Amar Ma’ruf, Mabadi Khoiri Ummah dan Pancasila

Sumber Foto; https://tabligh.id/hubungan-pancasila-dengan-nilai-ajaran-islam/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

1. Hingga saat ini, ummat Islam di Indonesia masih belum dapat merumuskan secara tuntas strategi perjuangan yang dipakai untuk mewujudkan cita-cita yang telah lebih dahulu ditetapkan, yaitu i’la-i kalimatillah dan ‘izzul Islam wal muslimin. Strategi yang dimaksud adalah keseluruhan gugusan langkah dan pola perjuangan kolektif yang dilaksanakan oleh semua kelompok dilingkungan umat Islam. Dengan sendirinya, apa yang selama ini dikenal sebagai ‘perjuangan’ lalu bersifat parsial (juz’i) dan menggunaka kwasi-strategi (syibhul istratiyyah), yang sama sekali tidak menjamin keberhasilan apa yang dituju.

Salah satu sebab utama adalah belum adanya kesamaan arti apa yang dimaksud dengan kata ‘perjuangan’ itu sendiri. Apakah wawasannya, sampai dimanakah lingkupnya, dimanakah letak hakekatnya, sasaran kongkrit apakah yang hendak dicapai dengannya? Dalam keadaan demikian, tidak heran kalau bagian kerja antara mereka yang melaksanakannya juga menjadi tidak jelas, dan sebagai akibat tidak mungkin muncul kepemimpinan yang akan mengarahkan ‘perjuangan’ ke sasaran yang dituju. Antara satu dan lain sektor tidak ada kaitan yang dikembangkan secara berencana, bercirikan hubungan fungsional yang jelas dan memiliki titik kulminasi yang sama. ‘Perjuangan’ yang dilakukan lalu berwatak sporadis, dan tidak memiliki kesamaan langkah antara begitu banyak bagian yang berserakan dan terlepas satu dari yang lain. Disela-sela sekian banyak “bagian perjuangan” yang semua bergerak dengan kecepatan penuh itu, lalu terdapat celah-celah yang penuh kelemahan.

Kombinasi dari sekian banyak ‘bagian perjuangan’ yang berlingkup begitu massif disatu pihak dan kesadaran akan kelemahan begitu banyak dicelah-celah kesemua bagian itu akhirnya melahirkan situasi kejiwaan serba terpecah (al-syakhsiyyah al-muqassamah, split personality) dilingkungan ummat Islam: di satu pihak merasa bangga dengan kekuatan sendiri dan dengan itu mengajukan tuntutan-tuntutan mutlak kepada pihak lain (termasuk negara), tetapi di pihak lain selalu merasa tersudut dan meminta perlindungan pihak luar itu sendiri dari berbagai hal yang dianggap menjadi gangguan dan dinilai merugikan ‘kepentingan ummat Islam’. Situasi seperti itu lalu menimbulkan beban moral sangat besar, yang semakin membuat cerai-berainya kesatuan langkah yang sedikit banyak masih ada. Keadaan seperti itu praktis semakin berkepanjangannya lingkaran setan yang tidak berkeputusan antara sebab dan akibat.

Salah satu kategori yang penting dalam ‘perjuangan’ yang dilakukan selama ini adalah apa yang dirumuskan sebagai kerja mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar. Kerja ini adalah inti dari keseluruhan ‘perjuangan’ yang dilakukan, dan betapa banyak sekalipun kekurangan dalam pola dan cara melaksanakannya, namun ia telah berhasil memberikan warna yang benar atas keseluruhan ‘perjuangan’ itu sendiri. Arah ‘perjuangan’ menjadi tetap lurus pada rel yang benar, karena amar ma’ruf nahi munkar menjadi kesatuan langkah yang mencegah penyimpangan dari sasaran yang dituju.

