Kata Pengantar Buku – Pembangunan PLTN: Demi Kemajuan Peradaban?

Sumber Foto: https://sains.sindonews.com/read/638881/768/negara-dengan-reaktor-nuklir-terbanyak-nomor-3-tak-disangka-1640416322

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pada saat ia ditemukan, atom menjanjikan sebuah terobosan baru bagi peradaban manusia. Kemungkinan memperoleh energi dalam jumlah dan intensitas yang praktis tak terbatas, apabila dapat diarahkan dan dikendalikan bagi kemungkinan manusia, akan membawa kita semua ke era keemasan yang rasa-rasanya tidak akan dapat dilampaui lagi oleh umat manusia. Percobaa-npercobaan pertama lebih mendorong harapan tersebut, karena ternyata memang pelepasan tenaga dari alam — melalui pengolahan uranium menjadi tenaga massif yang tak terhingga intensitasnya — tampaknya dapat mewujudkan harapan tersebut.

Alat pemecah atom menjadi berhala baru dalam sejarah modern abad ini. la melambangkan supremasi teknologi dan pengaturan kembali hidup manusia secara fundamental. Manusia menjadi penguasa alam, dan simbolisme supremasi itu adalah pujaan yang bernama reaktor atom. Nama-nama seperti Einstein, Fermi, Openheimer dan sebagainya masuk dalam daftar pendeta-pendeta agung dari pantheon raksasa yang dinamai Pusat Penyelidikan Tenaga Atom. Rumusan-rumusan yang mereka hasilkan menjadi firman suci yang tidak dapat lagi diganggu-gugat keabsahannya. Berani Anda mempertanyakan kegunaan tenaga atom bagi kehidupan, maka Anda akan dicap sebagai orang Gila

Segala khazanah pemikiran dan renungan. umat manusia diabdikan kepada pemujaan tenaga atom, sebagai Obat bagi segala macam penyakit yang menghantui kehidupan manusia Keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan sebagian besar umat manusia dicarikan sebabnya pada ketidakmampuan mengolah uranium menjadi tenaga atom. Sebab katanya, tanpa itu, pasokan energi tidak akan dapat mengejar kebutuhan manusia akan taraf hidup yang layak.

***

Walaupun sejak awal telah diketahui dampak destruktif dengan intensitas tinggi dan cakupan yang luas, tenaga atom tetap terpelihara dalam Citra sebagai energi yang bersih (clean energy). Ilusi tentang keunggulan tenaga atom dibandingkan sumber-sumber energi Iain, bahkan tenaga air sekalipun, tetap merupakan pendorong bagi Citra baik tenaga atom. Umat manusia dibuai Oleh mimpi indah tentang taraf hidup tinggi bagi kawula semua negara di dunia tanpa kecuali, apabila produksi tenaga nuklir dapat mencapai kebutuhan semua negara. Mata umat manusia baru terbuka akan watak destruktif dan kerusakan sangat besar bagi kehidupan dari penggunaan tenaga atom secara salah melalui peristiwa jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima pada Agustus 1945. Ratusan ribu manusia terbunuh, tersiksa dan cacat seumur hidup hanya dalam tempo beberapa detik saja.

Perkembangan saling bertolak-belakang (contradictive developments) itu, yang merupakan anomali silogis dari cara berpikir manusia modern, ternyata berpacu pada dua alur yang berjalan seiring: keduanya saling mendukung dan saling membutuhkan. Demikian cepat manusia lupa akan akibat destruktif bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, terbukti dari kesiagaan Jendral AS Douglas MacArthur untuk menjatuhkan bom atom atas pasukan Tentara Pembebasan Rakyat dari Cina yang menyebrangi Sungai Yalu dan memasuki Semenanjung Korea di awal Dasawarsa 1950-an. Memang timbul reaksi tajam yang memaksa Presiden AS Harry Truman untuk memecat jendral pahlawan legendaris Perang Dunia II itu, tapi hal itu tidak mencegah rangkaian percobaan ledakan bom atom yang dilakukan Amerika Serikat di kawasan Asia-Pasifik dan gurun pasir Nevada di daratan Amerika sendiri.

