Garapan NU Setelah Muktamar

Sumber Foto: https://jatim.nu.or.id/rehat/penerimaan-pancasila-pada-munas-alim-ulama-1983-di-situbondo-Vsd9B

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Muktamar NU ke-27 diadakan dengan latar belakang yang sangat rapuh. Yaitu latar belakang kenegaraan dewasa ini. Disatu pihak, pemerintah — dalam hal ini generasi angkatan 45 yang berada dalam pemerintahan bertekad untuk memantapkan Negara Kesatuan Indonesia melalui serangkaian produk perundang-undangan.

Bagi mereka hal ini merupakan suatu yang sangat mendasar. Siapa tidak mau tahu, dianggap tidak mau tahu adanya negara ini. Ini pokok yang pertama.

Kedua, saat ini sedang diadakan penataan mendasar dalam segala bidang. Ini disebabkan, dalam masa kira-kira 15 hingga 20 tahun mendatang, akan terjadi perubahan besar dalam masyarakat. Sebabnya karena adanya rekayasa the engineering di masa sekarang. Ini berarti, hubungan kerja akan semakin saklek, formal, dan semakin berdasarkan ketentuan rasio. Tidak seperti sekarang.

Dan ini akan mempunyai akibat dalam tata pergaulan antar golongan di masyarakat. Berarti penataan tersebut mempunyai dampak yang luas. Sedang NU harus berbicara, memikirkan, dan berusaha terhadap kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi di saat itu.

Pertanyaan yang mesti dijawab: Bolehkah kita membiarkan keluarga sebagai inti kecil kehidupan masyarakat – akan menjadi hancur? Masih perlukah ideologi di pertahankan? Bolehkah kita membiarkan orang mengejar kehidupan tanpa ideologi?

Jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas menyangkut permasalahan yang sungguh rumit.

Di samping itu — saat ini — kebetulan sedang terjadi restrukturisasi (penyusunan kembali) perekonomian bangsa kita. Yaitu kita akan memasuki era industrialisasi. Suatu masa di mana industri akan berkembang secara besar-besaran.

Untuk sekarang saja bisa kita lihat di daerah pinggiran kota Surabaya sudah banyak perubahan, apalagi kalau industrialisasi itu sudah masuk ke desa-desa. Ini suatu masalah yang sangat penting. Sebab masa penciptaan industrialisasi adalah suatu masa paling genting bagi kehidupan suatu bangsa.

Di negeri kita — dalam hal ini — terdapat suatu masalah, kita dulunya mengharapkan harga minyak yang tinggi, tapi kita menghadapi kenyataan bahwa harga minyak tidak bisa menopang proses industrialisasi itu. Sebagai gantinya kita harus menggalakkan ekspor nonmigas dan mengerahkan pendapatan dari dalam negeri.

Lagi, biaya ekonomi di Indonesia sangat mahal. Itu menyebabkan produksi Indonesia tidak kompesitif, atau tidak bisa bersaing di luar negeri.

Hanya satu-dua saja sektor industri yang bisa bertahan, seperti pakaian jadi. Tapi pasarannya sangat sempit di negara-negara lain, karena hampir semua negara berkembang juga berbuat seperti Indonesia.

Walhasil keadaannya memang memprihatinkan pemerintah. Di satu pihak dibutuhkan industrialisasi dengan modal besar-besaran, di pihak lain penghasilan pemerintah berkurang. Ini tecermin pada APBN tahun ini, anggaran pembangunannya lebih kecil 10 triliyun dari anggaran rutin.

Lantas ke mana larinya dana itu semuanya? Saya sering ngobrol-ngobrol begini: Orang Islam pergi haji itu per tahunnya menghabiskan uang ± $2.4 miliar. Itu sama dengan jumlah uang yang kita terima sebagai pinjaman dari IGGI. Itu hanya untuk membayar ongkos naik haji, padahal orang yang pergi haji bukan berarti uangnya habis. Bahkan kekayaan yang ditinggalkan jauh lebih besar dari yang dipakai pergi haji. Atau modalnya jauh lebih besar. Ini dibuktikan, bahwa orang yang naik haji tidak akan sampai menjual rumah tempat tinggal, umpama.

Ini baru yang naik haji. Lainnya lagi. Untuk acara muludan, rajaban. Dan lain-lain kalau ditaksir tiap tahun menghabiskan 15-20 juta dolar.

Itu menunjukkan, ummar Islam saja punya modal. Jika masalahnya, karena tidak mampu memobilisir, bukan karena tidak ada dana. Tapi betul juga, masalahnya melihat pola konsumsinya. Kita lihat bangsa kita ini dalam bidang konsumsi jauh lebih besar dari produksinya.

Satu contoh, apa yang tidak ada di Indonesia. Kita tidak bisa mendapatkan di Jakarta mobil BMW 721 yang harga belinya 140 juta rupiah.

