Citra Kiyai
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Hukum agama (fiqh) memang memegang peranan sangat penting dalam kehidupan dalam kaum muslimin. Hukum agama mengatur pola kehidupan seorang muslim maupun masyarakatnya secara menyeluruh, melalui mekanisme halal-haram dan sebagainya. Watak ‘aturan kolektif’ inilah yang membedakan kehidupan kaum muslimin dari sistem-sistem kehidupan yang lain.
Hukum agama memberikan peluang untuk melakukan tinjauan ulang atas dirinya. Sebuah kaidah hukum agama menyebutkan hukum (agama) bergantung ada atau tiadanya dari sebab (hukum) itu sendiri (al–hukmu yarudu maa ‘illatihi wujudan wa’ adaman). Dibuatlah perangkat bermacam-macam untuk kebutuhan perumusan ulang, yang dibawakan oleh kebutuhan. Ada masalih mursalah (kepentingan masyarakat yang diutamakan). Ada maqasid syari’ah (tujuan hukum) dan begitu seterusnya.
Salah satu contohnya adalah kasus keluarga Berencana (KB). Dahulunya dilarang, karena didefinisikan sebagai membatasi kelahiran anak. Itu masalah reproduksi manusia, hak Allah. Bukannya urusan manusia. Bukankah Allah melarang kita membunuh anak, karena takut kemiskinan? Bukankah rejeki datang dari Allah, bukannya berada di tangan manusia? Apalagi Rasulullah memerintahkan “Kawinlah kalian dan berbanyak-banyaklah anak, yang akan kubanggakan di hadapan ummat (para nabi) lain di hari kiamat kelak. Juga perintah Beliau. Kawinilah wanita yang banyak anak dan yang mengasihimu. (zawwijul waludal wadud).
Namun, sebab hukumnya sekarang didefinisikan lain. KB bukan membatasi melainkan menjarangkan anak. Yang dibanggakan Rasulullah di hari kiamat nanti adalah kualitas manusia ummat beliau, bukan hanya kuantitasnya. Wanita berpotensi punya anak banyak, tidak berarti harus direalisir sepenuhnya, nanti diperkirakan bahkan ada waktu menyayangi dan mengasihi suami jika terlalu repot dengan anak yang banyak.
Ada prinsip yang dipertahankan dalam kasus di atas. Prinsip reproduksi manusia adalah hal Allah, dipertahankan teguh. Karenanya tidak boleh pakai metode KB yang menghentikan kemampuan reproduksi manusia secara final. Dus sterilisasi tidak diperkenankan, kecuali kalau dimungkinkan metode sterilisasi non-permanen (reversible sterilization). Menggunakan cincin jung. Umpamanya. Jadi jelas tampak, bahwa perubahan atau perumusan ulang atas hukum agama, tidak berarti sepenuhnya melarutkan diri ke dalam ‘tuntutan modernisasi’.
Yang dilakukan justru adalah mencari titik perpautan antara keadaan dan norma-norma agama. Perpautan untuk menjembatani antara dua kebutuhan. Kebutuhan temporal dari kehidupan dunia di satu pihak dan kebutuhan abadi akan kebahagiaan akhirat. Dicari keseimbangan antara keduanya.
Citra keulamaan atau kekiyaian justru di sini letaknya. Bagaimana menemukan titik yang melakukan kerja penjembatanan itu. Selama seseorang berada di ‘garis berbatasan’ antara dua kebutuhan itu, masih pantas ia disebut ulama atau kiayi. Ia boleh saja ‘sangat pemurah hati’ dalam masalah hukum agama, namun masih berpegang pada norma agama yang sebenarnya. Ada garis batas, di mana ia tidak bisa mundur lagi, dan akan menyatakan ‘tidak boleh’. Selama sikap seperti itu jelas terlihat, masih patut ia disebut kiyai atau ulama.
Nah, orang yang dengan segala cara dan argumentasi mencarikan ‘pembenaran’ sesuatu yang baru, apalagi yang datang dari pemerintah atau kelompok kuat yang lainnya, justru tidak patut disebut kiyai atau ulama. ‘Kebenaran’ baginya adalah keinginan pemerintah atau kelompok kuat itu, bukannya norma agama. Sikapnya lalu berwatak manipulatif, mencari-cari alasan bagi pembenaran yang ingin dilakukannya.
Orang yang seperti itu sikap hidup dan perilakunya, sebenarnya tidak pantas menjadi ulama. Ia telah kehilangan apa yang dalam bahasa Arab disebut muru–atul’alim. Bahasa sininya, kehilangan citra kiyai. Betapa alim dan dalam sekali pun pengetahuan agamanya, ia bukan kiyai lagi.