Karena itu, salah satu tonggak perjuangan di masa datang adalah pengembangan prinsip amar ma’ruf dan nahi munkar dalam sebuah pola yang semakin meluas, memasuki bidang-bidang yang selama ini belum tergarap. Namun, untuk memungkinkan pengembangan konsep amar ma’ruf nahi munkar yang diperluas itu perlu pula ia dikaitkan dengan kerangka mabadi khairi ummah (prinsip-prinsip kesejahteran ummat) yang juga masih memerlukan perumusan kembali lingkup dan jangkauannya. Dengan meletakkan keduanya dalam sebuah kaitan yang jelas, maka sendi-sendi bagi sebuah strategi perjuangan yang tuntas di masa depan telah diletakkan

Pengaitan amar ma’ruf nahi munkar dan mabadi khairi ummah di atas akan menghasilkan landasan perjuangan yang matang, jika diletakkan dalam sudut pandangan hubungan dengan dasar Pancasila. Pemeriksaan atas hubungan keduanya dengan Pancasila akan meletakkan landasan perjuangan ummat Islam pada bumi nyata yang dihayati bangsa Indonesia, bukannya sesuatu yang terlalu tinggi letaknya diawang-awang.

2. Liputan amar ma’ruf nahi munkar selama ini adalah melaksanakan syari’at Islam secara tuntas, baik dalam kehidupan perorangan kaum muslimin maupun kehidupan berkelompok mereka. Liputan tersebut tidak hanya mengenai aktualitas perilaku mereka saja, melainkan menyangkut sarana yang mendukung perilaku itu, seperti rumah judi dijadikan ‘garapan’ nahi munkar di samping perbuatan berjudi itu sendiri. Termasuk dalam sarana tersebut adalah peraturan-peraturan kenegaraan dan kebiasaan masyarakat, di samping pranata-pranata lainnya (jaringan komunikasi massa, sistem perekonomian dan sebagainya).

Liputan seperti itu mengajukan tuntutannya sendiri atas ‘perjuangan’ yang dilakukan selama ini, yaitu formalisasi ketentuan-ketentuan syari’at dalam semua sektor kehidupan kaum muslimin, termasuk kehidupan bernegara. Sikap yang ditimbulkan oleh kebutuhan akan formalisasi itu lalu memberikan warna tersendiri pada ‘perjuangan’ yang dilakukan itu, yaitu watak eksklusif yang membatasi kiprah yang dijalani hanya bagi kepentingan nasional. Dengan sendirinya, mudah sekali timbul kesan bahwa ‘perjuangan Islam’ adalah ‘perjuangan golongan Islam’ belaka. Padahal dalam kenyatannya kiprah kaum muslimin meliputi semua segi, bidang dan sektor kehidupan bahkan memiliki jangkauan keluar batas-batas tanah air mereka dan berwatak universal.

Demikian kuat kesan ini tertanam di luar dan di dalam lingkungan ummat Islam sendiri, sehingga sulit untuk menembusnya. Di dalam lingkungan ummat Islam, umpamanya, sedikit sekali perhatian diberikan oleh gerakan-gerakan Islam untuk me’nasional’kan diri, bahkan sering timbul tuduhan ‘menyeberang’ atau ‘meninggalkan perjuangan Islam’ jika tercapai keselarasan penuh antara aspirasi nasional dan aspirasi gerakan Islam yang berusaha me’nasional’kan diri itu. Dalam hal ini harus juga diperhitungkan akibat berupa ‘pukulan balik’ (backlash) yang ditimbulkan oleh upaya pe’nasional’an diri diri yang berwatak oportunistik (intihazi), yang justru menambah parahnya kesenjangan antara ‘aspirasi Islam’ dan ‘aspirasi nasional’ bangsa. Di luar lingkungan ummat Islam, kesan akan kesenjangan tersebut lebih banyak diakibatkan oleh sedikitnya pengertian akan hakikat keagamaan murni dari tuntutan pelaksanaan syariat secara murni, apalagi kalau tuntutan itu diajukan secara militan dan ‘bernada keras’.

