Gagalkah Para Pemimpin Islam?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

SEORANG tokoh yang dikenal sebagai ‘pemimpin Islam’, apa pun yang dimaksud dengan istilah tersebut, memberikan sebuah wawancara tentang prestasi yang dicapai para pemimpin Islam selama ini. Secara mudahnya dapat dikemukakan di sini, bahwa ia menilai para pemimpin itu telah gagal in toto (secara keseluruhan), walaupun satu dua ada yang berhasil.

Tentunya ucapan di atas bukan sebuah claim kosong, karena ia dikeluarkan seorang ‘pemimpin ummat’ yang memiliki status nasional, dan bahkan sewaktu menyatakan kesimpulan tersebut disebut-sebut sebagai salah seorang calon kuat untuk jabatan Menteri Agama hasil SU-MPR 1983. Juga kita tidak usah terlalu jauh bertanya-tanya tentang alasan yang mendorongnya mengucapkan hal itu, walaupun boleh memperkirakan motifnya. Keadaan ummat Islam yang begitu tidak jelas maju atau mundurnya, bersatu atau tidaknya, dan masih utuh dalam wujud atau terkeping-keping identitas dirinya, cukup untuk mendorong kita membenarkan kesimpulan ‘sang pemimpin’ di atas.

Bahwa gerakan Islam di Indonesia tetap belum berhasil menampilkan citra manunggal, sehingga oleh pihak Kopkamtib dianggap perlu memiliki ‘pola pembinaan internal’ guna pelayanan rasional atasnya, memperkuat konstatasi di atas. Juga pengamatan atas kegiatan sektoral yang dilakukan menghasilkan kesan yang sama. Di sektor pendidikan, ummat Islam masih harus bergulat dengan masalah-masalah dasar yang belum memungkinkannya mengembangkan potensi secara penuh. Bahkan lebih jauh lagi, di sub-sektor pendidikan modern (seperti pendidikan teknologi tinggi di bidang komputer dan elektronik) jauh tertinggal dari saingan-saingannya. Di sektor ekonomi, ‘kelas’ saudagar muslim yang menjadi penunjang gerakan Islam, hampir habis tergulung oleh ‘kelas-kelas’ lain yang lebih kreatif, lebih banyak memiliki ketrampilan dan yang didukung oleh sarana perkreditan sangat kuat. Di sektor politik, gerakan Islam tinggal termangu-mangu mengenang kejayaan masa lampau, di tengah-tengah puing kehancuran yang sebagian dibuatnya sendiri. Dan begitulah seterusnya.

Semua itu mau tidak mau membawakan semacam keadaan kacau-balau yang membuat perasaan gundah, kalau memang masih ada rasa simpati kepada gerakan Islam itu. Kalau rasa itu sudah hilang dan keterlibatan kepadanya telah dirasa sebagai sebuah kebosanan, masalahnya menjadi lain. Kiprah untuk agama bisa dilakukan di mana saja, kata-kata seperti ‘ummat’, ‘perjuangan’ dan ‘keikhlasan’ diberi arti baru. Optimisme baru akan muncul lagi, melalui seperangkat pranata perjuangan non-formal’ akan dilakukan kiprah mencapai cita-cita bersama semula, yang sering dirumuskan sebagai ‘izzul Islam wal muslimin‘, kejayaan Islam dan kaum muslimin?

Namun, tertegun juga kita dibuat oleh prospek di atas. Masakan begitu mudah perjuangan harus di-vonnis ‘selesai satu babak dan masuk babak lain’? Haruskah kita kubur perjuangan atas nama ummat Islam, hanya karena keadaan kita masih kemelut seperti sekarang ini? Layakkah kita ‘berganti haluan’ dalam orientasi perjuangan, dari sesuatu yang eksklusif ‘perjuangan Islam’ menjadi perjuangan nasional belaka?

Pertanyaan-pertanyaan di atas dengan sendirinya menajamkan pengamatan kita atas kemungkinan berlanjutnya perjuangan Islam sebagaimana yang kita kenal selama ini, dan dengan sendirinya juga atas persyaratan yang harus dipenuhi untuk meneruskan perjuangan seperti itu. Kalau persyaratan utamanya sudah diketahui, dengan mudah pula kita akan dapat mengukur keberhasilan atau kegagalan para pemimpin Islam selama ini.

Penulis berpendapat, bahwa inti perjuangan Islam sebagaimana yang kita kenal selama ini masih diperlukan di masa datang. Sebuah perjuangan yang berusaha memelihara dan mengembangkan pola hidup yang benar-benar bernafaskan Islam bukan hanya masih layak üntuk masa depan, melainkan justeru menjadi kebutuhan, jika kehidupan bangsa diinginkan dapat mencapai taraf tinggi tetapi dengan tidak terputus dari akar-akar sejarah dan budayanya sendiri. Identitas Islam harus mewarnai kehidupan bangsa ini di masa depan, betapa modern dan tidak theokratiknya sekalipun struktúr kenegaraan yang dimilikinya, kalau dunginkan lndonesia dapat memberikan sumbangan berarti kepada kemanusiaan secara kongkrit dan tuntas. Kehidupan berbangsa yang diwarnai oleh Islam, yang harus dijaga agar tidak berwatak eksklusivistik terhadap peranan pihak-pihak dan faham-faham lain, justeru sangat diperlukan untuk melestarikan Pancasila sebagai ideologi negara.

