Kata Pengantar: Prajurit Tegas

Sumber Foto: https://nasional.sindonews.com/read/610455/14/lb-moerdani-jenderal-kesayangan-yang-berani-mengusik-kekuasaan-soeharto-1637878284

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

RAUT MUKANYA YANG KERAS dan pembawaannya yang tenang memang memberikan kesan menakutkan bagi orang lain terhadap L.B. Moerdani. Apalagi karena ia memang sedikit berbicara, seperlunya saja. Kesan ini yang mula-mula saya rasakan ketika bertemu jenderal berbintang empat tersebut, sewaktu ia masih menjadi Panglima ABRI di tahun 1984. Namun kesan itu segera hilang ketika ia menunjukkan pengertian atas apa yang saya kemukakan waktu itu, lebih dari apa yang umumnya dapat diharapkan dari pejabat setingkat dia. Segera saja terasa, bahwa ia senantiasa berusaha memahami pihak yang berbicara dengannya, dan dengan demikian sebenarnya berupaya mengambil posisi minimal setengah jalan dengan orang tersebut. Dengan kata lain, ia bukanlah type pejabat atau pemimpin yang begitu bertemu orang terus berbicara melantur kian kemari atau membentangkan pendirian sendiri, tanpa ingin mengetahui apa yang dipikirkan lawan bicaranya.

Dalam kerangka pengenalan watak L.B. Moerdani yang seperti itu dalam berkomunikasi dengan orang lain, saya melihat bahwa lingkup pembicaraan dengannya selalu dapat mencakup aneka ragam masalah dan menyangkut apresiasi mendalam akan ekspresi yang ditampilkan lawan bicaranya, termasuk ekspresi seni para seniman Saya pernah ngobrol dengannya selama berjam-jam, tentang novel-novel spionase (spy novels) karya John Le Carre, Frederick Forsythe dan Len Deighton. Pembicaraan kami menjadi lebih rinci tentang cerita spionase John Gardner yang berjudul Garden of Weapons. Ternyata L.B. Moerdani adalah orang yang gemar membaca, paling tidak untuk jenis buku tertentu. Ini adalah sesuatu yang sebenarnya tidak umum di kalangan perwira ABRI dan pejabat kita, yang lebih mengutamakan penggunaan waktu berlama-lama untuk bermain golf dan jenis-jenis olah raga lainnya.

Sebagai seorang perwira intelijen L.B. Moerdani memang dituntut untuk mengetahui banyak hal dan menguasai banyak permasalahan, terutama latar belakang orang yang diajaknya bicara tentang sesuatu masalah. Tetapi ternyata ia memang mempunyai pembawaan ingin tahu yang kuat, sehingga begitu banyak informasi yang diendapkannya dan membuatnya mengetahui latar belakang begitu banyak permasalahan tanpa harus berpayah-payah mencari data atau keterangan jika akan membahas sesuatu masalah dengan seseorang. Dengan kata lain, akumulasi informasi yang dimilikinya lalu menjadi bagian alami dari dirinya dan dapat digunakannya sewaktu-waktu. Seperti halnya H.B. Jassin yang dapat berbicara segala sisi dan persoalan sastra Indonesia tanpa harus berpayah-payah menggali data-data jika dihadapkan pada pertanyaan orang.

Mungkin sisi inilah yang “tersembunyi” dari pandangan luar, sehingga tampaknya ia adalah seorang yang berpandangan sesisi belaka, seperti umumnya para pejabat pemerintah dan perwira ABRI. Dengan penampilan fisiknya, seperti dikemukakan di atas, kesan seperti itu bertambah kuat. Itulah barangkali yang membuat orang belum-belum sudah sangat berhati-hati dan “pasang kuda-kuda” bila akan berbicara dengan L.B. Moerdani. Karena pembawaannya yang pendiam dan tidak banyak bicara, dengan sendirinya kepribadian LB. Moerdani yang mempunyai sisi demikian banyak lalu tampak kaku dan semakin memperkokoh citranya sebagai “manusia satu dimensı” (one dimensional man) bagi orang yang tidak mampu mengenalnya dengan baik. Padahal ia mampu menikmati lelucon-lelucon saya yang sarkastik dan terkadang tajam dengan baik. Dia menikmati lelucon sepenuh hati dan darı situ tampak bahwa apresiasinya terhadap hal-hal yang nyeleneh (kurang lazım) cukup tinggi, sehingga memberi kesan bahwa ia sebenarnya seringkali justru tidak terlalu kaku sebagai orang militer. Jadi tampak dengan jelas bahwa ia bisa membagi keharusan membentuk kepribadian yang tegas dan penuh disiplin sebagai seorang militer di satu sisi dan kepribadian sebagai warga masyarakat yang biasa-biasa saja di sisi lain.

