Dialog Tantangan Kepemimpinan Islam 4: Prospek di Masa Depan

Sumbe Foto: https://www.eastasiaforum.org/2018/12/12/curbing-radical-sermons-in-indonesia/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Berhasil mengantarkan umat ke era kemajuan emansipasi, namun menghadapi begitu banyak kemelut dalam berbagai aspek kehidupannya. Begitulah gambaran kepemimpinan umat Islam dewasa ini. Itu pernyataan sederhana, yang dalam dirinya mengandung kompleksitas sangat tinggi dari sebuah pola kehidupan. Akan tetapi, yang lebih penting adalah mempertanyakan, dapatkah momentum kemajuan dan emansipasi itu diupayakan tetap berlanjut, bahkan berkembang lagi?

Pertanyaan tersebut membawa ke pertanyaan lebih lanjut, yakni apakah unsur-unsur momentum kemajuan dan emansipasi yang telah dicapai selama ini? Masih dapatkah unsur-unsur itu dipertahankan pada masa datang, bahkan kalau perlu “dikembangbiakkan” lebih jauh dengan unsur-unsur baru yang akan membawa lebih banyak kemajuan dan emansipasi di segala bidang kehidupan? Lalu, apakah peranan kepemimpinan umat Islam dalam situasi seperti yang digambarkan ini?

Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan mudah saja: momentum kemajuan dan emansipasi telah begitu jauh bergerak dengan kekuatan sendiri sehingga tidak lalu dapat dihentikan. Gagasan kemajuan telah menjadi milik umat secara keseluruhan. Bahkan, di kalangan para mubalig yang paling anti-Barat dan antimodernitas sekalipun, gagasan kemajuan diterima sebagai “fitrah Islam.” Bahwa pesan kemajuan itu lalu disimpangkan menjadi sikap mencurigai segala sesuatu yang datang dari luar, itu adalah soal yang berbeda sama sekali. Bahwa para mubalig lalu mengeluhkan “gempuran pikiran” (ghazwah al-fikr) dari “Barat”, itu adalah soal lain. Bahkan itu menunjukkan betapa kuatnya ajakan kemajuan dirasakan daya tariknya oleh umat. Kalau orang memerangi ekses-ekses kemajuan, itu disebabkan mereka tidak mampu membendung pengaruh kemajuan itu sendiri.

Demikian pula, gagasan emansipasi telah menjalar. Mereka yang takut, pemalu, lalu menyerang ekses-eksesnya. Sepandai-pandai wanita jangan sampai lupa fitrah keibuan dan kewanitaannya. Harus menjadi ibu yang baik dan pendamping baik bagi suami. Seruan semacam itu pada hakikatnya adalah pengakuan dan kemustahilan upaya membendung emansipasi wanita. Kalau tidak terbendung gagasan pokoknya, biarlah emansipasi berlaku hanya secara terbatas belaka, jangan meluas dan mengikis habis dominasi pria atas jalannya kehidupan di segala bidang.

Jelaslah dengan demikian bahwa penerimaan setengah-setengah adalah tanda dari kegagalan “pertahanan total” atas gempuran kemajuan dan emansipasi. Sebuah proses yang sekaligus juga menampilkan vitalitas (daya hidup) kaum Muslim secara keseluruhan, termasuk mereka yang menentang itu. Vitalitas itu merupakan kekuatan yang mendorong muculnya momentum kemajuan dan emansipasi itu.

Berangkat dari pengandaian di atas, dapatlah dimuat hipotesis yang rasanya tidak akan terlalu menyimpang dari kenyataan: “Umat Islam di negeri kita mampu mengembangkan diri dengan baik, apa pun corak perkembangan yang berlangsung.” Hipotesis kedua yang dapat dibuat adalah “Perkembangan umat Islam akan tetap berada dalam lingkup heterogenitas sangat tinggi, kalau bukannya lebih tinggi lagi” Hipotesis ketiga adalah “Keharusan menerima kesenjangan berpikir dan keragaman pandangan sebagai sesuatu yang baik dan diperlukan karena hanya dengan cara itulah kemajuan dan emansipasi dapat dicapai.”

