Apa yang Kau Cari Palupi?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Judul di atas diambil dari judul film karya penyair kita Asrul Sani lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Hal itu juga ditanyakan banyak orang kepada penulis setahun terakhir ini “Apa yang Kau Cari Gus Dur? Sebagaimana diketahui, penulis tidak pernah menutup-nutupi kejanggalan keadaan dan keanehan keputusan yang diambil oleh para pemimpin formal kita dewasa ini. Karena didukung oleh sistem politik “apa katanya pemimpin” (nderek dawuh), telah mengakibatkan kacau-balaunya kehidupan kita sebagai bangsa. Tidak adanya ketaatan asas/konsistensi dalam sikap dan keputusan kita sebagai bangsa, sedalam-dalamnya adalah sebab dari keadaan kita sekarang. Demikian pula pernyataan penulis untuk tidak menerima sikap-sikap tidak konsisten itu, telah turut menciptakan sebagian dari ‘kegelisahan’ yang ada, walaupun penulis justru beranggapan keberanian kita untuk mengakhiri hal itu melalui pemilu tahun depan, akan membawa era baru yang lebih baik bagi bangsa kita.

Di pihak lain sering ditanyakan, mengapa penulis sering berpergian ke seluruh dunia, seolah-olah tidak mempunyai kerjaan penting di dalam negeri. Bukankah menerima hadiah perdamaian dari sebuah yayasan di Seoul (Korea Selatan) dapat diwakilkan kepada orang lain, seperti halnya “Hadiah Solidaritas Dunia” yang akan dianugerahkan oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat di kantor PBB (New York, A.S) awal bulan Desember yang akan datang? Juga “Hadiah Filsafat dan Etika” yang akan disampaikan di Kyoto (Jepang) bulan Febuari 2004? Bukankah rangkaian hadiah itu sama artinya dengan undangan membuka meresmikan Museum Tan Kim Han di kota Xiamen propinsi Fujian (RRT) dalam minggu ketiga bulan November ini?

Di samping itu, penulis telah mengikuti sejumlah forum yang membahas asal-usul terorisme dan wajah-wajah toleransi dalam berbagai agama. Tentu saja rujukan kedua hal itu ada dalam sejarah maupun ajaran agama Islam. Penulis mengikuti dua buah pertemuan internasional untuk membentuk asosiasi pemimpin masyarakat Islam di Jakarta dan London, sambil menunggu pertemuan ketiga sebentar lagi untuk meresmikannya. Penulis juga menyampaikan pidatonya selama 45 menit dalam pembentukan Dewan Perdamaian Internasional antar agama di New York akhir bulan lalu. Di sana penulis hanya berada lima jam untuk menyampaikan makalah tentang bagaimana Islam memandang terorisme dan toleransi.

*****

Penetapan makalah yang penulis sampaikan di Paris itu dilakukan oleh Presiden Jacques Chirac dari Prancis, yang juga berbincang-bincang dengan penulis selama 90 menit di Istana Elysée, walaupun semula hanya direncanakan untuk 30 menit. Disusul dengan konferensi regional di Beirut (Lebanon) tentang perbincangan antarbudaya secara internasional di abad yang baru ini. Konferensi yang diselenggarakan Lebanese Institute for Economic and Social Development dan the Centre Lebret (di bawah pimpinan Pdt. Ragazoni) itu dihadiri oleh wakil-wakil dari seluruh Timur Tengah, termasuk seorang wanita Turki berkebangsaan Jerman, bernama Saliha, yang sangat terkenal sebagai penulis dalam media di Jerman.

Ketika ia menanyakan kepada penulis, bagaimana ia harus menjelaskan kepada bangsa Jerman toleransi yang ada dalam Islam, sedangkan 11 tahun sebelumnya ia melihat dengan mata kepala sendiri 37 orang intelektual Turki dibakar dalam sebuah hotel di Shifas ketika penduduk setempat atas perintah seorang mubaligh lokal? Penulis menjawab bahwa kaum muslimin tersebut tidak mengerti; apa yang mereka perbuat di samping tidak tahu hakekat masalah. Dalam Islam, dibedakan antara tahu dan mengerti, yaitu antara ma’rifat dan ‘ilmu. Ada orang yang tahu tapi tidak mengerti dan demikian pula sebaliknya.