Satu contoh kecil ini membuktikan kemampuan dana bangsa kita tidak digunakan untuk yang produktif.

Ini contoh kecil, bahwa semua masalah itu ada kaitannya. Dan ternyata pemerintah menyadari. Menurut Pak Murdiono, Menteri Muda Sekretaris Kabinet, susahnya bangsa kita; pemerintah tidak mampu memobilisir dana sedang masyarakat tidak tahu untuk apa kalau dana sudah dimobilisir. Kiai dapat memobilisirnya tapi tidak tahu untuk apa uang dikumpulkan kecuali untuk urusan masjid dan madrasah saja. Di sini tidak ada difertifikasi (tanawwuh).

Dalam suasana semacam ini, antara pemerintah dan pimpinan masyarakat tidak sejalan dalam penanggulangan masalah ekonomi, kita bermuktamar.

KENAPA HARUS ASAS TUNGGAL

Mengapa pemerintah berprinsip bahwa asas tunggal dijadikan ukuran pokok (sehingga kita boleh bermuktamar)? Masalahnya sederhana, pemerintah ingin kokohnya negara kesatuan Republik Indonesia ini. Artinya negaranya tegak, pemerintahan kuat, dan tidak banyak terguncang-guncang lagi.

Bahkan diusahakan terus ada perbaikan, masyarakatnya mempunyai pengertian untuk mendukung program pembangunan nasional meskipun dukungan seminimal mungkin. Itu semua bisa terjamin — menurut keyakinan pemerintah — bila asas tunggal diterima.

Sebab alternatif –menurut mereka– bila asas tunggal tidak diterima, Indonesia harus diperintah dengan tangan besi. Hal semacam itu membuktikan tidak adanya pengertian dari masyarakat. Padahal bentuk negara ini harus begini, tidak bisa lain, karena hal itu sudah ditetapkan sampai Pelita VI.

Yakin sudah dibuat serba pragmatis ekonomi, politik, dan lain-lain dalam rangka mencari paham yang praktis-praktis. Untuk membangun yang paling enak mendapat dana dari modal asing. Dana dalam negeri, karena yang punya orang Cina, ya bolehlah. Perkara akibat nanti dulu.

Pemerintah menyadari bahwa mungkin saja terdapat kesalahan dalam melaksanakan pembangunan, tapi harus jalan terus. Besok kalau negara sudah kuat, kesalahan itu diperbaiki.

Sesungguhnya pragmatisme tak akan bisa berumur panjang. Ini disadari. Toh umurnya hanya akan berjangka 25 sampai 30 tahun saja. Masa yang kita kenal dengan akselarasi modenisasi 25 tahun itu.

Nah, di sini sesungguhnya kita berada dalam situasi ‘perpindahan’ dari era tradisional (masyarakat agraris) menuju masyarakat industri penuh.

Berhadapan dengan semua inilah, segenap organisasi masyarakat dituntut –bagaimana caranya– menyatakan kesetiaannya kepada Pancasila. Orang lain menempuh cara bermacam-macam, tapi NU memilih jalan penegasan Islam tidak ada masalah dengan Pancasila. Jadi Pancasila aksep tabel bagi Islam. Pagarnya ‘asal tidak melanggar akidah Islam’.

Apa yang dirumuskan oleh NU dalam muktamar itu adalah hasil dialog dengan pemerintah selama 18 bulan. Terutama menyangkut rumusan: bolehkah NU menggunakan akidah Islam sebagai landasan keimanan, dan Pancasila sebagai asas organisasi. Dan hasilnya seperti yang dirumuskan Munas 1983 dan Muktamar akhir tahun lalu.

Yang dipersoalkan adalah bagian rumusan “Pancasila merupakan upaya umat Islam untuk mengamalkan syariat agama”. Kalau tidak demikian bukankah keharusan negara memakai imam, waliyul amri, khalifah, dan apa saja itu ditetapkan oleh syariat. “Kalau tidak boleh memakai syariat ya tidak usah memakai Pancasila”. Dan seperti kita tahu akhirnya hal ini disepakati.

Dalam suasana semacam ini lalu kita membuat rumusan dalam mukadimah Anggaran Dasar. Sila pertama diartikan sebagai keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dan yang kedua, di samping ada pasal asas masih ada pasal akidah.

Ada masalah-masalah lain lagi yang menjadi persoalan di latar belakang muktamar itu. Umpama tentang rumusan: NU itu organisasi keagamaan yang bergerak di bidang kemasyarakatan atau organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang keagamaan?

Rumusan pertama ditolak karena sebelumnya DGI sudah menyatakan bahwa DGI yang kemudian mengubah nama PGI itu menyatakan ia bukan ormas tapi organisasi keagamaan. Dengan begitu dia tidak terkena wajib asas tunggal.

