Akhir Ulasan: Siapakah Penentunya?

Sumber Foto: https://www.thenationalnews.com/sport/football/home-comfort-for-brazil-veteran-and-coach-with-impressive-world-cup-cv-1.302964

Ulasan Piala Dunia 1994

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sir Alf Ramsey, pelatih legendaris Inggris, ketika ditanya siapa yang paling menentukan dalam tim, menjawab, “disini hanya ada satu orang pertama.”. Ungkapan itu memperlihatkan betapa pentingnya arti seorang pelatih atau manajer bagi sebuah kesebelasan nasional. Johan Cruyff, mantan penyerang kondang Belanda, sewaktu ditanyai tentang kekalahan Belanda dari Brasil pada suatu waktu, menjawab bahwa lebih baik kalah menghadapi Tele Santana daripada menang atas kesebelasan manapun. Tampak betapa Cruyff menyamakan tim nasional Brasil dengan pelatihnya, Si Gaek yang kini melatih Klub Sao Paolo.

Lukisan di atas menunjukkan betapa pentingnya arti seorang pelatih yang matang bagi sebuah kesebelasan. Itulah sebabnya penulis mencoba menelusuri peranan para pelatih tim-tim nasional yang mengikuti putaran akhir Piala Dunia 1994 ini. Hasilnya adalah bagaimana pelatih Arrigo Sacchi gagal hanya oleh kesalahan teknis yang kecil.

Setelah berhasil meredam gerak eksplosif para penyerang Brasil dan menumpulkan ketajaman serbuan mereka, Sacchi gagal memetik kemenangan melalui adu penalti. Ia masih terlalu terikat kepada konvensi formal sepak bola, yaitu memasang kapten kesebelasan dan penyerang tengah sekaligus ujung tombak tim sebagai algojo dalam masa adu penalti. Ternyata kapten Franco Baressi dan striker Roberto Baggio gagal melakukan eksekusi. Herannya, hal itu telah terduga karena keduanya dalam kondisi tidak fit untuk menjadi algojo.

Rangkaian ulasan tentang para pelatih dan strategi permainan tim-tim asuhan mereka mengungkapkan kekayaan khasanah pemikiran dan refleksi di dunia sepak bola nasional dewasa ini. Para penonton memang sangat dibuat kagum oleh ketrampilan individual para pemain, tetapi mereka secara implisit menginginkan kejelasan tentang dua hal. Pertama, bagaimana para pemain itu dipilih dari berbagai klub dan dipadukan dalam sebuah tim nasional. Di samping itu, apa yang dikehendaki oleh para pelatih dari tim-tim asuhan mereka.

Dick Advocaat menginginkan para pemain Belanda menjadi onderdil yang dapat dipertukarkan (interchangable parts) dari sebuah mesin yang kokoh. Tidak boleh ada yang dominan, guna mencegah ketimpangan jalannya mesin. Hasilnya adalah cara bermain dengan “pola acak” (random patterns) yang sulit dibaca lawan. Kalau saja ia memperoleh peluang meneruskan ekspirementasi itu di tahun-tahun mendatang, akan muncul sebuah tim dengan kekuatan merata dan keutuhan permainan yang optimal. Kalau para pemain Belanda yang umumnya tidak respek kepada para pelatih dan sering bertengkar dengan mereka dapat dibangun sekompak itu, maka para pelatih tim-tim Eropa Tengah juga menampilkan sebuah perkembangan baru dan pola penyerangan individual yang matang. Rumania mampu melejitkan nama Hagi dan Rudesciciu melalui serangan terobosan mereka yang sangat menggiurkan. Begitu juga Bulgaria dengan Stoichkov, Kostadinov dan Letchkov. Tidak seperti biasanya, tim menekan secara keseluruhan dan mengabaikan inisiatif tiba-tiba secara intuitif dari para bintang penyerang mereka.

Tommy Svensson dari Swedia berhasil menyuguhkan permainan efektif melawan Rumania dan Brasil, melalui kombinasi pertahanan kreatif dan serangan balik melalui terobosan perseorangan para penyerang Martin Dahlin, Kenneth Andersson dan Tomas Brolin. Sudah lama Swedia hanya memainkan bola posisi (position football) yang membosankan, sehingga menarik untuk menyaksikan munculnya kreativitas secara mendadak seperti itu.

Sebagai kebalikan dari inovasi strategi yang dilakukan beberapa tim itu, kita lihat pada umumnya tim peserta Piala Dunia 1994 ini masih selalu berpegang pada pola-pola konvensional. Melalui penguasaan teknik bermain yang prima, baik secara individual maupun kolektif, para pemain juga dibekali dengan kemampuan sangat tinggi untuk mengalirkan serangan dari lini pertahanan di belakang ke wilayah penyerangan di depan. Penguasaan bola dan pengendalian irama permainan menjadi penentu bagi kemenangan tim, bukannya inovasi mendasar atas strategi pertandingan.