Kalau benar perkiraan di atas, dengan sendirinya muncul keharusan untuk menyimak dimiliki atau tidaknya persyaratan untuk itu oleh ummat Islam dewasa ini. Sepanjang pengamatan penulis, ummat Islam memiliki modal dasar yang diperlukan, yaitu kesadaran semakin luas akan perlunya ajaran Islam dijalankan secara penuh dan tuntas. Dengan ungkapan lain, kesadaran bahwa sebuah masyarakat ‘berwarna Islam, lagi-lagi dengan tidak merugikan faham dan pihak lain, baru akan terwujud, kalau para warganya secara individu bersedia menempuh cara hidup seorang muslim yang baik dan taat kepada perintah agama. Dari gugusan individu-individu seperti itulah baru masyarakat dapat memperoleh “warna” Islam, tanpa harus berkonfrontasi dengan faham dan pihak lain. Ummat Islam tidak mencari pengakuan formal secara de jure bagi aspirasi mereka, melainkan mengusahakan kenyataan kongkritnya semaksimal mungkin ‘dari bawah’.

Tercapainya kesadaran itu, yang diamati oleh penulis semakin hari semakin meluas jangkauannya di kalangan kaum muslimin, tentu tidak terjadi, kalau tidak ada pihak yang mengusahakan. Di sinilah letak penting dan sangat strategis dari kebijaksanaan ‘pengislaman dari bawah yang dianut oleh sejumlah pemimpin Islam yang belum/tidak lagi tergoda oleh ambisi politis bagi pribadi masing-masing. Mereka akhirnya mencapai kedudukan negarawan (statesmen) dalam arti menjadi sesepuh bangsa, dalam hal ini sesepuh ummat Islam. Dengan wibawa moral mereka, angkatan-angkatan yang lebih muda melakukan kegiatan tak terputus-putus untuk menawarkan Islam sebagai jalan hidup. Memang tidak sama corak jalan hidup yang ditawarkan masing-masing, namun kesemuanya ditujukan kepada penegakan Islam sebagai kekuatan yang akan ‘mewarnai’ kehidupan bangsa secara lebih tuntas di masa depan.

Jika demikian kenyataannya, tentu tidak dapat lagi dipertahankan pendapat bahwa para pemimpin Islam telah gagal in toto. Mereka justeru telah berhasil, tidak hanya mempertahankan inti kekuatan ummat Islam, yaitu kesadaran akan pentingnya Islam sebagai jalan hidup, melainkan justeru mengembangkan kekuatan inti secara terus-menerus dan tidak mengenal lelah. Merekalah yang sebenarnya lebih berhasil dari para pemimpin yang menyusun strategi muluk-muluk untuk menguasai negara dan pemerintahan dari dalam’ atau sementara pemimpin muda yang hanya menekankan pentingnya merebut kedudukan dalam birokrasi pemerintahan.

Orang seperti para sesepuh organisasi-organisasi Islam yang masih tekun mendidik generasi yang lebih muda dan menjadikan diri sebagai teladan pengabdian dan keikhlasan kepada perjuangan adalah para pemimpin sebenarnya ummat Islam saat ini, bukannya yang secara formal mewakili ‘ummat dalam percaturan pemerintahan. Baik di tingkat lokal, provinsial maupun nasional, kita jumpai para pemimpin yang menekuni bidang da’wah, pendidikan dan kebudayaan dalam kerangka ‘pengislaman dari bawah’ tersebut. Secara kolektif, mereka merupakan kekuatan yang tangguh, yang mampu mengarahkan jalannya kehidupan ummat kepada sebuah titik kulminasi kultural yang tuntas di masa depan, di mana Islam memainkan peranan yang benar-benar menjadi tuntutan sejarah bangsa.

Dilihat dari jenis kegiatan, mereka meliputi spektrum yang sangat lebar, dari intelektual kota hingga ke’kiyai kampung semacam K. As’ad di Asembagus. Dilihat dari strata kegiatan, sama juga luas liputannya, dari M. Natsir di tingkat internasional hingga K. Abdullah Syafi’i di dunia Betawi’. Dilihat dari pola berpikirnya, berjenis-jenis pula manusianya, dari yang tradisional dan supertradisional hingga yang modern dan ultra-modern. Kekurangan dan kebalauan di medan perjuangan sekarang tidak sedikit pun mengurangi keberhasilan mereka dalam membina ummat dari sudut kerangka perjuangan yang memang sesuai sepenuhnya dengan keadaan yang berkembang di tanah air dalam tiga dasawarsa terakhir ini.

Sebagai kesimpulan, konsekuensi logis dari kenyataan akan keberhasilan fundamental tersebut adalah keharusan meneruskan strategi perjuangan yang dijalani sekarang, sampai ada kebutuhan hakiki untuk mengubahnya. Setiap upaya untuk mengubah pola ‘pengislaman dari bawah itu hanya akan menghasilkan relativisasi peranan Islam dalam kehidupan bangsa kita di masa depan, selama tidak dituntut oleh sebuah kebutuhan nyata untuk itu. Kita justeru menghindarkan diri dari kecenderungan (yang untungnya masih kecil) untuk mengambil pola perjuangan lain yang belum teruji keabsahannya, hanya karena kekurangan dan kebalauan medan laga yang ada sekarang. Pernyataan bahwa para pemimpin Islam selama ini telah gagal memimpin ummat adalah sebagian dari kecenderungan mencari alternatif perjuangan ini. Patutkah pernyataan seperti itu di ulang-ulang lagi, padahal ia jauh dari kenyataan?