Kata Pengantar Buku: Memahami Hakikat Hukum Islam (Studi Masalah Kontroversial)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Sebagai “agama masyarakat”, Islam dikenal merupakan jalan hidup yang sangat normatif. Norma-norma abadi yang dimilikinya tersembul keluar sebagai rangkaian peraturan, yang disebut hukum, diambilkan dari kata bahasa Arab al-hukm (bentuk ganda al-ahkam). Ada kalanya peraturan-peraturan itu berkembang menjadi hukum formal berbentuk undang-undang, dan bentuk inilah yang dalam bahasa kita dikenal dengan sebutan hukum. Pengertian tersebut dalam bahasa Arab dimiliki oleh kata qanun. Perundang-undangan dalam bentuk formal ini masuk ke dalam kategori “undang-undang manusiawi”, dalam bahasa Arab qanun wad’i.
Berhadapan dengan “undang-undang manusiawi” itu terdapat peraturan formal yang tidak diundangkan, melainkan sebagai peraturan baku yang diakui sebagai “undang-undang Tuhan”, dalam bahasa Arab disebut qanun ilahi, yang bersifat permanen dan tidak dapat diubah lagi, seperti keharusan shalat, puasa dan zakat. Diundangkan oleh negara atau tidak, ia harus ditegakkan sebagai sesuatu yang berwatak “buatan Tuhan” (wadh’un ilahiyyun). Sedapat mungkin, “undang-undang Tuhan” itu harus diundangkan secara resmi oleh negara. Upaya membuat legislasi seperti itu disebut tasyri’. Anehnya, produk yang disebut syari’ah ternyata bukan hanya hasil upaya tersebut, melainkan keseluruhan pembakuan “undang-undang Tuhan” itu, baik yang menjadi undang-undang negara maupun aturan-aturan formal yang berada di luar “undang-undang negara”.
Sebuah contoh dapat dikemukakan di sini, yaitu Undang-undang Perkawinan kita (UU No. 1 tahun 1974). Dalam “hukum” sebagai peraturan, ia semula tampak melalui perdebatan para ulama tanpa kesudahan dalam “kitab-kitab kuning”, dan ia dikenal dengan nama fiqh. Dari gugusan pendapat demikian beragam, lalu ditarik sejumlah ketentuan baku, yang disebut syari’ah. Sebutan itu tetap terpakai, ketika ia diundangkan dalam hukum nasional, menjadi UU No. 1 tahun 1974. Upaya membakukan dan kemudian mengundangkannya disebut proses tasyri’.
Keseluruhan upaya kaum Muslimin untuk mewujudkan rangkaian peraturan yang memiliki dimensi keagamaan itu merupakan cerita yang sangat menarik untuk ditelusuri. Seluruh harapan tercurah pada keberhasilan upaya itu, namun kenyataan tragisnya justru membawakan kepedihan hati mereka manakala harus menelan kegagalan. Tragedi pertama muncul ketika kaum Muslimin di abad pertama hijri harus bertempur dan pecah berkeping-keping, ketika ada kelompok yang ingin memaksakan “tatanan Tuhan” mengikuti ketentuan ideal tentang bentuk pemerintahan seperti dalam al-Qur’an dan al- Hadis, antara mereka yang menginginkan pemerintahan demokratis yang dipilih dan mereka yang mempertahankan kekhalifahan monarkis. Bukan hanya perpecahan antara dua pandangan, melainkan tiap pandangan harus terpecah lagi, seperti kaum monarkis yang terpecah dalam dua alur besar Sunni dan Syi’ah. Tidak cukup demikian, yang Syi’ah terbelah lagi menjadi empat cabang, masing-masing sekte otonom dan independen dari yang lainnya (Imamiyyah, Isma’iliyyah, Zaidiyyah dan Ghulat). Itu pun masih terkeping lagi, seperti Isma’iliyyah yang menjadi sekian macam subsekte (termasuk subsektenya Aga Khan).