Itulah latar belakang diputuskannya berbagai pasal dalam muktamar. Jadi hanya asas saja.

ANCAMAN PANCASILA

Yang tersebut di atas perlu kita mengerti secara persis. Sehingga dalam menata organisasi selanjutnya harus tetap mempertimbangkan hal-hal di atas. Sebab pemerintah sangat risau dengan Islam model keras. Ini disebabkan sekarang yang bisa mendongkel Pancasila tinggal Islam saja. PKI sudah tidak ada.

Islam gaya keras itu merupakan ancaman kelestarian Pancasila baik Jahran au maktuman, ghairu mubasyiroh atau mubasyiroh. Lainnya tak mungkin lagi. Agama lain jumlahnya kecil, kelompok politik nonIslam semua masuk Golkar, dan yang tertinggal sedikit bagian minta sawab saja.

Karena itu kepada NU –terus terang– diminta agar tidak usah berurusan dengan P3 lagi. P3 sebagai partai Islam harus diakhiri. Itulah sebabnya ketika Naro masih ngotot memperjuangkan, tanda gambar Ka’bah, dia sudah dinilai gagal membawa P3 seperti yang dikehendaki pemerintah.

Selama ini kita bersikap mendua. Di satu pihak ghandholi P3 (yang berarti saingan pemerintah), di lain pihak ingin agar madrasah lancar dan dakwah tidak dipersukar. Maunya kita ini mendapat hasil sebesar-besarnya tanpa membayar apa-apa. Ini tidak realis. Itulah sebabnya kita meninjau kembali hubungan kita dengan P3.

Kalau begitu ke mana aspirasi Islam? Sekarang berjuang nonpolitis. Dakwah. ini yang mengislamkan, perlu diketahui, sebenarnya di negara kita ini sedang terjadi proses Islamisasi besar-besaran.

Membuat Indonesia menjadi negara muslim adalah tindakan politik tidak melalui partai politik. Dan ini yang sedang kita usahakan sekarang, sebetulnya. Indonesia bukan negara Islam, cukup negara muslim. Ini adalah puncak dari segala tujuan.

Siapa yang menyangka kalau Bapak Suparjo Rustam (Menteri Dalam Negeri, red) itu murid Thariqah? Saya bisa menunjuk nama kiainya dan alamatnya sekali. Siapa yang mengira bahwa Suwarjono Suryaningrat (Biro Pusat Statistik) menjadi imam masdjid di kantornya? Beliau punya mobil sekian biji, dikawal ke sana ke mari.

Mbok yang begini ini yang digarap agar lebih muslim. Dan ini adalah tindakan politik tanpa melalui partai politik.

Daripada repot-repot memperjuangkan undang-undang di DPR tidak berhasil, minta subsidi melalui DPR tidak berhasil. Lebih penting lagi, bagaimana caranya putra-putra kiai dan santri ini dapat masuk ke eselon pemerintahan sehingga mereka menjadi eksekutif.

Jadi, marilah kita pahami latar belakang ini. NU ingin menjadi kekuatan yang besar. Tidak resmi menjadi kekuatan politik, tetapi mempunyai pengaruh besar terhadap proses politik. Karena itu NU jangan dipersempit hanya di P3 saja. P3 tetap ada. Itu haknya untuk hidup, dan bagi warga NU adalah haknya untuk nyoblos tanda gambar itu dalam pemilu. Bagi yang mau silakan.

Saya ditanya seorang wartawan, kalau nanti NU memungkinkan apa menjadi partai politik lagi. Saya jawab “Tidak”. Kalau membuat yang lain terserah, tapi NU harus tetap begini. Dan kalau nantinya NU membuat partai jangan diberi nama NU.

Kita sebagai warga NU boleh berpolitik, tapi NU-nya jangan. Mengapa? Untuk mengamankan proses islamisasi yang sedang melanda bangsa kita secara besar-besaran ini.

Yang kedua, bagaimana implikasi hasil muktamar ini dibelakang hari. Untuk itu setelah muktamar harus ada pembagian kerja.

Kita selenggarakan dalam beberapa tahapan atau beberapa bidang garapan:

Pertama, bersifat inovatif. Memperbarui dan menyegarkan kembali. Kita perlu pembaruan dan penyegaran cara berpikir. Dan itu tidak bisa lain kecuali dengan mengembangkan ketenagaan. Sebab yang kita punya sekarang ini orang-orang sejenis Pak Azis Masyhuri atau Kiai Adlan. Kalau beliau diajak bicara soal manajemen yang inggihinggih, tapi tidak ada kelanjutannya. Memang para kiai itu bidangnya lain.