Kenyataan di atas menuntut dari kita sebuah kesediaan untuk dengan kepala dingin mencari cara-cara pelarian kesenjangan tersebut, sehingga dalam jangka panjang kepentingan ummat Islam dapat diperluas menjadi kepentingan nasional dan kepentingan nasional memasukkan ke dalam dirinya hal-hal yang dianggap kepentingan agama murni di pihak ummar Islam.

Salah satu cara yang patut dipertimbangkan dalam hal ini adalah perluasan wilayah garapan amar ma’ruf nahi munkar, dan meletakkan tekanan pada aspek-aspek kehidupan yang selama ini sedikit sekali disentuh sebagai ‘garapan agama’. Ini berarti perumusan kembali wawasan amar ma’ruf nahi munkar itu sendiri. Selama ini, secara tidak sadar amar ma’ruf nahi munkar senantiasa diletakkan dalam kerangka ‘mekanisme penghalalan dan pengharapan’ belaka. Amar ma’ruf dioperasional dalam hal-hal yang diwajibkan dan diseyogyakan (disunnahkan) oleh syari’at, sedangkan nahi munkar dalam hal-hal yang dilarang, dijauhi dan tidak diseyogyakan. Watak pendekatan ini adalah legalistik dan formalistik, yaitu sekedar mengukur keadaan atau sesuatu hal dari pandangan formal Islam belaka. Yang tidak termasuk jangkauan hal-hal formal, tidak digarap sebagai bagian dari kehidupan beragama.

Padahal, sebenarnya ada sebuah kerangka lain yang dapat menampung operasionalisasi prinsip amar ma’ruf, dan dengan sendirinya juga nahi munkar, yaitu di bidang perumusan konsepsi kemasyarakatan. Garapan di ‘wilayah baru’ ini ternyata memiliki dimensi yang tidak hanya bersifat legalistik dan normatif belaka, melainkan juga dimensi falsafi, ekonomis, budaya, politik/ideologis dan seterusnya. Sebenarnya kaum muslimin di masa lampau pernah mencoba menyediakan jembatan dan jalan pintas kearah perluasan multi-dimensional tersebut, yaitu ketika para sarjana ilmu-ilmu syari’at menulis tentang filsafat hukum (falsafah altasyri’), hikmah perundangan (hikmah altasyri’) dan sebagainya. Namun upaya itu tidak terus berlanjut secara menetap, melainkan berkembang secara sporadis dan meloncat-loncat.

3. Perluasan ‘cakrawala amar ma’ruf dan nahi munkar’ menjadi wilayah garapan multi dimensional di atas, akan berlangsung lebih baik dan lebih matang kalau dikaitkan dengan perumusan kembali mabadi khairi ummah. Prinsip-prinsip kesejahteraan ummat yang umum diikuti sekarang, selayaknya digali lebih mendalam akar-akarnya. Prinsip umum pengaturan kehidupan yang lima (al-kulliyyat al-khams) yang berupa jaminan akan keselamatan nyawa, agama, keluarga, harta, dan pekerjaan, seharusnya diteropong lebih jauh tumpuan idealnya, yaitu dalam jawaban atas sejumlah pertanyaan dasar berikut:

  1. Apakah watak pengaturan kehidupan bermasyarakat dalam Islam, egalitarian-kah atau elitis? Apakah implikasi terjauh dari pilihan watak sosial yang diambil?
  2. Apakah hubungan dasar antara perorangan warga masyarakat dan masyarakatnya, hubungan kultural-kah (warga adalah pembentuk masyarakat secara penuh) ataukah strukturalkah (masyarakat adalah penentu perilaku perorangan warganya)?
  3. Bagaimanakah hubungan antara keimanan, teknologi dan ilmu pengetahuan diatur di dalamnya, masing-masing dengan otonominya sendiri ataukah ada saling ketergantungan antara ketiganya?
  4. Bagaimanakah hubungan antara Islam sebagai pandangan hidup dan faham/ideologi lalu diatur secara komplementer-kah atau dalam pola subordinatif? Kalau subordinatif, pandangan hidup Islami lalu menjadi suprastruktur bagi faham/ideologi lain itu? Kalau komlementer, bagaimanakah dilakukan peng-kapling-an wilayah masing-masing tanpa saling mengganggu, namun tidak terputus hubungan antara keduanya?