Di pihak lain, reaksi terhadap upaya yang terlalu mementingkan sisi hukum itu muncul juga, dalam bentuk penampilan aliran Sufi yang berbentuk sekian macam tarekat. Imam memerlukan kedalaman rasa dalam mengembangkan hubungan dengan Allah, kedalaman yang tidak mungkin akan tercapai dengan penerapan hukum semata, yang hanya menyentuh dimensi lahir atau fisis dari perbuatan manusia belaka. Dimensi batin atau intensitas psikis dalam hubungan manusia dengan Tuhan tidak akan tertangkap sepenuhnya oleh hukum, melainkan oleh tasawuf. Kalau hanya berhenti pada perbedaan tekanan antara yang batin dan yang lahir saja tidak merupakan persoalan. Dalam kenyataan, perbedaan lalu berubah menjadi konflik fisik, dengan kulminasi pada salah satu dari dua hal berikut: dimensi hukum memegang klaim sebagai penentu dari kecenderungan Sufistik diharuskan tunduk kepada penyaringan oleh hukum, atau sebaliknya, yaitu dimensi batin memegang kendali dan memunculkan tindakan-tindakan politik seperti gerakan-gerakan messianistik (Ratu Adil, Imam Mahdi dan sebagainya). Hukum harus ditundukkan kepada intuisi messianistik dari gerakan, dalam keadaan demikian dan berfungsi sebagai pemberi legitimasi klaim Ratu Adil atau Imam Mahdi yang kebetulan maju ke pentas sejarah dalam berbagai ukurannya, baik yang besar seperti gerakan Mahdiisme di Sudan ataupun hanya gerakan lokal berumur sehari dua hari saja, seperti gerakan Kiai Mukmin Gedangan di awal abad ini.
Saling reaksi antara kedua dimensi lahir dan batin antara hukum dan tasawuf itu menimbulkan juga dua sisi perkembangan lain. Di satu pihak, sikap saling mengoreksi antara keduanya lalu melahirkan pendekatan integratif berbentuk kesalehan baku sementara ulama tarekat, yang tersembul dalam asketisme kiai pesantren sebagai bagian dari konsep wara’ (kesalehan) yang diproyeksikan bersumber pada para sahabat Nabi Muhammad semacam Abdullah ibn Umar. Di pihak lain, proses saling bereaksi itu melahirkan sikap teguh untuk melakukan pendalaman metodologis atas masing-masing kecenderungan itu. Lahirlah tasawuf sebagai ilmu, berkulminasi pada karya-karya reflektif bermutu sangat tinggi, seperti al-Hikam, berisikan kontemplasi tuntas atas kehidupan manusia. Juga lahir bukan hanya hukum sebagai peraturan yang diputuskan para hakim atas dasar deduksi langsung atas ayat- ayat al-Qur’an dan teks al-Hadis, melainkan ilmu hukum dalam artian yang penuh: sistem berpikir legal yang tuntas dan bulat, menjadi landasan yang mantap dan obyektif secara menetap. Lahirlah ilmu-ilmu seperti teori hukum (legal theory, usul al-figh) dan kaidah-kaidah hukum (legal maxims, qawa’id al-figh).
Kalau dikembalikan kepada proyeksi semula, yaitu kebutuhan kaum Muslimin untuk menerapkan peraturan normatif agama mereka secara tuntas dalam kehidupan, termasuk pengundangannya melalui proses tasyri’, maka munculnya sistem berpikir yang disebut ilmu hukum dan kaidah-kaidah hukum merupakan alat penyiapan lahan bagi penerapan peraturan-peraturan itu sendiri. Para pemikir hukum Muslim melahirkan karya-karya puncak dalam sistematisasi cara-cara perumusan keputusan hukum. Lahirlah orang seperti Imam Syafi’i di ujung abad kedua hijri/pertengahan abad kedelapan masehi. Melalui pengembaraan pandangan hukum yang berliku-liku, dengan belajar pada tokoh-tokoh pemikiran hukum aliran Irak (di kemudian hari terkenal sebagai madzhab Hanafi) dan aliran semenanjung Arabia (di kemudian hari tampil sebagai madzhab Maliki), ia sampai kepada muara yang dirumuskannya sendiri dalam sebuah karya besar, al-Risalah. Karya utama tersebut berbentuk sebuah risalah atau surat panjang kepada salah seorang muridnya, Abdurrahman ibn al-Mahdi. Bermula sebagai sesuatu yang sederhana, yaitu jawaban atas pertanyaan seandainya ada dua ayat al-Qur’an tampak saling bertentangan atau ada perbedaan antara sebuah ayat al-Qur’an dan sebuah Hadis, karya ini menampilkan tatanan berpikir yang integratif antara kenyataan lapangan dalam kehidupan manusia dan ketentuan formal yang sudah diwahyukan Allah dalam al-Qur’an atau disabdakan Rasulullah dalam al-Hadis. Tentu bukan integrasi penuh, karena bagaimanapun juga Imam Syafi’i tetap berpegang pada dominasi ketentuan normatif dari firman Allah dan sabda Nabi, namun derajat integrasi yang tercapai sangatlah tinggi, termasuk mendudukkan adat setempat (kata Arab al-‘urf) dalam tata hukum yang diinginkan Islam itu.
