Gus Dur, Islam, dan Demokrasi (Wawancara)

Sumber Foto: https://www.idntimes.com/opinion/social/muhammad-fajar-5/tentang-demokrasi-dan-konsekuensinya-c1c2

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Ucapannya tentang kesiapan golongan Islam untuk demokrasi di Australia sungguh mengagetkan. Ia bicara soal pimpinan nasional.

BUKAN Abdurrahman Wahid kalau tak bikin kejutan. Gus Dur, kita panggil saja dia begini, acap tampil dengan ide-ide yang orisinil. Ia juga konsisten mempertahankannya walau ditentang banyak pihak. Misalnya penggantian assslamualaikum dengan “selamat pagi”, memasyarakatkan BPR dengan bunga umum di NU.

Setelah ketemu para pemimpin Syiah di Iran bulan lalu, pekan silam ia menjadi primadona dalam seminar tentang Contemporary Trends in Indonesian Islam di Universitas Monash, Australia. Banyak ahli mengenai Indonesia, termasuk Herbert Feith, Mitsuo Nakamura, Martin van Bruinessen, dan Richard Tenter. “Saya sampai diwawancara pers sana lima kali sehari,” kata Ketua Umum PBNU ini.

Yang menjadi kejutan adalah pernyataannya di ceramah umum seusai seminar itu, tentang “Islam di bawah Orde Baru”. Gus Dur mempertanyakan kesiapan umat Islam untuk demokratis — termasuk dalam proses kemungkinan kepala negara boleh dari kalangan non-muslim. “Masalahnya tinggal apakah orang Islam sudah siap untuk demokrasi,” begitu tanyanya.

Berikut penuturan Ketua Pokja Forum Demokrasi ini kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO, yang mewawancarainya di sarang Forum Demokrasi, diteruskan di rumahnya, di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamis dan Jumat pekan lalu.

Apakah Anda melihat ketidaksiapan orang Islam dalam berdemokrasi?

Apa orang Islam sudah siap untuk demokrasi? Demokrasi itu menghendaki adanya kesanggupan untuk melihat masyarakat secara keseluruhan. Sementara golongan Islam ini hanya berpikir untuk dirinya. Ini satu kelemahan. Kelemahan lain, apakah golongan Islam itu sudah punya kemampuan untuk give and take yang serius. Demokrasi itu isinya memberi dan menerima. Nggak ada orang memaksa orang lain menanggalkan keyakinan agamanya dalam demokrasi. Tapi bahwa masyarakat juga memberikan tempat kepada pemikiran yang bukan agama itu juga nggak bisa dihindari. Memang begitulah demokrasi.

Jadi, Anda menilai umat Islam belum siap berdemokrasi?

Tergantung yang Anda sebut umat itu siapa. Kalau umat itu adalah para pemimpin Islam sekarang, memang belum. Tapi kalau yang dinamakan dengan tradisinya, saya rasa nggak ada masalah. Kaum muslimin di Indonesia, sebagai rakyat beragama Islam, saya rasa sama, sudah matang, dan sudah waktunya. Mereka sudah lama menuntut. Mulai dari kemerdekaan dulu. Para pemimpin itu tak bisa menangkapnya. Mereka itu membuat isu-isu yang sebetulnya sempit terus, nggak melebarkan wawasan kaum muslimin.

Kalau begitu, bagaimana Anda memandang demokrasi dalam konteks politik?

Demokrasi itu sistem politik yang memungkinkan orang untuk melakukan dialog politik yang benar, dan memproses pengambilan keputusan itu secara demokratis, secara aspirasi rakyat yang diangkat secara matang. Bukan asal orang banyak. Ada sendi-sendi demokrasi yang tak bisa ditawar. Misalnya kebebasan dan persamaan perlakuan di hadapan undang-undang.