Pilihan-pilihan yang diambil berdasarkan jawaban deretan pertanyaan di atas akan membentuk gugusan pengertian tentang prinsip umum pengaturan kehidupan bermasyarakat yang melandasi mabadi khaira ummah. Gugusan yang utuh dan bulat, tanpa ada kontradiksi (ta’arudh wa tanaqudh) internal di dalamnya, akan memungkinkan pembentukan rangkaian prinsip-prinsip penyelenggaraan kesejahteraan ummat (mabadi khaira ummah). Di dalam hal ini firman Allah, “Kalian adalah sebaik-baik ummat; yang diciptakan bagi (Keseluruhan) ummat manusia, (karena) kalian beramar ma’ruf dan bernahi munkar (………….), akan memperoleh penafsiran baru yang selama ini belum pernah difikirkan: sebuah masyarakat egalitarian (berasaskan persamaan hak secara prinsipiil), yang di dalamnya warga masyarakat penunjang strukturnya dan teknologi, ilmu pengetahuan dan agama saling ketergantungan satu sama lain dan Islam bersikap menyantuni dan terbuka terhadap faham/ideologi lain di luar dirinya sendiri. Pilihan pertama di atas dengan sendirinya menuntut penataan masyarakat dalam pola-pola, wawasan, kelembagaan, dan hubungan tertentu dengan segala implikasi bagi struktur pemerintahan dan sistem perekonomian serta arah pendidikan di dalamnya. Demikian pula jika diambil pilihan kedua.

Model teroritik dari masyarakat yang dipilih itu lalu dapat dibuat secara skematik, yang selanjutnya secara konseptual akan memunculkan sejumlah prinsip-prinsip yang penyelenggaraan kesejahteraan ummat (mabadi khairi ummah).

Prinsip-prinsip tersebutlah yang akan menjadi titik tolak pertama dalam penyusunan sebuah strategi perjuangan yang tuntas dan menyeluruh, dengan ketentuan mampu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting berikut:

  1. Strategi penyusunan dan pengembangan serta pembinaan masyaraka berdasarkan prinsip-prinsip tersebut haruskah dilakukan dari bawah. Atau oleh ‘kelompok inti’ tertentu, yang akhirnya akan menentukan corak kepemimpinan perjuangan ummat?
  2. Adakah di dalam strategi tersebut mekanisme untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan, jika terjadi kemacetan konseptual maupun institusional’ dalam wawasan strategi itu sendiri.
  3. Bagaimanakah penahapan perjuangan dilakukan, sambil berjalan ataukah mengikuti sebuah pola multi tahap (a multi-stage pattern) yang ketat? Bentuk kongkrit kelembagaan perjuangan berdasarkan strategi tersebut, jika pola multi tahap yang digunakan akan bersifat lenturkah atau menetap?

Pembidangan kerja atau bermacam-macam wilayah kerja akan sangat bergantung bentuk dan coraknya kepada bentuk model teoritik dan strategi yang disusun dari model di atas.

Perluasan cakrawala kerja melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan memasukkan ke dalam sebuah gugusan prinsip penyelenggaraan kesejahteraan ummat yang akan memunculkan model teoritik dan strategi perjuangannya sendiri, seperti digambarkan di atas, mau tidak mau harus disilangkan dengan implikasi dari kenyataan bahwa kita adalah negara yang berdasarkan ideologi Pancasila. Kalau hal ini tidak diperhitungkan, maka model teoritik dan strategi perjuangan yang digunakan untuk mewujudkan sasarannya akan menjadi model dan strategi yang tidak sesuai dengan kebutuhan sebenarnya perjuangan Islam di Indonesia di masa depan.