Rangkaian hipotesis tersebut menunjukkan bahwa pola kepemimpinan umat yang hanya bercorak seperti itu akan mematikan momentum kemajuan dan emansipasi yang telah dicapai saat ini. Dengan ungkapan lain, menjadi penting arti pengakuan akan keabsahan perbedaan sikap dan pandangan di kalangan umat. Tidak lagi harus disayangkan langkahnya, seorang pemimpin besar yang akan menjadi “anutan umat Islam”. “Polusi tokoh” di kalangan kaum Muslim, meminjam istilah Emha Ainun Najib, bukanlah sesuatu yang secara mutlak harus ditangisi, melainkan harus disyukuri. Paceklik pemimpin bukanlah sesuatu yang harus disesali, melainkan justru digunakan untuk membina kemajemukan yang kreatif di kalangan umat Islam.

Tentu, cuma berpikir seperti ini terasa sangat aneh di tengah-tengah jeritan akan perlunya kepemimpinan yang akan mewakili umat keseluruhan. Di sinilah mungkin terletak hikmah dari uraian Nabi Muhammad Saw. “Là rahbàniyyah fi al-Islàm” (tidak ada sistem kependetaan dalam Islam). Tidak adanya lembaga seperti imam, mufti seluruh umat, ataupun qàdhi akbar adalah keberkahan yang dinikmati umat Islam di negeri kita, bukannya disesali.

Kelanjutan dari pandangan seperti ini adalah “kewajiban” menolak birokratisasi kehidupan beragama di Indonesia. Pengaturan oleh siapa pun, baik oleh pemerintah maupun oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam, haruslah dibatasi sampai ke batas minimal yang dirasa perlu. Standardisasi dan pembakuan cara kerja hanyalah sepanjang diperlukan untuk kepentingan administratif yang “biasa-biasa” saja dan untuk menjaga kualitas pendidikan, pengajaran, dan pemikiran yang serbateratur dan sistematik belaka.

Dengan demikian, tidak ada ukuran tunggal bagi pola pemikiran, sikap, dan pandangan umat. Setiap pernyataan untuk mewakili “kepentingan umat” harus diperlakukan dengan hati-hati, siapa pun yang mengembangkannya. Tidak ada yang dapat berfungsi sebagai pemimpin seluruh umat, dan dengan sendirinya batal setiap pengakuan seperti itu.

Semangat oikumenis (pengakuan kebersamaan) haruslah melandasi kehidupan umat di negara kita. Semangat itu tidak memperkenankan “pengadilan” secara sepihak atas paham-paham yang berkembang. Masyarakatlah yang memiliki sendiri paham mana yang akan diikuti orang atau akan tidak. Betapa salah dan sesatnya sebuah pendapat, ia berhak digelar di hadapan khalayak, bukan dihardik dan dituduh sebagai “proyek luar” untuk menghancurkan Islam, seperti yang terjadi beberapa tahun silam atas diri Nurcholish Madjid dengan gagasan “Islam universal”-nya dan Harun Nasution dengan paham kebebasan berkehendak dan berbuat (freewill) yang dilontarkannya melalui “pengurangan” rukun iman menjadi lima. Bukan karena kedua pendapat itu benar, sesuatu yang masih harus dibuktikan lebih jauh lagi, melainkan karena umat berhak mengetahui keduanya.

Keteguhan sikap untuk mengembangkan kehidupan umat sebagai oikumene, kebersamaan komunitas mungkin adalah kerangka paling tepat bagi ajakan Al-Quran kepada ummatan wasathà, umat yang (berdiri) sama tengah. Konsep ummatan wàhidah, kesatuan umat, haruslah diletakkan dalam kerangka kebersamaan oikumenis itu, kalau konsep Islam tentang “manusia-manusia bebas” (ahràr) ingin diwujudkan dalam kenyataan hidup. Setiap kecenderungan regimentatif dan keinginan melakukan uniformisasi pola kehidupan umat harus dilawan sekuat-kuatnya, apa pun alasannya. Kenyataan akan masih meluasnya kecenderungan dan upaya tersebut secara luas terbukti dari penolakan pihak Departemen Agama atas keinginan H.B. Jassin melakukan puitisi teks mushaf Al-Quran. Kalau masih dibiarkan berlangsungnya “lembaga rekomendasi”, haruslah dijaga ia tidak membunuh kreativitas kaum Muslim, selama tidak nyata-nyata bertentangan dengan akidah keyakinan teologis Islam sendiri. Kalau tidak dapat dilakukan hal itu, “lembaga rekomendasi” itu sendiri harus dihapuskan. Semua dengan prinsip yang diberlakukan pada pengadilan dan lembaga “penilai” tindakan sikap dan ucapan orang.