Dengan demikia, masalahnya masih tetap saja belum terpecahkan. Kesenjangan antara tuntutan keabadian dari peraturan yang oleh Islam dirupakan dalam bentuk al–hukm di satu pihak dan tuntutan kehidupan nyata akan kelenturan peraturan Imam Syafi’i sudah berusaha melakukan akomodasi atas adat setempat. Dengan kata lain, hukum yang serba normatif dalam islam memang sulit diselaraskan dengan kenyataan hidup.
Namun, ternyata muncul orang yang mampu melakukan sistematisasi atas upaya meleraikan antara kedua tuntutan di atas. Dengan ungkapan lain, memperkecil kesenjangan yang ada antara keduanya. Orang itu adalah Jalaluddin al-Suyuti yang hidup pada abad kesepuluh hijri/kelimabelas masehi. Dalam karyanya al-Asybah wa al-Naza’ir (Yang Bersamaan dan Berpadanan), terhimpun sejumlah kaidah hukum (gawa’id al- figh) yang mencoba melerai kesenjangan antara tuntutan akan syari’ah yang abadi dan kebutuhan menampung tuntutan kehidupan nyata. Dilihat dari sudut pandangan sosio-historis ini, munculnya kaidah-kaidah hukum dalam Islam adalah upaya untuk “menjinakkan” watak serba normatif dari Islam sendiri, agar tidak terlalu keras hantamannya kepada adat setempat.
Beberapa di antara kaidah hukum itu dapat dikemukakan di sini sebagai contoh. Dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih (mencegah hal-hal merusak diutamakan dari membawa hal-hal baik), sebuah kaidah sederhana dengan dampak yang sangat kompleks. Dalam hal mengganti adat setempat dapat membawa kerusakan-kerusakan berat dalam kehidupan masyarakat, maka adat setempat dapat diutamakan penggunaannya, tanpa mengorbankan nilai nominal dari ketentuan normatif yang ditentukan Islam. Sebuah kaidah lain yang menarik adalah la dharara wa la dhirara, yang menekankan pentingnya menghindarkan kesulitan dan mencegah hal-hal yang akan membawa kesulitan. Juga kaidah al–hukm yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman (hukum berkembang menurut sebabnya, baik dalam ketiadaan hukum maupun keberadaannya), yang memungkinkan perumusan baru dari hukum yang sudah ada, jika terdapat kemungkinan melakukan penalaran atasnya. Ketentuan mengenai pengaturan jumlah anak dalam keluarga berencana. Kalau dulu tidak diperkenankan, karena berarti mencampuri hak Tuhan untuk menentukan jumlah anak yang seharusnya dimiliki sepasang orangtua, kini diperkenankan untuk meningkatkan kualitas anak dan memenuhi kebutuhan pokoknya. Kaidah lain yang tidak kalah menarik adalah al-hajah tanzilu manzilah al-dharurah (kebutuhan dapat menempati kedudukan keadaan darurat). Menurut kaidah ini, kebutuhan nyata dapat dipersamakan dengan keadaan darurat, yang memungkinkan diambilnya keputusan yang semula tidak mungkin.
Rangkaian kaidah itu saling berkait, membentuk sebuah kerangka pandangan yang memungkinkan kelenturan keputusan hukum di hadapan kenyataan-kenyataan keras dalam kehidupan. Dengan kata lain, kerangka akomodasi antara ketentuan-ketentuan normatif Islam yang berwatak universal dan abadi kepada kebutuhan lokal yang senantiasa berubah, dan dengan demikian memungkinkan pengembangan syari’ah. Kenyataan ini jarang sekali diperhitungkan dalam upaya reformasi hukum agama oleh para pemikir Muslim. Tradisionalisme yang mampu menampung kebutuhan akomodatif terhadap kenyataan hidup, adalah warisan masa lampau yang sangat berharga, yang memerlukan penelusuran kembali, guna memungkinkan penyegaran terus-menerus atas hukum agama dalam Islam. Hukum yang selalu diberi peluang untuk menyegarkan diri inilah yang seharusnya dinamai Hukum Islam. Dari rangkaian upaya penyegaran, akan muncul partikel-partikel dari Hukum Islam itu yang dapat diintegrasikan ke dalam hukum nasional bangsa-bangsa dengan penduduk Muslim berjumlah besar, apalagi yang mayoritas. Sangat menarik untuk menyimak apa yang dilakukan Mahkamah Agung kita saat ini, untuk melakukan kompilasi dan kemudian kodifikasi hukum fiqh tentang warisan, waqaf dan wasiat. Dirangkaikan dengan UU Perkawinan yang telah ada, upaya tersebut merupakan proses integrasi berlingkup luas Hukum Islam (sepanjang yang diketahui bangsa kita) ke dalam hukum nasional kita di masa depan. Kalau integrasi materi hukum secara berkelompok menurut jenisnya saja dapat dilakukan, apalagi kalau menyangkut materi-materi lepas di bidang hukum acara pidana, hukum pidana, dan hukum perdata. Kesemuanya itu hanya dimungkinkan, kalau Hukum Islam itu sendiri berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan di atas, penelusuran atas warisan masa lampau dari tradisi hukum agama, seringkali dinamai hukum fiqh, memegang peranan sangat penting dalam upaya penyegaran hukum agama itu sendiri, menuju kepada sebuah Hukum Islam yang baku. Salah satu cara penelusuran adalah dengan menelusuri sengketa tidak berkeputusan antara para ahli fiqh (bentuk ganda fuqaha) di masa lampau, guna melihat teknik-teknik penalaran yang mereka kembangkan dalam karya-karya yang berjumlah sangat besar.
