1991: Umat Islam Masih Ruwet (Wawancara)

Sumber Foto: https://geotimes.id/kolom/agama/membaca-arah-kesadaran-beragama/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

BAGI Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB NU. wajah umat Islam pada 1991 masih seperti tahun-tahun sebelumnya. Masih ruwet dan bentrok di dalam. Berikut wawancara wartawan TEMPO Amran Nasution dan Priyono B. Sumbogo tentang prospek umat Islam tahun 1991 dengan tokoh yang kontroversial itu, di kantor PB NU.

Tahun 1990 ini tampaknya banyak hal yang menyenangkan umat Islam. Ada UUPA, lalu UU Pendidikan Nasional, dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Benarkah begitu?

Saya memandang tahun 1990 justru sangat tidak menyenangkan. Karena apa pun capaian kita, wajah Islam yang keluar adalah wajah yang anti kebebasan pers. Wajah yang masih menghakimi orang secara sepihak, tanpa mendengar alasannya. Wajah yang masih dipenuhi prasangka buruk kepada orang lain. Ini bukan hanya terjadi di kalangan umatnya, tapi juga cendekiawannya. Mereka masih menuntut tempat dalam kehidupan bangsa. Ini sesuatu yang aneh karena penganut Islam mayoritas.

Kaum muslimin dan cendekiawan muslim sudah masuk dalam birokrasi, bidang ilmu, dan segala macam. Coba lihat, beasiswa ke luar negeri, santri melulu yang memperolehnya. Jadi, yang kita terima sudah lebih dari target. Cuma, karena kita ingin menguasai, tidak puas, kita lalu melupakan bahwa Indonesia ini milik semua golongan. Itu yang sangat menyedihkan.

Dulu ada ekses-ekses, katakanlah orang Kristen nggak proporsional — dengan jumlah yang cuma segitu tapi peranannya gede — sekarang tidak begitu lagi. Dalam bidang pemikiran, kontribusi orang Islam sudah lebih gede. Ambil contoh majalah Prisma. Tiap nomor, sumbangan pikiran dari muslim lebih banyak daripada yang bukan muslim.

Menurut saya, persoalan kita adalah bagaimana seharusnya Islam memberi sumbangan terbesar dalam proses integrasi nasional bangsa kita. Dalam jangka pendek, mungkin kita memang harus berkorban dulu Mungkin Islam nggak didengar. Tapi kita harus meletakkan landasan, yang mau tidak mau membuat orang harus mendengar kita. Sekarang saya rasa sudah sampai ke sana. Suara Islam sudah didengar, Buktinya Pak Harto pergi ke Malang. Kan Pak Harto bilang cendekiawan muslim harus terbuka, harus berpikir strategis.

Bersamaan dengan keinginan untuk masuk ke kekuasaan dan menjadi penentu, muncul pula keinginan untuk membawa misi dengan memegang bendera Islam. Dan itu berarti pengelompokan. Saya tahu, di ICMI ada sekian jalur dan pemikiran. Masing-masing bersaing.

Jadi, pada dasarnya dalam Islam masih terjadi pola – antara dua tanda petik — untuk berebut kekuasaan.

Saya bukan cuma bicara ICMI saja. Tapi semua, di mana-mana. Di MUI juga begitu Secara intern, kita berebut kekuasaan untuk mewakili Islam. Dan secara nasional untuk mewakili bangsa. Karena mayoritas, kita merasa paling berhak menyuarakan bangsa, orang lain nggak pantes Nah, kalau sudah begitu, Islamnya harus formal. Akhirnya, kita kembali ke primordialisme. Ukuran nya lalu ketaatan beragama.

Bukankah kelahiran ICMI dapat merangkum semua aliran dan semua kekuatan dalam Islam?

Nggak ada organisasi yang bisa merangkum semua aliran. Nggak ada. Saya nggak yakin ICMI bisa. Lha, buktinya dan Muhammadiyah yang datang cuma kelompok Amien Rais Mana Harun Nasution? Apa dia bukan intelektual muslim?. Cuma karena melukai hati MUI saja, maka dianggak dimasukkan Sebaliknya, NU dan Muhammadiyah sedang bergerak ke luar, melayani masyarakat umum, tidak minta dilayani. Membuat BPR, membuat perguruan tinggi, sekolah-sekolah, kan untuk melayani, menampung orang sebanyak-banyaknya.

Jadi, saya lihat ada dua arus yang berhadapan. Arus bawah dan arus atas. Saya tidak cuma bicara ICMI, lo.. Sementara arus bawah ingin keluar, melarutkan Islam dalam kehidupan bangsa, arus atas ingin mengubah nilai-nilai kebangsaan yang sudah lama berlangsung menjadi nilai-nilai Islam. Padahal, Islam tidak hidup dari eksklusivisme. Islam menyantuni semua pihak. Paham kebangsaan kita santuni dengan baik, Pancasila kan orang-orang Islam juga yang merumus kannya.

Apakah terbentuknya ICMI tidak mengubah citra Islam? Kalau dulu berwajah kekerasan dan tak jarang berdekatan dengan kasus-kasus subversi, sekarang ilmiah.