Hanya dengan kebebasan dan kreativitas individual pada tingkat tinggi, wawasan kemajuan dan emansipasi akan menghasilkan pemekaran cakrawala lebih luas yang diperlukan untuk melakukan transformasi kehidupan masyarakat secara berarti. Tanpa transformasi dalam kehidupan secara keseluruhan, bangsa kita tidak akan mampu mengejar ketertinggalan dalam persaingan dengan bangsa-bangsa lain dan mayoritas penduduknya yang bergama Islam dapat mencapai tingkat hidup (living standard) yang layak.

Dengan demikian, kepemimpinan umat yang dibutuhkan pada masa depan adalah yang mampu melakukan transformasi sosio-politik, sosio-ekonomi, dan sosial budaya pada intensitas cukup yang tinggi sehingga perubahan kualitatif yang terjadi dalam kehidupan warga masyarakat secara individual dapat menjadi pengembangan yang berdaya-dorong sendiri (self-propelling development). Kepemimpinan umat seperti itu, rasanya, tidak akan tercapai kalau hanya mengandalkan pola yang ada selama ini, yang mengalami kemelut kultural begitu besar, tidak jelas posisi struktural dan kacau-balau pengorganisasiannya.

Benarkah ini berarti prospek kepemimpinan umat Islam tidak menampakkan gambaran yang menggembirakan pada masa depan? Rasanya belum tentu demikian sebab pergantian para pemimpin umat dalam jutaan akan terjadi sehingga akan muncul jenis-jenis dan kompetensi teknis baru dalam kepemimpinan yang akan muncul. Optimisme yang tidak usah berlebihan (limited optimism) tentang akan tercapainya pola-pola kepemimpinan baru bagi umat Islam merupakan sesuatu yang layak diperhatikan sebab jenis transformasi kehidupan masyarakat yang akan dihasilkan akan sangat bergantung pada perubahan kualitatif kepemimpinan umat yang akan muncul itu. Semakin tinggi derajat perubahan kualitatif dalam kepemimpinan umat Islam akan semakin “menggigit” transformasi sosial yang dihasilkan.

Patutlah rasanya diberikan harapan yang wajar dan hati-hati pada kepemimpinan umat Islam, walaupun harapan itu janganlah terlalu besar terkandung dalam hati kita. Hal seperti itu hanya akan mengakibatkan kekecewaan belaka apabila tidak terpenuhi secara tuntas pada masa depan. Harapan hati-hati dalam ukuran wajar akan menimbulkan kepercayaan diri yang diperlukan umat Islam di negeri kita saat ini sebab di balik segala macam klaim berlebihan yang ditampilkan kepemimpinan umat saat ini sebenarnya tersembunyi berkembangnya proses berkurangnya kepercayaan diri (decreasing self-confidence) dalam kejiwaan umat.

Optimisme dan harapan akan perbaikan tentu akan membawakan kemantapan kepercayaan diri umat, dan dari kepercayaan diri umat yang mantap akan lahir kepemimpinan yang lebih baik. Pada gilirannya, kepemimpinan umat yang secara kualitatif lebih baik akan membawakan transformasi kehidupan umat. Pola perkembangan (dan pengembangan) hidup berwatak kemajuan dan emansipasi akan menggelinding dalam eskalasi yang semakin harmonis antara kepemimpinan umat dan perubahan kehidupan umatnya.

Cukup menarik untuk dicermati, bukan?