Kalau ini nggak ada, ya, bukan demokrasi namanya, apa pun embel-embelnya. Taruhlah demokrasi Islam. Ukuranya sama saja. Mau demokrasi Islam atau demokrasi rakyat yang komunis, demokrasi liberal atau Pancasila. Apakah minoritas dihargai pendapatnya, didengar, dan dilakukan dialog yang jujur bagi kepentingan bersama?

Bagaimana Anda melihat hubungan mayoritas-minoritas dalam proses demokratisasi ini?

Sangat terkait. Minoritas harus dilindungi, kalau itu demokrasi. Bukannya disalahkan, dijadikan kambing hitam. Kayak sekarang ini, kan minoritas Cina, minoritas Kristen dikambinghitamkan. Masih begitu, kok ya, mau bilang demokrasi.

Sejauh mana perkembangan Islam di Indonesia dalam konteks demokrasi ini?

Pertumbuhan Islam kini menuju kepada, paling tidak — untuk sementara kalangan — sudah menjadi sektarian. Menjadi suatu yang membenarkan diri sendiri saja dan menyalahkan orang lain. Kalau eksklusif kan menyalahkan orang lain, hanya mementingkan kepentingan sendiri. Sektarian, dia sendiri benar, yang lain salah. Isu macam pri-nonpri, Kristenisasi, sebenarnya muncul dari sektarianisme.

Lantas, bagaimana perkembangan pluralisme di Indonesia?

Pluralisme terjaga kalau ada demokrasi Kita kaya dan kuat karena menjaga jiwa pluralistik. Sampai di mana bisa berjalan tergantung dua pihak besar golongan Islam dan ABRI. Sejauh mana batas budaya demokratisası, keduanya yang menentukan. Saya melihat banyak kemajuan yang dicapai.

Tapi juga bahaya mundurnya demokrasi masih ada. Bisa maju sepuluh langkah, mundur dua belas langkah, malah lebih konyol. Itu yang membahayakan. Bisa datang dari golongan Islam yang terlalu banyak tuntutannya yang eksklusif.

Contoh tuntutan formal umat Islam untuk memasang simbol Islam dalam kehidupan bernegara?

Contohnya peradilan agama, pelajaran bahasa Arab di TV. Apa sih artinya itu? Semua kan tahu, wong bahasa Inggris saja nggak ada artinya. Apalagi Arab.

Islam mayoritas. Tentunya wajar kalau presidennya dari umat Islam. Bukankah ini sejalan dengan demokrasi?

Iya, kalau proses itu sudah berjalan lalu prinsipnya diterima bahwa boleh ada presiden yang tak beragama Islam. Sebenarnya, belum tentu akan terlaksana kan? Di Amerika saja, setiap orang boleh menjadi presiden, secara prinsip dan menurut undang-undang Karena itu, banyak calon orang item. Tapi apakah akan menang? Perasaan saya nggak, sepanjang kulit putih masih banyak yang pintar. Tapi sejak semula ada kesepakatan bahwa “boleh”.

Yang penting, membicarakan dulu harus boleh. Membicarakan saja sekarang nggak bisa, dimarahi kanan kırı, cari perkara Sikap demokratis itu tak ada larangan untuk menyatakan pendirian kita. Tak ada larangan untuk membicarakan kepentingan mayoritas. Sebaliknya juga jangan dilarang orang membicarakan kepentingan minoritas. Mereka juga ingin sama-sama punya hak atas negara pada kedudukan dan derajat yang sama.

Kalau boleh presiden dari non-Islam, implikasinya sejauh mana?

Jauh, dong. Kalau bangsa ini, mayoritas, memperkenankan prinsip boleh orang non-muslim menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan, itu kan menjadikan orang minoritas merasa sederajad. Perkara bahwa ada di antara mereka terpilih, itu sebenarnya bukan soal. Karena tak semua paham. Kan masih ada orang Islam yang pantas, ya tentunya pilih Islam. Tapi hak mereka untuk dianggap sama itu kan ada.