Memang pada akhirnya timbul kesadaran cukup luas akan bahaya tenaga nuklir bagi kehidupan umat manusia. Setelah terjadi beberapa “kecelakaan ringan” seperti kebocoran pada reaktor nuklir di Three Miles Island di Amerika Serikat dan Chernobyl di Uni Soviet, yang sampai sekarang pun masih menjadi teka-teki tentang dampak optimalnya yang negatif bagi penduduk Kiev dan sekitarnya, kesadaran akan perlunya mempertanyakan keabsahan nuklir sebagai sebuah sumber tenaga tampak semakin meluas. Salah satu sebab pendorong munculnya “Partai-Partai Hijau” (Green Parties) adalah kesulitan-kesulitan besar yang sekarang dihadapi umat manusia akibat penggunaan tenaga nuklir secara meluas.

Satu hal yang paling penting untuk dipikirkan adalah kelestarian lingkungan alam, yang terancam oleh makin menumpuknya “sampah nuklid’ (nuclear wastes) yang memakan waktu sangat lama untuk kehilangan sifat radioaktifnya. Kasus keributan di Perancis akibat pemindahan sampah nuklir adalah contoh dari ancaman tersebut. Bumi tempat penimbunan sampah nuklir pada akhirnya mengalami kerusakan lingkungan dan pencemaran daerah sekeliling yang membahayakan kesehatan penduduk daiam skala besan Tmbunan puluhan ribu tong berisikan sampah nuklir di dasar Samudra Pasifik di perairan pantai barat AS, dengan kemungkinan cukup besar ancaman kebocoran akibat  pergeseran tong-tong itu di dasar samudera, sampai hari ini masih amat menghantui para pecinta lingkungan hidup.

Tapi masalahnya sangat rumit dan kompleks. Apakah alternatif sumber-sumber energi lain masih dapat dicari dalam jumlah cukup besar untuk memenuhi kebutuhan umat manusia akan energi? Apalagi pada saat ini lembaga-lembaga keuangan dunia tidaklah tampak bersemangat untuk membiayai pembangunan bendungan-bendungan raksasa, karena kekhawatiran mereka juga cukup besar akan rusaknya keseimbangan alam antara berbagai kelompok. Memang tidak mudah menemukan jawaban atas pertanyaan dasar dengan apakah kekurangan energi akan ditutup? Namun hal ini justru harus melecut kita semua untuk lebih banyak lagi memberikan perhatian kepada perkembangan langkah-langkah preventif guna mengatasi bahaya nuklir seraya meriset secara lebih intensif lagi sumber-sumber energi alternatif lain seperti: tenaga matahari dan panas bumi. Selama langkah-langkah seperti itu belum diambil, maka meremehkan bahaya yang timbul dari pengolahan tenaga nuklir adalah sikap yang harus disesalkan. Sikap seperti itu adalah kriminalitas terhadap masa depan peradaban umat manusia.

Dalam berbagai isu lingkungan yang ada di sekitar kita, ada bermacam-macam ekspresi yang terlontar. Mulai dari yang kita kenal kelompok Green Peace yang sangat vokal dan frontal dalam menyatakan suaranya hingga mereka yang hanya sekedar bergumam atau diam. Consent rakyat, ini adalah permasalahannya. Persetujuan rakyat dalam pengambilan keputusan harus menjadi unsur utama dalam negara dan pemerintahan yang sehat.