***

Dari buku biografi yang ada di tangan pembaca ini, menjadi jelas bagi saya bahwa wajah ganda-sisi (multifaceted) dari kepribadian L.B. Moerdanı memang menampakkan bagian integral dari kehidupannya sebagai anak manusia dan sekaligus sebagai seorang militer. Wajar saja ia mula-mula ikut bergerilya tanpa tahu arah tujuan keikutsertaannya itu, karena memang demikianlah sosok anak manusia di zaman revolusi pada usianya waktu itu. Alangkah tidak masuk akal apabila waktu itu dia telah memiliki rasa mengemban tugas (sense of duty) seperti yang dimilikinya di kemudian hari. Justru berangkat dari keterlibatan bergerilya yang seolah-olah tidak disengaja itu ia ditempa oleh perkembangan keadaan untuk mengembangkan sikap taat kepada perintah dan setia kepada tugas. Heroisme yang terkadang terasa konyol dari para pejuang muda yang tidak henti-hentinya menggempur tentara pendudukan Belanda, yang sering juga diancam ketakutan-ketakutan dan keresahan akan keselamatan diri dalam saat-saat kritis, bukanlah representasi dari watak yang sejak semula sudah jadi. Ia tidak lain mencerminkan pasang surut dan naik turunnya perkembangan kepribadian seorang pejuang yang sejak muda sudah digembleng oleh kancah peperangan. Mungkin hal yang sama juga dialami oleh Mao Ze Dong demikian ketika harus mengalami long march di tahun-tahun 1930-an.

Benih perkembangan kepribadian yang menuju kematangan sudah tampak pada pilihan L.B. Moerdani untuk memasuki pendidikan calon perwira cadangan (P3AD) di Bandung tahun 1951. Alasan yang dipaparkan dalam biografi ini, yaitu bahwa dia akan telah tertinggal dari kawan-kawan sepadan usia jika kembali ke bangku sekolah, menunjukkan bahwa ia memasuki karier militer sebagai manusia biasa, bukan dibakar oleh semangat kepahlawanan yang meledak-ledak. Dari titik tolak seperti ini lalu menjadi jelas mengapa L.B. Moerdani kemudian mampu mengembangkan dua sifat yang berbeda tapi senantiasa seiring dalam melaksanakan tugas: kemampuan memikul tugas sebagai individu dengan prestasi menonjol di satu pihak, dan kemampuan menjadi anggota kelompok yang selalu menjaga keutuhan dan kebersamaan kelompok (team playing). Disinilah selalu diuji kemampuan seorang pemimpin, apakah prestasi individualnya yang menonjol akan meningkatkan kualitas kelompok yang dipimpinnya, atau justru membuat dirinya menjadi beban tak tertanggungkan bagi kelompoknya sendiri. Esensi kemampuan mengembangkan prestasi individual dalam kerangka kolektifitas kelompok inilah yang ternyata menjadi warna dari karier kemiliteran (dan kemudian karier intelijen) yang ditempuh L.B. Moerdani.