Setiap pemikir utama tentu memiliki pola penalarannya sendiri, yang senantiasa berada dalam spektrum sangat lebar dari dua titik ujung: sikap ketat untuk mempertahankan keabadian ketentuan normatif Islam di satu ujung, dan sikap longgar mencari titik temu sebanyak-banyaknya antara norma abadi dan kebutuhan masyarakat di ujung lain. Pendalaman perbedaan kedewasaan pandangan kita dalam melihat kemungkinan hingga ke titik mana dapat dilakukan akomodasi. Bagaimanapun juga, syari’ah adalah sesuatu yang abadi dan berjangka sangat panjang, serta berwatak universal. Ini membuat tidak mungkin untuk melakukan akomodasi sepenuhnya, menampung setiap kebutuhan, karena banyak di antara kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan suatu masyarakat hanya bersifat sementara dan berwatak eksklusif. Namun, kematangan pandangan diperlukan untuk menelisik mana yang benar-benar bersifat abadi dan berwatak universal dari ketentuan normatif Islam itu, sehingga dapat dibakukan tanpa ragu-ragu lagi sebagai bagian dari syari’ah. Selebihnya, dipulangkan kepada kebutuhan masyarakat, sehingga memungkinkan variasi dan divergensi dari satu ke lain masyarakat dan dari satu ke lain masa.
Buku al-Bayanuni ini adalah contoh baik dari upaya penelusuran seperti itu, yang sudah dirintis dari dulu oleh para sarjana terkemuka Muslim. Ibn Rusyd (Averoes) dengan Bidayah al-Mujtahid-nya adalah pelopor sejak masa dini, disusul karya-karya gemilang lain, seperti Bughyah al-Mustarsy– idin dan Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah. Bahkan sebenarnya Imam Syafi’i menuangkan karya agungnya al–Umm, dalam konteks ini, karena pembagian buku tersebut berdasarkan penolakannya atas pendapat para penulis hukum pemberi fatwa yang dikenal dalam kurun waktu itu, seperti al-Syaibani, Ibn Abi Laila, dan al-Thauri. Judul sebuah traktaat dalam al–Umm jelas menampilkan watak polemitik karya agungnya itu: Kitab Penolakan Atas Hukum Internasional-nya al-Syaibani (Kitab al-Radd ‘ala Siyar al-Syaibani). Karya agung sebanyak enam jilid tebal, dan hampir seluruhnya berwatak adu argumentasi dengan orang lain, adalah tradisi keilmuwan yang bukan main hebatnya.
Buku al-Bayanuni ini memiliki kanvas sangat luas, dengan pilihan materi pembahasan yang juga sangat luas. Karenanya, ia akan memberikan gambaran yang lebih kongkret dari apa yang dalam garis besarnya penulis kemukakan dalam kata pengantar ini. Mungkin terdapat perbedaan pandangan antara al-Bayanuni dan penulis kata pengantar ini tentang beberapa kategori, seperti apa yang dimaksudkan dengan kata syari’ah, hukum dan sebagainya. Namun hal itu tidak menutupi kenyataan bahwa karyanya ini mempunyai arti penting bagi penelusuran masa lampau hukum agama dalam Islam, menuju tersusunnya Hukum Islam yang akan merupakan salah satu sumber rujukan hukum nasional kita di masa depan. Karenanya, haruslah dihargai upaya melakukan penerjemahannya oleh salah seorang kawan yang memang pernah langsung belajar di bawah al-Bayanuni.