Dapatkah NU-PKB Melupakan itu?

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Pada saat tulisan ini dibuat, penulis baru saja diminta untuk memberitahukan kepada kawan-kawan di lingkungan DPP-PKB bahwa mereka jangan sampai meninggalkan “kewajiban” berkampanye untuk calon presiden dan wakil presiden Wiranto-Sholahuddin Wahid. Permintaan tersebut dikemukakan oleh Prof. Dr. Alwi Shihab kepada Jenderal TNI Purnawirawan Luhut Panjaitan yang meneruskannya kepada penulis. Sebelum itu Muhaimin Iskandar dari DPP PKB telah menyatakan “stres” yang dialaminya karena masalah yang sama, ia diajak oleh Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto untuk berkampanye ke sebuah daerah. Walaupun tidak menyampaikan pidato apa pun, dan menyerahkan pidato itu sendiri kepada Wiranto, namun berada di sebuah panggung dengan “jurkam” (juru kampanye) mantan orang militer itu, membuat ia merasa berat untuk melanggar hati nurani pribadinya sendiri.

Karena itulah sepulang ke Jakarta, ia lalu mencari penulis untuk mencurahkan perasaannya dan mengemukakan kebingungannya. Penulis menyatakan kepadanya bahwa ia turut serta dalam pembuatan keputusan berdasarkan aklamasi (suara bulat) memilih Sholahuddin Wahid sebagai calon PKB untuk jabatan wakil presiden, dan dengan sendirinya pencalonan seperti itu harus diikuti secara harfiah, sedangkan penulis pun mengizinkan keputusan tersebut. Dengan demikian berarti Muhaimin Iskandar memiliki “kewajiban” mendukung kampanye Pemilu bagi pasangan Wiranto/Sholahuddin Wahid. Tetapi karena hati nurani pribadinya sendiri, ia tidak perlu menyampaikan pidato apa pun, cukup bila ia hadir kalau diajak untuk itu. Inilah namanya disiplin berorganisasi yang akan “mendewasakan” warga PKB, dan dengan sendirinya warga NU juga dalam Pemilihan Umum kali ini.

Hanya dengan cara demikianlah kita dapat menjaga “keutuhan” NU-PKB dalam Pemilu kali ini. Terpilih atau tidaknya pasangan calon itu, terserah kepada rakyat nanti. Inilah sikap dewasa yang timbul dari kenyataan berikut: Penulis tetap melaksanakan golput dalam Pemilu itu, sedangkan DPP PKB mengambil keputusan secara bulat untuk mendukung pasangan Sholahuddin Wahid. Karena sama-sama berat untuk “memenuhi janji” kepada Partai Golkar di satu sisi dan memenuhi hati nurani pribadi, para warga NU-PKB “harus” mengambil sikap bercabang seperti diuraikan di atas. Sudah tentu hal itu harus didasarkan pada keikhlasan penuh kita terhadap NU-PKB pada saat ini. Terserah kepada “kehendak Tuhan” untuk memenangkan pihak yang mana dalam Pemilu 5 Juli 2004 yang akan datang. Hanya NU-PKB yang dewasa seperti ini, akan mampu memimpin bangsa dan negara secara demokratis dalam jangka panjang.

Hal ini juga penulis kemukakan kepada berbagai pihak: Pak Luhut sendiri, Ibu Dr. Marwah Daud Ibrahim “sebagai” calon wapres dari Partai Golkar, berdampingan dengan penulis sebagai calon presiden, yang akhirnya dinyatakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tidak memenuhi syarat menjadi pasangan calon dengan melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU Nomor 23 tahun 1992 dan UU Nomor 4 tahun 1997, yang dilakukan dengan cara-cara yang sangat arogan (sangat sombong).

Kita serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk membuat keputusan dalam hal ini, melalui “suara rakyat”. Inilah arti sebenarnya dari keyakinan kita akan kebenaran ucapan Allah: “Sesungguhnya Ia berkuasa atas segala sesuatu” (Innahu ‘ala kullisyai’in qodir). Tiap hari berulang-ulang kita ucapkan, sekaranglah warga NU-PKB melaksanakan dalam kenyataan.

