Gelandangan: Tinjauan dari Pandangan Islam
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pada umumnya diakui, bahwa ‘jawaban Islam’ terhadap masalah gelandangan masih terbatas pada pendekatan karitatif (santunan) belaka, seperti terbukti dari masih besarnya ‘budaya bersedekah’ yang dilakukan secara individual kepada para pengemis di pinggir jalan dan ‘menyedekahkan’ pelataran toko atau rumah sebagai tempat berteduh bagi para gelandangan. Sudah tentu ini tidak memadai bagi besarnya persoalan yang dihadapi dan kompleksitas persoalannya. Jawaban yang diberikan oleh kaum muslimin, atas nama agama mereka, ternyata berwatak tidak berkecukupan (inadequate). Setidak-tidaknya inilah pendapat yang seringkali diterima kalangan pemikir muslim dan aktivis yang berkiprah dalam kehidupan masyarakat.
Persepsi tentang tidak berkecukupannya jawaban Islam sepanjang dilaksanakan kaum muslimin itu sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan. Persoalan utama yang dihadapi sekarang bukanlah ketidakcukupannya jawaban, melainkan salahnya kerangka yang dipergunakan untuk menyusun jawaban itu sendiri. Dengan rumusan lain, masalahnya bukanlah ‘sudahkah Islam memberikan jawaban’, melainkan ‘mampukah Islam memberikan jawaban dalam kerangka keagamaannya sekarang?’ Atau lebih jauh lagi, layakkah Islam memberikan jawaban kepada masalah gelandangan, kalau ia sendiri kini justeru menjadi salah satu penyebabnya?’
Perumusan masalah seperti itu tidaklah muncul dari sikap meremehkan kepada Islam sebagai agama, atau sebagai penolakan terhadap kebesaran dan kebenaran Islam sebagai sebuah jalan hidup. Justeru rasa keterlibatan kepada Islam-lah yang mendorong adanya pengamatan tersebut, rasa keterlibatan yang memunculkan kejujuran sikap untuk melihat masalah gelandangan secara apa adanya, dan dari kenyataan telanjang itu untuk merumuskan jawaban yang bersifat adil terhadap Islam sendiri sebuah agama besar dengan pengikut ratusan juta jiwa. Sikap untuk menghindar dari pemeriksaan mikroskopis hanyalah akan berkesudahan pada idealisasi Islam sebagai jawaban atas segala persoalan tanpa dapat meyakinkan siapa pun akan kebenaran claim itu sendiri.
Apa yang dituduhkan’ kepada Islam dalam keadaannya kini sebagai salah satu penyebab gelandangan itu, dapat dirumuskan sebagai berikut: Islam sendiri pada dasarnya telah meletakkan sendi-sendi sebuah masyarakat yang adil dan berasaskan persamaan sosial-ekonomis, namun dalam perkembangan sejarahnya ia kehilangan orientasi egalitarian semua itu. Terputusnya sendi-sendi kemasyarakatan adil dan asas persamaan itu karena terjadinya penyimpangan yang fundamental dalam sendi-sendi theologis/aqidahnya sendiri, sebagaimana disaksikan oleh sejarah.
Penyimpangan fundamental itu terjadi ketika konsensus umat menetapkan sendi-sendi keimanan yang berwatak eskatologis bagi seorang muslim, dikenal dengan nama Rukun Iman. Sendi-sendi serba eskatologis itu sama sekali tidak memasukkan dalam dirinya dimensi-dimensi kemasyarakatan, setidak-tidaknya sebagaimana dipahami oleh konsensus umat. Dengan sendirinya, sendi-sendi liturgis-ritualistisnya, yang memiliki dimensi kemasyarakatan begitu penuh –dikenal dengan nama Rukun Islam– tidak memperoleh legitimasi penuh untuk merumuskan jawaban-jawaban imani terhadap aktualitas kehidupan masyarakat, Contoh klasik dari ‘kesenjangan’ antara sendi-sendi keimanan dan sendi-sendi liturgis ini dapat ditemukan dalam kasus keabsahan imam pemimpin sembahyang: muslim manapun diperkenankan melaksanakan fungsi tersebut, berapa munafik sekalipun ia dalam kehidupan sehari-hari, selama ia menjaga urut-urutan sembahyang itu bagian demi bagian. Dalam kasus tersebut, peribadatan dipisahkan dari moralitas aktual yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, refleksi imani seorang muslim dilepaskan dari kenyataan hidup. Tidak heranlah jika theolog muslim begitu sibuk dengan rumusan-rumusan keimanan yang sangat abstrak, seperti hubungan antara esensi (dzat) Allah dan atribut-atribut yang dilekatkan al-Qur’an atas dzat-Nya itu. Sebagai akibat, pranata hukum agama, yang seharusnya membentuk kehidupan lewat penataan bangunan masyarakat melalui hukum, tidak dapat dihindarkan lagi, lalu menjadi sangat tergantung kepada kemauan dan ketundukan individual kaum muslimin. Terlepas dari upaya kodifikasi hukum agama dalam tata hukum beberapa masyarakat Islam, seperti kompedium Mejellet di masa pemerintahan dinasti Ottoman di Turki, secara keseluruhan Hukum Islam justeru memperlihatkan wajah ‘non-struktural’. Raja-raja lalim memerintah atas nama Islam, kaum yuris muslim gagal menegakkan bangunan hukum yang mampu melakukan koreksi secara kongkrit (bukannya hanya kerangka ideal belaka, melainkan juga kerangka operasionalnya). Tidak heranlah jika perlawanan terhadap penindasan, ketidakadilan dan ketimpangan sosial sering muncul dari lingkungan kaum sufi, umumnya dalam gerakan-gerakan messianistis-millenarianistis.