Kalau sifat kepemimpinan seperti ini diterapkan pada kerangka hubungan kenegaraan yang lebih luas, seperti dalam menerapkan konsep dwifungsi dalam kedudukan sebagai Panglima ABRI atau menerapkan pola pembangunan yang harus memiliki dimensi pembangunan, mendasar (transformasi kehidupan bangsa) sambil mempertahankan stabilitas, dapat dilihat betapa sangat diperlukan corak kepemimpinan seperti dimiliki L.B. Moerdani tersebut. Saya sendiri adalah orang yang tidak pernah dapat menerima kemutlakan konsep stabilitas, karena kebutuhan akan stabilitas itu sendiri sangat sering menjadi terlalu dilebih-lebihkan oleh para pelaksananya. Tapi apapun pendapat kita masing-masing akan arti pemeliharaan stabilitas keadaan bagi pembangunan, yang jelas kerja itu sendiri harus dilakukan dengan penuh pengertian akan hakekat transformatif dari pemerintah itu sendiri. Dan inilah yang dipahami oleh L.B. Moerdani.

Sebuah ilustrasi dapat dikemukakan dalam hal ini. Di pertengahan masa jabatannya, saya menemui Panglima ABRI L.B. Moerdani untuk meminta agar T. Mulya Lubis dapat dibebaskan dari status dicekal untuk bepergian ke luar negeri. Saya kemukakan kepadanya, bahwa Mulya akan melanjutkan pelajaran di Amerika Serikat, yang sangat diperlukan untuk mematangkan peranannya sebagai pejuang hukum di kemudian hari. Sang Pangab menanyakan kepada saya, apakah bukannya Mulya dan kawan-kawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) melakukan kegiatan subversi dengan menghasut para buruh untuk merusak “stabilitas keadaan”. Saya nyatakan, bahwa kawan-kawan di LBH memang mengembangkan kesadaran para buruh kita akan hak-hak mereka yang dijamin oleh konstitusi. “Termasuk mogok?”, tanya L.B. Moerdani. Saya jawab, “Memang kepada para buruh diinformasikan hak mereka untuk mogok, tapi tidak untuk digunakan saat ini”. Sang Pangab bertanya, “Kapan?” Saya jawab bahwa tentunya wajar saja kalau para buruh akan mogok 15 tahun lagi. Dan L.B Moerdani menjawab, agar hal itu boleh dilakukan hanya setelah 20 tahun lagi. Alasannya, karena ekonomi kita secara keseluruhan belum mempunyai kemampuan menahankan akibat kegoncangan yang ditimbulkan pemogokan berskala luas.

Ilustrasi di atas menunjukkan dengan jelas bahwa L.B. Moerdani mendudukkan konsep stabilitas pada pola pembangunan yang senantiasa bergerak maju ke depan dan mengembangkan momentum dan daya tahannya sendiri. Apabila sikap seperti ini juga menjadi bagian dari pola pemikirannya untuk semua masalah yang terkait dengan pembangunan nasional bangsa kita, hasil akumulatifnya tentu adalah suatu sikap kenegarawanan (statesmanship) yang patut dihargai. Inilah sebabnya saya menghargai L.B. Moerdani, penghargaan yang oleh banyak pihak yang berpandangan sempit dianggap sebagai bagian dari konspirasi politik antara kami berdua. Kebutuhan saya akan komunikasi dengan penyelenggara kekuasaan yang berwawasan luas dan berpandangan jauh, yang kita perlukan untuk bersama-sama memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dan kebutuhan L.B Moerdani akan masukan yang diperlukan dari saya untuk mengembangkan kenegarawanannya itu menumbuhkan kedekatan hubungan yang tidak mengikat kami berdua satu kepada yang lain, kecuali untuk kepentingan bangsa dan negara. Bahwa pola hubungan semacam ini dapat saja menguntungkan kepentingan kedua belah pihak yang tidak disepakatkan terlebih dahulu adalah hal yang wajar-wajar saja, sebagai konsekuensi logis darı setiap hubungan serupa Saya tidak mengingkari, bahwa NU memperoleh keuntungan dari hubungan ini dalam beberapa aspek, dan tentu saja saya sadar pula, L.B. Moerdani juga memperoleh keuntungan untuk pihaknya sendiri dalam aspek-aspek lain. Tapi ini tidak berarti ada keinginan buruk yang bersifat manipulatif satu terhadap yang lain dalam hubungan kami berdua.

