa berhak berada dalam barisan depan dalam kehidupan masyarakat sehingga sering dikesankan sebagai saingan negara (pemerintah). Padahal dalam kenyataannya pengambilan keputusan selalu didasarkan pada persepsi bersama, termasuk mereka yang berada di dalam pemerintahan. Ada tujuh pihak yang sebenarnya membentuk pendapat umum bersama-sama, yaitu ABRI, Birokrasi Pemerintahan (Eksekutif, Legislatif), Organisasi Profesi, Orpol/Parpol, Ormas, Media Massa, dan LSM. Hal ini menunjukkan bahwa LSM mesti diperhitungkan sebagai suatu yang efektif. Akan tetapi, yang sering dilupakan adalah LSM hanya salah satu saja di antara yang tujuh itu. Ketidaksadaran ini, ditambah dengan klaim sebagai pekerja multisektoral, menyebabkan LSM berdiri pada posisi sebagai satu kelengkapan (entitas) tersendiri yang berhadapan dengan enam kelengkapan yang lain.

Posisi yang dualistik ini mesti disadari, dengan tidak melihat pemerintah hanya sebagai sistem, melainkan juga orang-orang. Pendekatan-pendekatan pribadi kepada para pemegang keputusan perlu dengan giat dilakukan. Peneladanan ini dimaksudkan agar LSM tidak berlebihan dalam menganggap dirinya sebagai pihak yang dapat melakukan segalanya tanpa kerja sama dengan siapa pun dan tidak mau “bermain di luar kandang”.

Barangkali kekurangan pada segi ini diakibatkan oleh tersitanya perhatian pada segi kelembagaan dari LSM. Bisa dikatakan bahwa separo dari kerja LSM hanya bersifat prosedural, seperti administrasi keuangan. Sebagai akibatnya muncullah keluhan-keluhan yang sebenarnya hanya pada soal prosedural. Misalnya, keluhan saat ini tentang persaingan antar BINGO (LSM besar), RINGO (LSM regional), dan LINGO (LSM lokal), sebenarnya hanya merupakan soal pengaturan kerja sama, sesuatu yang sangat teknis dan tak terlalu penting untuk dipikirkan atau dipertikaikan yang bisa diserahkan kepada para pelaksana.

Sebenarnya adanya kesadaran peranan ganda (sebagai lembaga dan gerakan) akan menimbulkan kesadaran tentang pembagian kerja. Misalnya, jangan diharapkan kemampuan RINGO atau LINGO untuk menjalin kerja sama dengan pihak-pihak lain dalam skala nasional. Apa yang dibutuhkan adalah kerelaan untuk membagi kerja. Agaknya belum pernah pula dirumuskan pola pola kerja sama antar berbagai jenis LSM, yang secara sendiri-sendiri membentuk kekhasannya  masing masing, untuk memilah-milah antara kerja yang merupakan hak mutlak masing-masing jenis dan kerja yang bersifat kolektif, begitu juga, LSM yang bermacam macam jenis itu belum pernah merumuskan pola hubungan ke luar dan eksistensinya ke dalam dari sudut jenisnya sendiri dalam bentuk begitu rupa sehingga merupakan pola hubungan antar-LSM yang antarjenis. Tanpa adanya diferensiasi fungsi yang jelas dalam waktu yang tidak terlalu lama LSM-LSM akan saling berperang. Misalnya akan mudah sekali timbul kecurigaan ketika salah seorang temannya terlihat akrab dengan kekuasaan. Diferensiasi fungsi ini akan membantu menegakkan asas praduga tak bersalah, yaitu bahwa sekali seseorang (teman) berada di LSM, ia harus dianggap sebersih teman lain sampai terbukti bahwa ia telah berkhianat.

Kecurigaan itu timbul oleh kesalahpahaman yang berkaitan dengan soal-soal strategi perjuangan yang bisa dimainkan oleh LSM. Beberapa macam strategi telah dicoba, dan LSM pun mesti memperhatikan dengan seksama strategi-strategi itu, lalu menjelaskan pilihannya melalui diferensiasi fungsi. Pada hakikatnya, apa yang telah dilakukan oleh LSM itulah yang bersifat sosio-kultural

Selanjutnya, fungsi transformasi juga adalah perkara kompleks, karena sering kali menuntut keterlibatan begitu banyak orang yang secara ekonomi memang banyak menggantungkan diri pada aspek-aspek komersial dari kerja transformasi itu sendiri. Sebagai contoh adalah dilema yang dihadapi oleh berbagai penerbitan terutama surat kabar. Surat kabar yang tersebar dengan luas tak bisa tidak mesti melayani kebutuhan pasar dan tidak bisa hanya menuruti selera sendiri. Sedangkan majalah-majalah yang hanya mau membawa misi tertentu, tanpa peduli dengan pasar, tentu berhadapan dengan persoalan pemasaran, dus kelangsungan hidup kerja transformasi itu, juga keterbatasan jumlah khalayak pembacanya. Di tengah tolak tarik antara aspek komersial dan perjuangan inilah muncul problem tentang kejujuran-pengkhianatan, kemurnian-kepalsuan, konsisten-penyelewengan, dan sebagainya.