Memang, dalam masa sekitar satu abad terakhir ini telah muncul pemikiran untuk menyusun kerangka yang efektif bagi penegakan keadilan sosial di kalangan bangsa-bangsa muslim. Tetapi, bagaimanapun juga upaya tersebut tidak memberi hasil yang memuaskan, karena rujukan berupa sendi-sendi keimanan mereka tetap tidak memiliki dimensi kemasyarakatan yang seharusnya memberikan legitimasi penuh kepada upaya yang dilakukan itu. ‘Bahasa agama’ yang dianut kaum muslimin tetap saja hanya menyediakan kerangka karitatif belaka bagi upaya penanganan masalah-masalah kemasyarakatan yang gawat, seperti problim gelandangan. Bukti dari tetapnya ‘bahasa agama’ dalam masalah-masalah kemasyarakatan itu adalah masih saja berlakunya ‘keadilan hukum agama’ yang bersangkut dengan pelestarian dan legitimasi bagi praktek poligami/poligini. Betapapun lantangnya diteriakkan persamaan hak antara pria dan wanita dalam Islam, hal itu tidak dapat diterima oleh rasio selama wanita masih boleh diperisteri secara poligamis.
Dalam masalah-masalah sosial-ekonomis memang terasa kuat keinginan untuk menata kembali pemikiran dan ‘bahasa agama’ Islam, karena besarnya tantangan dari ideologi-ideologi sekuler seperti Marxisme dan Kapitalisme terhadap keahsahan agama, tidak terkecuali Islam, sebagai pengatur kehidupan masyarakat. Claim akan watak egalitarian masyarakat yang dicita-citakan Islam dirasakan menjadi terancam oleh bangunan sosial-ekonomi yang diacukan oleh ideologi-ideologi tersebut. Keinginan untuk ‘mempertahankan kebenaran Islam’ mengambil bentuk perumusan bangunan sosial-ekonomis yang dirumuskan sebagai ‘kesempurnaan Islam’, seperti penolakan terhadap bunga uang sebagai alat eksploitasi kaum modal, larangan penimbunan barang sebagai bukti dari penolakan Islam atas monopoli sumber-sumber produksi, dan seterusnya. Gagasan (notions) itu lalu dianggap sebagai sendi-sendi sebuah tatanan sosial-ekonomis yang adil dan benar-benar dapat menciptakan kesejahteraan. Utopia yang berakhir pada nama-nama seperti Sosialisme Islam, Sistem Ekonomi Islam dan Konsep Kemasyarakatan Islam.
Betapa mulianya sekalipun gagasan-gagasan tersebut, tidak lain hanyalah akan menjadi pajangan intelektualistis belaka, selama beberapa pertanyaan dasar belum menemukan jawaban yang memuaskan: mampukah kaum muslimin merumuskan kembali sendi-sendi keimanan mereka untuk memberikan legitimasi keagamaan yang penuh kepada keadilan sosial dalam artian yang struktural?, adakah kesediaan mereka untuk menerima konsekuensi terjauh dari perubahan mendasar dalam orientasi kehidupan mereka itu (termasuk penghancuran elite-keagamaan yang berwatak kolaboratif dalam hubungannya dengan super-struktur lain)?; dapatkah diterima perubahan mendasar dalam tatanan moralitas masyarakat?