Suara rakyat tidak dapat dilihat dalam persoalan hitam putih Artinya bila rakyat diam, tidak mengeluarkan pendapat apapun, itu bukan berarti rakyat setuju dan keputusan menjadi sah. Bila rakyat protes, kita harus jujur melihat hal ini hanya ada pada segelintir orang saja. Kebanyakan rakyat berada di pinggiran — menonton proses pengambilan keputusan. Tindakan ini bukanlah lalu berarti rakyat menyetujui keputusan yang keluar dari proses ini. Kita harus mempertimbangkan bahwa penolakan itu terjadi baik secara pasif maupun secara pro aktif. Kedua cara ini memiliki hak yang sama dan pemerintah harus memperhatikan kenyataan ini. Hal seperti ini tidak bisa didiamkan seolah-olah tidak ada. Juga kita jangan terjebak bahwa menyatakan ketidak setujuan itu harus nampak dengan cara pro-aktif. Ketidaksetujuan yang pasif sama nilainya dengan ketidaksetujuan pro-aktif. Bahwa ketidaksetujuan adalah sesuatu yang inheren dan juga rasional. Juga ketidaksetujuan yang pasif, sangat rasional. Kelemahan pada organisasi, moralitas yang rendah, sarana yang buruk tentu membuat mau tidak mau menjadi pasif. Kita harus melihat bahwa kepasifan itu terjadi karena adanya pemaksaan yang demikian massive, ‘overhelming’, tindakan yang melindih. Lindihan dari luar itulah yang membuat rakyat tampaknya setuju. Padahal mereka sebetulnya tidak setuju. Hal ini tidak bisa didiamkan seolah-oleh tidak ada, Ini esensi demokrasi. Kalau kita menanggapi sepi hal ini, akan terjadilah kriminalitas kepada sejarah. Kriminalitas terhadap apa yang dinamakan kepentingan orang banyak. Ini artinya memaksakan kebutuhannya atau aturannya sendiri terhadap orang banyak.

Dari kenyataan-kenyataan pasifnya rakyat itulah, kita menjadi tahu bahwa pada dasarnya pembangunan itu sesuatu Yang memerlukan izin dari semua pihak terlebih dahulu baru bisa berjalan. Bukan seperti yang berlangsung sekarang yakni bila tidak ada persetujuan dari semua pihak dianggap boleh. Kita justru harus memberlakukan bahwa sebelum ada persetujuan eksplisit justru tidak boleh. Sikap-sikap ambivalen, penggunaan standar ganda harus dihentikan.

Artinya dalam melakukan pilihan kita sejak awal perencanaan, tidak begitu saja bisa langsung tanpa ada judgement banyak orang. Persoalan PLTN bukan persoalan ahli nuklir saja karena pada PLTN ada bahaya yang terus-menerus mengancam, tidak bisa dihentikan atau dihilangkan begitu saja, sekalipun dengan menutup reaktor tersebut. Dengan kata Iain tidak ada jaminan ekspertise (jaminan keahlian) yang dapat menghilangkan atau mengentengkan bahaya dari nuklir. Ini hampir seperti isu lubang lapisan Ozon kita. Lubang itu sekali terbuka, tidak hanya berhenti di situ. Tetapi akan terus-menerus berlubang, tidak akan tertutup lagi sampai ada penghutanan kembali dalam jumlah yang cukup besar, cukup luas jangkauannya dan intensitas pertumbuhan yang sama terus-menerus.

Dengan kata Iain, hal-hal seperti ini bukannya perkara para ahli saja, para pakar. Ini urusannya orang banyak! Di sini letaknya argumentasi bahwa perlawanan rakyat itu ada dan harus dianggap. Karena perlawanan rakyat ini pada hakekatnya menyentuh kepentingan orang banyak dan adanya unsur bahaya jangka panjang dan ancaman yang terus-menerus itu. persoalan teknis tidak bisa dijadikan argumen di sini. Sebab semua hal-hal ihwal pembangunan harus didudukkan dalam kerangka berfikir ini: Bahwa tidak semua yang pasif itu harus diartikan sebagai hal yang pantas dianggap sepi. Ini fatal akibatnya. Persoalan dalam hal tenaga nuklir ini ialah sampai sejauh mana akibat dari bahaya kerusakan yang ditimbulkan menjadi pertimbangan utama? Persoalan bukanlah apakah itu feasible atau tidaknya secara teknis, bisa diminimalisir bahayanya atau tidak, itu bukan Yang utama. Kita harus cermat dalam hal ini, sekali kita keliru, akan terus keliru.

