Dinamisasi atau Modernisasi Pesantren

Sumber Foto: https://www.walisongo.co/pesantren-dan-kebebasan-berpendapat-dalam-ruang-digital/walisongo-cogmail-com/71/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dua tahun yang lalu (1977, ed.), Menteri Agama (waktu itu, ed.) Prof. A Mukti Ali mencetuskan gagasan modernisasi pesantren. Karena pengaruhnya yang besar di pedesaan, pesantren harus dapat mengikuti derap langkah modernisasi kehidupan bangsa kita secara keseluruhan. Modernisasi pesantren hendak dicapai dengan melalui sebuah program pendidikan ketrampilan. Program yang oleh kolumnis H. Mahbub Djunaidi dinamai “modnisasi via binatang”, ini pada dasarnya adalah sebuah program pendidikan yang menempatkan ketrampilan dalam susunan sebuah sistim pendidikan yang komprehensif.

Sudah cukup banyak bantuan diberikan oleh berbagai pihak untuk mensukseskan program ini, terutama oleh mass media. Coverage sangat luas yang diberikan oleh pers atas gagasan tersebut, sebenarnya adalah indikasi akan besarnya prestise yang dimiliki oleh menteri A.Mukti Ali sebagai seorang “newcomer” waktu itu. Praktis pribadi inilah yang menciptakan penerimaan gagasan tersebut di kalangan mass media, bukannya karena penelitian pers sendiri secara mendalam atas baik buruknya program tersebut. Tidak heranlah jika kemudian pemberitaan pers itu hanya berumur pendek, walaupun cukup ramai pada permulaannya.

Kini telah tiba saatnya kita untuk mempertanyakan dalam hati masing-masing: sampai dimanakah kelancaran pelaksanaan pendidikan ketrampilan itu di pesantren, yang telah begitu hebat dielu-elukan oleh mass media sewaktu dicetuskan? Kalau pelaksanaannya tidak lancar, apakah sebab-sebabnya, dimanakah “bottlenecks“nya? Dalam keadaan demikian apakah usaha yang harus dilakukan untuk mengatasinya?

“Blitzkrieg”

Jikalau kita harus memberikan penilaian, haruslah diakui bahwa pelaksanaan program tersebut tidak berlangsung secara menggembirakan. Pendidikan ketrampilan, secara umum, belum lagi berjalan di pesantren, apalagi untuk dinamai berjalan lancar. Optimisme semula, rupanya didasarkan adanya “indikator penerimaan” yang tidak mencerminkan kenyataan riil di kalangan pesantren. “Blitzkreig” menteri A Mukti Ali ternyata tidak berhasil menembus benteng isolasi pesantren, yang telah begitu kokoh berdiri semenjak berabad-abad. Serangan susulan dalam bentuk Musyawarah Koperasi Pondok Pesantren di Jombang beberapa bulan yang lalu, hanya menghasilkan tawa manis, anggukan kepala dan penerimaan di bibir belaka. Kenyataan pahit ini harus diterima dengan dada terbuka, sebelum kita dapat menentukan diagnose yang tepat bagi problem itu beserta therapinya sekali.

Sebab terpokok, sepanjang yang dapat dirasakan oleh penulis, terletak pada kesalahan strategi dasar yang ditempuh. Tercetusnya gagasan “modernisasi” itu sendiri merupakan suatu kesalahan pokok. Walau bagaimana juapun gagasan modernisasi ini hendak dibungkus dengan ungkapan-ungkapan yang indah dan puitis, ia tidaklah lebih hanya merupakan gagasan yang asing bagi kehidupan sosio-kultural di pesantren.

Jika sebuah gagasan dirasakan asing oleh obyek yang akan digarap oleh gagasan itu sendiri, sudah wajarlah jika terjadi penolakan atasnya. Demikian pula halnya dengan pesantren, yang menolaknya dengan tidak banyak bicara. Bagi pesantren modernisasi tidak lain hanyalah sebuah proses untuk menghilangkan identitas kulturiknya sendiri. Dengan kata lain, ia adalah proses degenerasi nilai-nilai kehidupan yang selama ini dianut oleh pesantren.

Jikalau ada juga pesantren yang menerima gagasan tersebut, maka pesantren itu pada dasarnya telah mencapai kehidupan sosio-kulturil yang ingin dicapai oleh menteri A.Mukti Ali. Karena searus dalam pemikirannya, komunikasi antara keduapihak dapat langsung tercipta dengan cepatnya. Hanya saja, patut diketahui, pesantren yang sedemikian ini baru mencapai jumlah belasan saja, dari jumlah puluhan ribu yang tersebar di seluruh penjuru tanah air kita.

Telah kita ketahui, bahwa konsep modernisasi itu sendiri adalah justeru sebab utama bagi kegagalan proyek pendidikan ketrampilan di pesantren. Sebab-sebab lain, terutama yang bersifat teknis, hanyalah merupakan sebab sampingan belaka.

Jangan “Invasi”

Apakah pemecahan yang dapat ditempuh untuk mengatasi kegagalan itu? Yang utama, menurut pandangan penulis, adalah merubah konsep dasar yang digunakan. Jika modernisasi berarti membawa nilai-nilai baru (yang dianggap sebagai invasi kulturil) guna mengganti nilai-nilai “lama” yang telah ada di pesantren, jelas approach semacam ini tidak dapat lagi dipergunakan. Karenanya, ia harus diganti dengan approach lain.

Konsep penggantinya, menurut anggapan penulis, yang ideal adalah konsep untuk mendinamisir kehidupan pesantren. Strategi dinamisasi yang harus ditempuh adalah menghidupkan kembali nilai-nilai positif yang telah ada di pesantren, kemudian mengadaptasikannya kepada orientasi pembangunan. Yang berlaku di sini adalah proses dinamisasi pesantren, sesuai kehendak hati pesantren sendiri. Dari pada mendidik seorang santri (siswa pesantren) untuk menjadi petani yang trampil, adalah lebih sesuai dengan kebutuhan sang santri untuk memanfaatkan dirinya dalam profesi kesantriannya yang semula.

Profesi tersebut terutama adalah yang berupa menjadi ahli agama, katakanlah juru penerang agama di masyarakat desanya. Memang, profesi ini kedengarannya tidak produktif, bahkan dapat dinilai sebagai profesi yang bersifat parasit. Tetapi profesi semacam ini akan memberikan dorongan kuat (impetus) bagi dinamisasi kehidupan pedesaan, jika sang juru penerang bisa dibuat mengerti akan kebutuhan desanya sendiri akan pembangunan. Untuk itu, ia harus dididik untuk beradaptasi pada program umum penyuluhan masyarakat dalam era pembangunan ini. Dari pada pelopor ketrampilan an sich, adalah lebih mudah baginya untuk menunjang tujuan ketrampilan itu dengan profesinya sendiri.

Walaupun bersifat supplementer, bahkan tidak orisinil, fungsi dari profesi santri sebagai penunjang program pembangunan akan menghasilkan pengaruh sangat besar bagi program itu sendiri di masyarakat pedesaan. Prestise yang dimiliki oleh pesantren, jika diarahkan pada fungsi penunjang pembangunan, akan lebih dari cukup untuk menjamin suasana gandrung pembangunan di pedesaan.

Di dalam mengemukakan gagasan dinamisasi nilai-nilai yang telah ada di pesantren ini, penulis merasa yakin pihak yang berwenang dapat menyusun sendiri perincian pelaksanaannya. Karenanya, kiranya perlulah perincian pelaksanaan itu diperbincangkan lebih lanjut di sini.