Kalau kecenderungan utopis telah dapat dihilangkan dan para pemikir serta agamawan muslim telah merasakan perlunya penanganan masalah-masalah kemasyarakatan secara lebih tuntas dari hanya sekedar upaya karitatif selama ini, dengan sendirinya akan muncul kebutuhan akan paradigma-paradigma baru untuk memungkinkan perumusan jawaban-jawaban teoritis yang baru pula. Penyusunan paradigma-paradigma baru itu dapat dilakukan dengan peminjaman dari ideologi-ideologi lain, seperti dilakukan oleh ‘Sosialisme Islam’ (seperti kata eksploitasi/istighlal, keadilan sosial/al-‘adalah al-ijtima’iyah dan persamaan hak/musawah). Tetapi, seperti dikemukakan di atas, cara ini tidak dapat memecahkan masalah legitimasi keagamaan atas gagasan yang dikandung oleh paradigma-paradigma baru itu.
Jelaslah dengan demikian, bahwa upaya merumuskan ‘jawaban Islam’ itu harus bermula dari hal-hal esensial, seperti perumusan kembali kedudukan manusia dalam kosmologi Islam (termasuk wewenangnya untuk menetapkan sendiri hubungannya dengan manusia lain, baik yang seagama maupun tidak). Umpamanya saja, firman Allah “dan telah Kubagi-bagikan di antara mereka bagian masing-masing dalam hidup dunia dan Ku-tinggikan sebagian atas sebagian (yang lain)” haruslah dikaji mengandung arti menindas dan eksploitatif atau malah sebaliknya. Begitu pula, kecenderungan prederminatif dari firman Allah itu memiliki arti struktural ataukah hanya bersifat eskatologis belaka.
Kerangka kesejarahan yang baru harus pula ditegakkan. Apa yang oleh sementara pemikir muslim dianggap sebagai keterputusan orientasi dalam ajaran Islam, haruslah dibenahi kembali. Orientasi zakat semula adalah bersifat populistis (pertanian adalah profesi kaum elite di zaman Nabi di Madinah, karena itu dibebani zakat, sangat besar, antara 5-10 persen hasil panen netto). Tetapi dengan terjadinya pauperasi kehidupan para petani, di mana mayoritas mereka adalah petani miskin dan gurem, tentu tidak dapat dibiarkan zakat dalam ukuran yang sama berlanjut lebih lama lagi. Masih banyak lagi masalah-masalah ‘kecil’ yang memerlukan penyelesaian ‘theologis’ sebelum paradigma-paradigma baru dalam pandangan kemasyarakatan Islam dapat dibuat dan dikembangkan.
Salah satu dari paradigma yang harus ‘dibenahi’ adalah pandangan tentang ketaatan beragama, terutama bagi orang miskin. Terlebih khusus lagi bagi kaum gelandangan, yang dipaksa oleh keadaan untuk menumbuhkan ‘moralitas’ dan pola kehidupan tersendiri, yang seringkali bertentangan dengan ajaran formal Islam. Dapatkah diterima kehadiran mereka sebagai ‘muslim penuh’ dalam keadaan subsisten segala-galanya itu, sehingga mereka pun berhak merumuskan sendiri ‘pola keberagamaan’ mereka sendiri? Atau haruskah mereka diberi kedudukan sub-struktural di tangan para agamawan, yang bagaimanapun juga merupakan elite tersendiri, walaupun berfungsi elite-tandingan (counter elite). Kalau benar demikian, dimanakah letak asas persamaan yang didengung-dengungkan itu?
Kaum gelandangan, sebagai sekelompok marginal yang terlempar dari jalur kehidupan masyarakat, telah menumbuhkan budaya mereka sendiri, yang menjadi bagian dari apa yang disebut ‘budaya miskin’ (poverty culture). Bagaimanakah sikap ‘Islam’ (yang sebenarnya lebih merupakan elite muslim) terhadap budaya seperti itu, yang seringkali dirasa menyimpang unsur-unsurnya dari ajaran formal Islam? Adakah kesediaan untuk menerima penyimpangan itu sebagai akibat wajar dari keterbatasan yang menjadi watak utama keadaan hidup serba miskin?
Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, menjadi jelaslah bahwa masih jauh langkah yang harus diambil, sebelum Islam dapat merumuskan jawaban’nya sendiri atas masalah kaum gelandangan. Jawaban itu membutuhkan perubahan mendasar dalam susunan ajaran dan pandangan Islam sendiri, sebagaimana telah dirumuskan dan diterima sebagai ‘kebenaran’ selama berabad-abad. Masih menjadi pertanyaan besar, bersediakah kaum muslimin, khususnya/terutama pemuka-pemuka agama dan pemikirnya, menerima persyaratan ini, sebelum melanjutkan langkah yang mulia tetapi penuh ranjau dalam penanganan masalah gelandangan?