Atas dasar inilah diambil inisiatif, mengembangkan ketenagaan dengan rencana 15 sampai 20 ribu orang dalam jangka lima tahun yang akan datang. Kita mengadakan latihan antara 80 latihan tiap tahun. Yang dilatih warga kita yang masih muda agar menjadi tenaga pengelola, penggerak, menjadi tenaga administratur, dan menjadi apa sajalah di berbagai bidang kehidupan.

Siapa yang mengadakan? Sekarang ini ada kelompok di luar yang melakukannya, anak-anak kita terlibat. Putra seorang musytasar NU. Pak Munasir, bernama Rozi Munir, adalah Ketua Persatuan Ahli Demografi Indonesia. Ini, orang NU belum pernah mendengar. Bahkan istilah demografi itu saja belum tahu.

Munir berfungsi sebagai orang luar, tidak sebagai orang NU. Yang kita harap bagaimana bisa tumbuh Rozi-Rozi baru. Untuk itu kita menciptakan lembaganya yang bisa menampung mereka.

Kedua, penciptaan solidaritas. Adanya kesatuan antara umat Islam. Ini sangat penting. Sekarang ini antara orang NU dan dengan orang Islam lain mengarah saling menuding tidak karuan. Saling menskors tidak habis-habisnya, apakah cara demikian akan kita teruskan? Kalau demikian terus akan habis orang NU nanti.

Pak Sowam (dulu salah satu pimpinan Wilayah NU Jawa Tengah) yang menjadi Golkar, ketika wafat, jangankan orang NU mau takziyah, membacakan Fatihah saja tidak mau. Padahal dia maata musliman wamaata nahdhiyyan. Kurang dua minggu sebelum meninggal dia masih menangis sebagai orang Nadhiyyin, dia ketemu saya. Saudara Thohir Wijaya -Ketua DPP MDI-mengatakan: Saya NU, dan NU saya, saya bawa mati.

Solidaritas meliputi mereka ini harus dikembangkan, dan mereka harus dihargai keislamannya. Belum yang lainnya, seperti Muhammadiyah, SI dan lain-lainnya. Walaupun omongannya bagaimana, harus kita hargai. Mungkin para kiai sepuh yang harus memulai.

Saya bangga kalau kiai Ahmad Siddiq mulai akan mengadakan dialog nasional dengan Muhammadiyah, itu baik. Yang membedakan NU dan Muhammadiyah adalah banyak, tapi masih lebih banyak yang mempersatukan kita.

Kalau kita tidak melihat yang mempersatukan, yang tampak hanya yang pecah-pecah saja. Dan kepercayaan akan imamah Nahdhan, Muhammadiyah, dan S1 akan hilang.

Dan kalau begitu akan menyuburkan gerakan-gerakan sempalan. Sekarang ini orang yang hanya bisa membuat dua buah ayat dari gerakan saja sudah mendapat pengikut beribu-ribu. Menanggulanginya adalah penciptaan, solidaritas, sehingga umat tidak kehilangan imamah.

Ketiga, pemekaran kegiatan NU dalam kehidupan nasional. Ini saja, orang NU akhirnya harus melakukan peran ganda. Saya kalau keluar berbicara, bukan hanya mikir NU, tetapi memikir Indonesia-nya. Umpamanya masalah integrasi nasional, ngomong apa itu. Hal itu sangat penting untuk konsumsi luar.

Masalah integrasi sangat penting karena di situ jaminan negara ini. Kalau berbicara NU komitmen kepada integrasi nasional, artinya kita berbicara dengan orang luar; “Jangan khawatir, Indonesia akan tetap tegak”.

Dari tiga aspek tadi, aspek pertama penyegaran pemikiran, berhubungan dengan orang-orang yang akan mengadakan penyegaran, yang mungkin kita tidak setuju rumusannya. Tapi semangatnya kita setujui. Jangan heran kalau nanti orang NU banyak bekerja sama dengan orang macam-macam (bukan NU, red).

Biarkan saja mereka. Memang itu hanya untuk menyertai semangat penyegaran. Umat Islam saat ini memang perlu penyegaran setelah sekian lama kita mandek tidak berpikir. Sebabnya karena kita ikut arus politik terlalu jauh, kita menjadi gerak reflek, tidak berpikir lagi. Sedikit-sedikit menjadi musuh. Sekarang tidak.

Bagian kedua solidaritas. Untuk ini kita harus mau memperkuat dan mendukkung Majlis Ulama. Dan mengirimkan tenaga-tenaga yang mampu ke sana. Dan masih banyak lagi yang harus kita kerjakan.

Yang ketiga harus mampu mengembangkan peran NU dalam kehidupan nasional. Ini penting dan merupakan implikasi atau atsar dari keputusan muktamar. Yang ini masih akan dikembangkan oleh Bapak Hasyim Latif.