Beberapa hal harus dijadikan pegangan dalam menyilangkan kerja amar ma’ruf nahi munkar dan mabadi khairi ummat itu dengan kenyataan bahwa negara kita berideologi Pancasila:

  1. Tuntutan akan ketuntasan pelaksanaan syari’at harus ditujukan kepada diri kita sendiri, bukan kepada peraturan dan perundang-undangan pemerintah. Ini berarti tuntutan akan disiplin sosial lebih besar di kalangan kaum muslimin sendiri, untuk melaksanakan ajaran agama mereka tanpa dorongan dan dukungan pemerintah. Semua agama lain di negara kita juga ‘bernasib’ demikian, namun mereka menghadapi kesulitan lebih sedikit, karena tuntutan syari’at bagi mereka jauh lebih sedikit, kalau bukannya dikatakan tidak ada.
  2. Kebijaksanaan nasional pemerintah dalam banyak bidang tentu tidak dapat diharapkan akan disusun dan dirumuskan pertimbangan keagamaan, apalagi pertimbangan menurut ajaran agama Islam. Dalam keadaan demikian, maka harus dikembangkan kemampuan untuk tetap pada pendirian semula, tanpa menekankan perbedaan dengan kebijaksanaan nasional yang diambil pemerintah itu. Salah satu cara menghindarkan konfrontasi langsung itu adalah membedakan antara ajaran Islam dan kepentingan ummat Islam. Kasus penghapusan liburan sekolah dalam bulan Ramadhan, umpamanya, merupakan ‘uji coba’ menarik dalam hal ini. Ajaran Islam jelas tidak dilanggar, namun kepentingan kaum muslimin yang dirugikan dalam hal ini;
  3. Proses domestika atau ‘mempribumikan’ Islam harus dituntaskan di segala bidang yang berarti penghentian arus semakin besar sekarang ini untuk berkiblat ke Timur Tengah dan arus Arabisasi harus ditekan di titik sekecil mungkin. Dalam keadaan merasa terdesak, memang dapat dimengerti lalu muncul kecenderungan akan solidaritas semakin kokoh dengan ‘saudara-saudara senasib’ di negeri-negeri lain, yang mendasari pengkiblatan sikap kita ke Timur Tengah dan arus Arabisasi yang semakin kuat. Namun, kecenderungan dan arus seperti itu justru akan semakin menjauhkan kita dari identifikasi kiprah kaum muslimin dalam kerangka memperjuangkan kepentingan nasional. Betapa terjepit atau terdesaknya keadaan kita secara politis dan kultural, kita harus bertahan pada kiprah nasional kita yang dirumuskan bersama-sama orang lain yang tidak seiring dan seperjalanan dalam mewujudkan cita-cita menegakkan ajaran Islam di Bumi Nusantara;
  4. Kita justru harus berusaha memegang kepeloporan dalam mengarahkan kembali kehidupan bangsa dari beberapa kecenderungan yang membahayakan seperti berikut:
    • Semakin besarnya arus ke arah birokratisasi kehidupan bangsa di segala bidang, dalam bentuk kehidupan semakin besarnya bagian yang diambil aparat pemerintah dalam pembangunan nasional dan semakin kecilnya peranan pihak swasta (kecuali dalam perniagaan), suatu hal yang membahayakan kelangsungan pembangunan nasional itu sendiri dan pelestarian hasil-hasilnya;
    • Semakin besarnya kecenderungan untuk melihat kepentingan nasional secara seisi saja, yaitu identifikasi kepentingan aparat pemerintahan sebagai kepentingan nasional dalam skala yang semakin lama semakin meningkat;
    • Semakin besarnya rasa saling curiga-mencurigai antara berbagai golongan dan kelompok di masyarakat, yang berakibat pada beberapa perkembangan salah yang mencemaskan; meningkatnya tindak kekerasan dalam kehidupan bangsa, seolah-olah kekerasan kini telah, membudaya di semua bidang. Akibat lain dari suasana saling mencurigai itu, yang baru terasa dalam jangka panjang, adalah kesulitan semakin besar untuk mencapai kesamaan pandangan tanpa campur tangan aparat pemerintah. Ini berarti semakin sulitnya dicapai konsensus nasional dalam artiannya yang dinamis dan kreatif, melainkan ‘dicukupkan’ dengan jasa-jasa baik minimal dari pihak aparat pemerintahan tersebut, atau dengan kata lain kita semakin terbiasa untuk hidup berdasarkan konsensus minimal yang dapat diraih dan kehilangan saling pengertian optimal. Ini sangat berbahaya bagi kesatuan dan persatuan bangsa dikemudian hari.