Apa yang dikemukakan Imam Al-Ghazali (dibaca di Malaysia dan sebagian tanah air kita) patut kita renungkan. Ia membagi manusia dalam empat kategori, orang yang tahu karena ia tahu, orang yang tahu tapi ia tidak tahu, orang yang tidak tahu tapi ia tahu dan orang yang tidak tahu karena ia tidak tahu (Yadri annahu yadri, wa yadri annahu la yadri, wa la yadri annahu yadri, wa la yadri annahu la yadri). Pembagian beliau itu dapat kita kembangkan ke dalam tuturan lain yang membedakan antara tahu dan mengerti pekerjaan yang dilakukannya, inilah isi al-Hadist: “Kalau perkara di serahkan kepada bukan ahlinya tunggulah hari kiamat” (Idza wusida al-amru illa Ghairi ahlihi fa intatziri al-sa’ah).

*****

Pertanyaan di atas menjadi sangat penting, karena mempertanyakan apa yang membuat penulis membagi perhatian antara soal pemilu yang akan datang dan masalah-masalah internasional. Karena ia adalah Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB dan turut mendirikannya, mengapa pula masih harus berangkat dengan masalah-masalah luar negeri? Jawabannya, sebenarnya terletak pada sasaran yang ingin dicapai dengan pemilu legislatif dan Presiden tahun yang akan datang. Dan sasaran tergantung kepada bagaimana penulis memandang tempatnya sendiri dalam kehidupan. Tentu ini masih harus diramu dengan pendapat-pendapat lain, tetapi rasa-rasanya tidak akan berkurang, tetapi apa yang terjadi malahan akan bertambah.

Sebagai seorang muslim, hal pertama yang menjadi sasaran adalah bagaimana membuat umat Islam di negeri kita menjadi pemimpin bagi kaum muslimin di dunia Islam. Secara keseluruhan. Kalau dahulu Nabi Muhammad SAW adalah puncak “perwakilan” bangsa Arab, Salahuddin Ayyubi, (Saladin Sarasen) menjadi simbol kebesaran suku Kurdi, Sultan Akbar melambangkan kekuasaan orang Moghul di India, maka sekarang sudah saatnya muncul sosok muslimin dari Asia Tenggara. Kedua, demokratisasi di negeri kita, yang dengan kata lain disebut reformasi, sekarang telah dicuri orang karena hampir seluruh parpol yang menang dalam pemilu yang lalu, saat ini tidak menonjolkan kepentingan-kepentingan seluruh bangsa-rakyat. Sasaran ketiga, adalah mempertanyakan dan merumuskan kembali arti beberapa “istilah Internasional”, yang kini di gunakan untuk mengabdi kepada kepentingan usaha-usaha besar. Apakah kita harus mendengar dan mengikuti apa kata Sony dalam elektronik, Fuji dalam optik, Boeing dalam pembuatan pesawat terbang dan IBM dalam teknologi komputer, yang tidak pernah memperhitungkan kepentingan bangsa-bangsa berkembang.

Yang terakhir justru adalah sasaran paling sulit dicapai yaitu dalam waktu lima belas tahun penghasilan rata-rata perorangan warga negara Indonesia sebesar sepuluh ribu dollar A.S (± 830 juta rupiah) per tahun. Keempat sasaran itulah yang membuat penulis harus berlari-lari kian kemari untuk kita bersama mencapainya. Jadi, jawaban atas pertanyaan Asrul Sani itu, “Apa yang kau cari, Palupi?”, masih jauh lebih kecil dari pada yang ingin dicapai penulis, setelah melihat potensi bangsa kita yang demikian besar. Baik jumlah sumber daya manusianya, maupun sumber-sumber alam yang dimilikinya yang akan dipulihkan dalam sepuluh tahun dari garapan sembarangan sistem yang berjalan puluhan tahun maupun keserakahan yang mementingkan diri sendiri maupun golongan. Sasaran yang mudah dikatakan namun sulit dilaksanakan bukan?