***

Perbaikan mutu permainan masih saja menjadi persoalan besar dalam Piala Dunia 1994 ini. Mutu permainan dikembangkan melalui dua jalur utama. Di satu pihak, peraturan-peraturan pertandingan diubah, untuk mendorong permainan yang lebih bersifat menyerang. Diharapkan dengan demikian, dinamika permainan menjadi lebih hidup lagi dan memunculkan kemungkinan-kemungkinan baru.

Di pihak lain, penekanan diberikan kepada penggunaan keterampilan para pemain secara optimal. Dari jalur ini muncul para pemain bertahan, gelandang dan penyerang yang bermain cemerlang, tetapi masih dalam pola konvensional. Tanpa memperhatikan inovasi mendasar dalam strategi pertandingan, tim-tim nasional hanya akan sampai kepada titik keseimbangan baru yang memacetkan pertandingan. Hal ini telah terlihat seperti dalam berkembangnya pola “penjenuhan lapangan tengah” yang dilakukan Italia untuk menumpulkan serangan Brasil dalam pertandingan final. Hasilnya adalah tontonan yang mengecewakan jika diukur dari derajat kompetisi akbar piala dunia dan dari kebesaran nama kedua tim tersebut.

Ketegaran dan konsistensi kualitas memang merupakan persyaratan utama bagi penampilan prima sebuah tim. Tetapi tanpa inovasi mendasar, tidak banyak perkembangan dapat diharapkan. Ketegaran Irlandia dan Kamerun, akhirnya tidak membawa sesuatu yang berarti. Tersingkirnya kedua tim itu tidak memberikan pelajaran banyak, kecuali keharusan meningkatkan ketrampilan individu dan optimasi kerjasama para pemain.

Sebaliknya, kekalahan Belanda dari Brasil menyajikan sebuah pelajaran berharga. Kesalahan taktis dapat menetralisir potensi inovasi mendasar dalam strategi pertandingan. Kelambatan menggantikan Frank Rijkaard dan ketidakmampuan mengantisipasikan bahaya tendangan bebas spesialis seperti Branco, membuat Belanda harus pulang kandang lebih cepat dari yang seharusnya. Kekalahan Swedia dari Brasil dan kemenangannya atas Rumania menunjukkan potensi sangat besar dari pengembangan lebih canggih (refining) taktik-taktik yang pernah dijalankan para pelatih besar di masa lampau.

Munculnya sejumlah penantang baru seperti Nigeria dan Korea Selatan, pada dasarnya juga menunjuk kepada kebutuhan inovasi strategi dari pihak para pelatih. Untuk mencapai keterampilan individual seperti para pemain Brasil tentulah sangat sulit kalau tidak boleh dikatakan mustahil dicapai dalam satu dasawarsa ini. Karenanya, seperti ditunjukkan oleh Rumania dan Bulgaria, terobosan harus dilakukan dengan mencari nilai lebih (added value) pada sisi perbaikan strategi dan pengembangan kreativitas pemain.

“…….terobosan harus dilakukan dengan mencari nilai lebih (added value) pada sisi perbaikan strategi dan pengembangan kreativitas pemain.”

Memang, yang ideal adalah optimasi keterampilan individual dan peningkatan kekompakan tim harus dicapai seiring dengan inovasi strategi yang matang dan tersalurnya kreativitas para pemain secara penuh. Tetapi jarang sekali kondisi ideal seperti itu dapat dicapai. Dan belum tentu tim seperti itu akan memenangkan kompetisi akbar seperti piala dunia. Hal itu terbukti dari pemunculan tim total football Belanda yang masuk final piala dunia dua dasawarsa yang lalu. Namun, paling tidak orang masih mengenang kehebatan tim tersebut sebagai “juara tak bermahkota” (uncrowned champions) yang sejajar dengan kehebatan tim Brasil yang merebut piala dunia di bawah pimpinan “Mutiara Hitam Pele.

Jelaslah dari apa yang diuraikan di atas, bahwa penentu kehebatan sebuah tim tetap adalah kualitas pelatihnya. Ia tidak hanya harus menetapkan para pemain tim dari sekian banyak calon berbakat. Ia juga tidak hanya bertugas mematangkan ketrampilan individual para pemain dan mengatur kerjasama mereka secara optimal. Ia juga tidak hanya harus mengembangkan strategi yang tepat untuk memenangkan kompetisi di atas itu semua, seorang pelatih haruslah mampu mengembangkan inovasi strategi dan mengeluarkan kreativitas pemain seoptimal mungkin. Dengan cara ini, ia tidak hanya berjuang memenangkan kompetisi bagi timnya, tetapi juga mengembangkan permainan terlebih jauh, dan mencegah kemacetan pertandingan yang membuat penonton bosan dan lari dari sepak bola.

Di ujung rangkaian ulasan Piala Dunia 1994 ini, penulis mengakui beberapa kesalahan data yang terdapat di dalamnya, dan mengucapkan terima kasih atas koreksi yang diberikan sementara pembaca. Sampai bertemu lagi, mungkin dalam ulasan atas jalannya kompetisi Piala Eropa 1996.