Memang pendapat seperti itu, yaitu mengakui perbedaan pandangan di kalangan kita tanpa kita sendiri menjadi terpecah belah olehnya, memerlukan kedewasaan pandangan kita semua dan keikhlasan penuh kepada keputusan Allah SWT yang “disalurkan” melalui pilihan rakyat dalam Pemilu yang akan datang. Masalahnya terkait kepada keikhlasan sikap kita sendiri kepada Allah. Di sinilah kita melihat kemampuan menyatakan dua pandangan berbeda, tidak dalam kerangka pertentangan justru saling mendukung. Jika kita bersikap ikhlas kepada semua pihak dalam proses pemilu memilih calon presiden-wakil presiden, berarti dalam kerangka menyerahkan keputusannya kepada para pemilih, kita akan benar-benar berpandangan ikhlas dan bersikap adil.

Keadilan ini sangat penting, karena kitab suci Al-Qur’an menyatakan: “Wahai orang-orang beriman, tegakkanlah keadilan dan jadilah saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri (Ya ayyuha al-ladzina amanu qunu quwaminna bi al-qisthi syuhada al lillah walau anfusikum). Ini untuk melengkapi firman Allah di bagian lain dari kitab suci tersebut: “Sesungguhnya telah Kuciptakan kalian sebagai lelaki dan perempuan dan Kujadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa untuk saling mengenal “(Inna khalaqnakum min dzakin wa ja’alnakum min syu’uban wa qa ba’illa lita ‘arafu), yang dilengkapi oleh ucapan lain: “Berpeganglah kalian kepada tali Allah secara keseluruhan dan jangan terpecah belah“ (Wa’tashimu bi habli Allah jami’an wa’lla tafarraqu).

Di sinilah ternyata sikap hidup demokratis memang dimiliki oleh Islam, dan kita harus percaya penuh kepada ajaran-ajarannya. Masalahnya adalah bagaimana kita menemukan nilai-nilai tersebut, padahal Al-Qur’an juga memuat hal-hal lain yang terasa “bertentangan” dengan hal itu. Di sinilah berlaku adagium yang harus kita pegangi sejak dahulu: Islam mengembangkan prinsip-prinsip kehidupan yang tidak berubah-ubah sepanjang zaman. Masalah-masalah rincian tertentu tergantung kepada penafsiran yang selalu berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat (Yashluhu qullazamanin wamakanin). Inilah keyakinan yang membuat agama terakhir itu dapat bertahan sepanjang zaman, serta sesuai dengan “kebutuhan” daerah dan manusia yang saling berbeda. Inti inilah yang benar-benar harus diikuti oleh warga NU-PKB.

Bagaimana “menerjemahkan” prinsip-prinsip yang ada dalam kitab suci Al-Qur’an tersebut dalam kenyataan hidup, adalah “seni berpolitik” tersendiri yang harus diaplikasikan/diterapkan oleh para warga NU-PKB. Di sinilah arti sebenarnya dari adagium (maqolah) “Politic is the art of the possible”. Karena itulah, di bagian lain dari tulisan ini penulis menyatakan warga NU-PKB harus bersikap dewasa, dan tidak emosional. Dengan menyatakan hal itu, penulis bermaksud menampilkan Islam dalam kedewasaan pandangan yang serba bulat dan diuraikan dalam nilai-nilai tertentu dan harus ditinjau secara bulat. Islam sebenarnya memang indah untuk diikuti, jika kita mengerti ajaran-ajarannya.

Dengan mengesampingkan kepentingan-kepentingan mereka sendiri, para warga NU-PKB jelas tidak usah terpengaruh oleh pandangan-pandangan lain yang pada umumnya hanya bersifat sesisi saja. Sikap inilah yang disebut sebagai watak menyantuni (toleransi) yang dimiliki Islam, dan karena itu harus kita ikuti. Pandangan emosional yang hanya bertumpu pada satu sisi saja, sebenarnya bukanlah pandangan Islam. Di banyak bagian dari kehidupan, memang Islam bersesuaikan dengan bentuk lahir dari akal (rasio); tetapi dalam hal-hal tertentu, Islam tidak hanya tunduk kepada “dalil-dalil akal” saja, tetapi juga harus menyeimbangkannya dengan ketentuan-ketentuan Illahi (dalil-dalil naqli/tekstual) yang dimuat sebagai firman Allah dalam kitab suci-Nya dan melalui ucapan-ucapan Nabi. Karena tidak ada ketentuan-ketentuan mengenai hal itu, maka mudah saja sikap itu dinyatakan namun sulit untuk dilaksanakan, bukan?