Bahwa masyarakat resah saja ini sudah cukup untuk menunjukkan ada persoalan. Misalnya persoalan produksi mobil di Los Angeles yang menimbulkan asap, Untuk masalah ini, para pengambil keputusan harus berfikir ulang tentang transportasi alternatif dan itu terjadi di mana saja di dunia bahwa untuk mengatur pencemaran udara oleh mobil yang demikian banyak, mau tidak mau harus dilakukan transportasi alternatif. Ini saja secara moral menunjukkan semacam sesuatu yang aktif dalam sikap pasif masyarakat. Maksudnya, rasionalitasnya berkembang sendiri lepas dari apakah secara teknis bisa dilaksanakan atau tidak. Bila secara teknis dilaksanakan di Los Angeles – New York, maka Jakarta bisa saja feasible secara teknis untuk menampung jumlah mobil yang luar biasa. Kembali, bukan di situ soalnya.

Di negara maju sekalipun kata akhir bukan diputuskan oleh para pakar tetapi oleh wakil rakyat, pemimpin rakyat yang mungkin tidak punya ekspertise sama sekali dalam soal teknis. Dengan kata lain argumentasi yang dikemukakan oleh rakyat yang sifatnya pasif harus diperhitungkan. Ini menjadi penting karena di Indonesia, di mana kemampuan kita untuk mengatasi atau untuk meminimalisir bahaya belum begitu meyakinkan, menjadi lebih penting lagi pertimbangannya. Dan rakyat menyatakan ketidaksetujuannya dengan pasif. Dalam konteks PLTN, bahaya ini sangat relevan dan harus menjadi tolok ukur satu-satunya, karena ketidakmampuan bangsa-bangsa yang telah “advanced” meminimalisir bahaya yang real, seperti yang terjadi di Three Miles Island di tengah masyarakat yang canggih atau di Chemobyl yang kurang canggih dibanding Amerika. Bagaimana dengan Indonesia? Di sinilah arti pentingnya, apa yang dinamakan persetujuan regresif, sekali lagi ini harus diperhitungkan.

***

Hal lainnya adalah persoalan accountability dan instink untuk tetap hidup. Ini saling berkaitan. Moralitas merupakan inti dari semua ini. Artinya moralitas untuk menghindarkan bahaya harus dipunyai wakil-wakil rakyat Indonesia dalam konteks PLTN Rakyat menjadi pasif karena mereka memiliki moralitas, sedangkan wakil-wakil justru tidak punya, tidak memiliki Public Interest Morality. Akibatnya, kepentingan umum diperdagangkan. Kepentingan umum diabaikan, dan kita harus terus mempertanyakan ini di mana seperti yang terjadi pada Socrates, untuk itu kita akan diracun.

Bla pengambilan keputusan dengan berdasarkan persetujuan orang banyak tidak dapat dilakukan, bagaimana kita dapat membangun PLTN? Bagi mereka yang memilih untuk secara proaktif menentang, hendaknya bukan bermotivasi rasa marah, jengkel, dendam. Sebab yang utama adalah situasi yang mencekam ini, seperti yang sering diungkapkan George Orwell atau Kafka yang mempertanyakan, begitu saja tidak bisa, kok berani mengambil keputusan?” Inilah hakikatnya gugatan rakyat hakikatnya perlawanan hakiki. Tidak perlu ada yang memahami dan mengerti, tidak perlu ada pengikut yang mengelu-elukan perlawanan ini. Karena perlawanan hakiki landasannya adalah moralitas kemanusiaan pada titik yang paling rawan yaitu bagaimana melestarikan kehidupan.

Bila kita membiarkan ini dan membiarkan pemecahannya pada waktu, kita berarti melarikan diri dan ini harus digugat secara moral. Ini sikap rancu dan tidak konsisten dalam berpikir. Rasionalitas pemikiran kita inilah yang membuat kita harus sejak dini melihat bahwa perlawanan itu ada pada esensi kemanusiaan Perlawanan untuk mempertahankan kepentingan umum. Ini dasar kita untuk bersikap walaupun yang lain kelihatannya tidak bersikap. Kita harus memiliki kepercayaan pada kemanusiaan dan ini untuk kepentingan bersama. Ayolah kita berbuat.