Pendapat bahwa mengoreksi citra Islam dengan formalitas Islam mengandung kesalahan yang mendasar. Saya tak pernah pakai formalitas. Saya ingin menunjukkan universalitas Islam, kasih sayang Islam, sifat Islam sebagai dinul islah — agama perbaikan — sebagai agama kasih sayang. Nggak usah pakai bendera Islam. Cukup dengan sikap-sikap seorang muslim. Di mana saja saya diukur sebagai seorang muslim yang kebetulan Ketua Umum PB NU.

Tapi NU sendiri kan eksklusif?

Ya …? Gerakan ulama di mana-mana juga eksklusif. Tapi NU tidak pernah mengajukan klaim mewakili Islam. NU mewakili NU. This is ourselves. Muhammadiyah ya mewakili Muhammaiyah, ICMI lain. Dia mengklaim mewakili Islam, Katanya menghimpun semua kekuatan Islam Halo, halo…! Yang saya katakan eksklusif adalah pengajuan klaim mewakili Islam itu. Terus terang, ini ngrusak pekerjaan lembaga-lembaga Islam lain — apakah itu masjid, NU, atau Muhammadiyah yang ingin menanamkan Islam di mana-mana tanpa label Islam.

Jadi, bagi saya,, tahun 1990 ini mengecewakan. Karena Islam tidak bisa memberi jawaban yang melonggarkan, tapi malah menyesatkan. Dalam soal Monitor, misalnya, kita tega minta pada pemerintah supaya SIUPP-nya dicabut. Sebab, bila satu SIUPP bisa dicabut, maka bisa diberlakukan bagi surat kabar yang lain. Kan Ironis.

Saya bukannya membela . Bukan… Buat apa membela koran gombal? Yang saya bela prinsip bahwa SIUPP tidak boleh dicabut. Ini kalau kita mau bicara demokrasi. Sama juga dengan Salman Rushdie. Saya bukan membela Salman Rushdie Saya membela seseorang yang dihukum mati in absentia tanpa diadili. Hukuman semacam itu menyuruh orang membunuh tanpa proses hukum. Bahwa setelah dibawa ke pengadilan dia dihukum mati, silakan. …

Peristiwa Monitor kan cuma kasus. Keberhasilan umat Islam yang positif lainnya bagaimana?

Apa pun yang dibuat umat Islam dan bagus-bagus selama 1990, dengan adanya kasus Monitor itu, terbukti bahwa fundamennya masih keropos. Untuk menangani masalah yang begitu saja minta tolong pemerintah, “Tolong, Pak, cabut SIUPP, Pak . …” Keropos! Secara moral kita ini sudah nggak punya kelebihan apa-apa. Tidak punya kekuatan batin di dalam untuk menghadapi segala cobaan dan godaan. Nabi-nabi berani. Pada zaman nabi-nabi, yang dihina bukan cuma diri mereka. Tuhan mereka, Bung. Tuhan mereka yang dihina. Toh mereka tenang tenang. Mereka minta kepada Allah swt., “Allah, tolong kasih petunjuk pada mereka. Ini jalannya Nabi. … Jadi, kalau marah, marahlah dengan cara Nabi juga Itu kalau betul-betul cinta pada Nabi.

Dengan sikap seperti itu, bukankah Gus Dur menjadi minoritas?

Blarin saja. Dibilang minoritas di mana pun terserah. asal mayoritas di NU. Banyak komentar di koran yang isinya mengutuk saya secara tidak fair, termasuk di TEMPO dan Editor. Yang dimuat, semua yang marah sama saya. Tapi yang menguntungkan saya, seperti dari Cak Nur (Nurcholish Madjid — Red), tidak dimuat.

Seorang pemuda NU dengan tenang berkata, “Gus Dur itu pikirannya ke depan, menyangkut seluruh bangsa. Nggak boleh, dong, kita kulah perang. Boleh kalah bertempur, tapi jangan kalah perang.” Begitu Yang pokok adalah stabilitas kita untuk menang perang, bukan menang bertempur.

Di NU saya mayoritas. Saya yakin, di kampus, di kalangan masjid, paridangan saya yang menang. Jadi, maksud saya begini, kalau kita ingin menegakkan bendera Islam di halaman Indonesia, belum belum sudah kalah perang. Yang harus kita lakukan adalah, kaum muslimin menegakkan bendera Indonesia di halaman Islam. Kita baru menang perang kalau kita bisa menanamkan nilai-nilai Islam pada anak-anak kita. Nilai-nilai itu kemudian dibawa menjadi bekal untuk menjadi manusia Indonesia yang tidak eksklusif, yang bisa bertemu dengan dengan nilai-nilai luhur orang lain, yang kemudian membaur menjadi nilai-nilai bangsa.

Bagaimana prospek umat Islam tahun 1991?

Saya rasa, kita masih menghadapi problem utama itu. Problem bagaimana umat Islam mengambil sikap baku yang laras. Dan itu masih akan berlanjut. Mungkin malah bertambah runyam, dalam arti ada paksaan-paksaan sehingga pemerintah dipaksa mengambil tindakan-tindakan yang “tidak manis” pada “orang lain” bukan pada orang Islam.

Tahun 1991 kan menjelang pemilu. Politik kan main di sini.