  5. Penjadwalan beberapa jenis kegiatan utama berikut diusulkan di bawah ini,untuk meletakkan kiprah ber-amar ma’ruf nahi munkar dalam kerangka mabadi khairi ummah dalam hubungan keduanya dengan kenyataan adanya Pancasila sebagai ideologi negara dan bangsa. Jenis-jenis kegiatan utama itu adalah:
    • Semakin mematangkan wawasan kultural ummat Islam, dengan membuka diri sejauh mungkin bagi dialog dengan pihak-pihak lain dan mencoba memahami sejauh mungkin aspirasi yang hidup dikalangan mereka;
    • Semakin mendewasakan kehidupan internal ummat islam dengan menyiasati perumusan kebutuhannya sendiri dari berbagai sudut pandangan dan wawasan sektoral, diluar kebutuhan legalistik yang dirasakan oleh pendekatan formalistik’ dari sudut pandangan ajaran islam belaka;
    • Memulai kerja-kerja rintisan sebagai berikut:
      • mengembangkan budaya politik yang benar-benar demokratik, dengan jalan mengembangkan bentuk musyawarah yang jangkauannya semakin luas dikalangan warga gerakan gerakan islam sendiri dalam mengambil keputusan. Dikatakan semakin meluas, karena bentuk musyawarah selama ini terlalu ditekankan pada tingkat antar pimpinan belaka dan antara pimpinan antar gerakan belaka, sehingga sebenar benarnya anggota gerakan praktis tidak turut mengambil keputusan;
      • Merintis pembentukan lembaga-lembaga sosial ekonomis (socio economic interpendasi) yang berwatak kolektif di tingkat bawah, dalam ukuran sangat kecil dan dalam kerangka mikro, guna menumbuhkan kemandirian bangsa dibidang ekonomi dan mengatasi akibat akibat buruk dari sistem ekonomi yang semata mata di sandarkan pada mekanisme pasar dewasa ini;
      • Mengisi mata rantai yang hilang dalam sistem pendidikan nasional. Yaitu menumbuhkan kesediaan masyarakat untuk melakukan sendiri kerja mendidik, disamping sekolah dan keluarga. Kerja mendidik oleh masyarakat ini dapat mengambil bentuk bermacam macam mulai dari jaringan pengajian umum hingga ke latihan latihan kerja magang (apprenticeship) dalam lapangan usaha yang beraneka ragam;
      • Membentuk jaringan komunikasi modern (melalui media massa) maupun mengembangkan dan mendinamisasikan jaringan komunikasi tradisional yang sudah dimiliki selama ini, guna meratakan pandangan tentang pembangunan nasional dalam segala aspeknya dan saling memperkenalkan kiprah masing masing di dalamnya serta memecahkan persoalan persoalan yang dihadapi pembangunan nasional itu sendiri secara bersama sama. Apa yang digambarkan diatas sudah jelas bukan merupakan pemecahan fundamental bagi masalah masalah yang dihadapi ummat islam dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, melainkan setidak tidaknya telah memberikan kemungkinan untuk menkaitkan amar ma’ruf nahi munkar dengan prinsip prinsip yang menjadi pegangan bersama, yaitu mabadi khairi ummah, dari kerja mengkaitkan antar visi idiel kemasyarakatan dan langkah langkah praktis untuk mewujudkan visi itu sendiri akan terbuka kemungkinan untuk merumuskan kembali doktrin ahlussunnah wal jam’ah dan meletakkannya dalam lingkup lebih luas dan cakrawala yang jauh menatap kemasa depan. Mudah mudahan kerja seperti itu dapat dilakukan secara tuntas, dengan ridha Allah dan petunjuk serta pertolongan Nya.