***

John F. Kennedy mensitir E. Hemingway dalam mendefinisikan keberanian. Courage is grace under pressure, keanggunan di bawah tekanan Dalam karyanya Profiles in Courage, Kennedy menggambarkan delapan senator yang berani mempertaruhkan karier politik mereka untuk mempertahankan keyakinan di hadapan arus umum politik yang menentang. Beberapa orang berhasil mengatasi krisis yang dihadapi masing-masing dan meneruskan karier mereka. Yang lain dikalahkan oleh arus politik yang membabat habis rintangan yang dipasang oleh masing-masing para senator. Namun semuanya menampilkan sebuah gambaran dari integritas politik yang mendasar, yang membedakan mereka dari para “politisi biasa”. Hal semacam ini dapat dengan mudah dideteksi dalam kasus-kasus yang bersifat “sikap menentang arus”.

L.B. Moerdani tidak pernah tampak menampilkan sikap menentang arus secara eksplisit dalam biografi yang ada di tangan pembaca ini. Haruskah ini diartikan bahwa ia hanya memiliki integritas biasa-biasa saja? Kalau memang demikian, bukankah sıfat kenegarawanan yang dimilikinya betapa kecilnya sekalipun kadar tersebut, hanyalah kenegarawanan biasa-biasa saja? Lalu apa yang membuat dia berhak mendapat tempat dalam catatan sejarah kita, selain bahwa ia pernah memegang sekian banyak jabatan penting di negeri kita? Apakah lalu yang membuat dia berhak dianggap patut menjadi pewaris tugas dan pengemban amanat Panglima Besar Sudirman? Kata orang Inggris, is he worthy of the mantle, patutkah ia mengenakan jubah kepangkatan yang diperolehnya?

Sulit untuk mencari jawab tentang nilai kenegarawanan dan kepemimpinan L.B. Moerdani, jika digunakan tolok ukur integritas politik dalam artian yang digunakan John F. Kennedy di atas Karenanya, kita harus menggunakan ukuran-ukuran lain, karena memang ukuran kemampuan menentang arus bukanlah satu-satunya cara yang dapat digunakan Salah satu cara yang dapat digunakan adalah melihat ketaatan asas (konsistensi) sikap-sikapnya dalam mengemban tugas. Ketaatan asas itu sudah terlihat pada diri L.B. Moerdani semenjak ia turut bergerilya, kemudian menjadi siswa P3AD dan tahap-tahap berikut dalam kariernya. Bagaimana ia tanpa ragu-ragu, dengan penuh ketakutan harus berbicara kepada serdadu Belanda yang berada di atas panzer dengan moncong kendaraan tersebut dihadapkan kepadanya untuk berbicara tentang gencatan senjata antara dua kelompok kecil gerilyawan dan tentara pendudukan. Ia takut panggilan serdadu Belanda itu hanya jebakan untuk membuatnya mudah ditembak dari jarak dekat. Tenyata ketaatan kepada tugas itu tidak membawa bencana baginya. Begitu juga ketika ia harus terjun di Simpangtiga, Riau, tanpa pernah berlatih terjun, yang ternyata juga tidak membuat ia mati. Atau ketika ia harus meninggalkan jaket tempurnya yang berisi foto pacarnya, Hartini, di salah satu saku, karena didadak oleh serbuan tentara Belanda di Merauke, yang juga tidak membuat ia jatuh menjadi korban. Sikapnya yang patuh pada kepentingan korps, dengan kata lain kesetiaan pada tugas, juga terlihat ketika ia memasuki kesatrian KKO AL di Jl. Kwini, dengan hanya berpakaian olahraga dan mudah menjadi sasaran kemarahan para prajurit tempat itu yang sedang terlibat perkelahian massal dengan prajurit-prajurit RPKAD dari korpsnya L.B. Moerdani sendiri. Dia hanya berpegang kepada kewajiban melaksanakan apa yang harus dilaksanakan. Sikap ini tampak dalam seluruh kariernya selama mengabdi kepada korps dan kepada negara. Termasuk penolakannya kepada ajakan Bung Karno, agar ia berpindah ke pasukan Tjakrabirawa dari RPKAD.

Namun ketaatan asas kepada tugas ini tidak dilaksanakan dengan kaku, melainkan masih memperhitungkan cara-cara yang baik untuk menerapkannya. Karena itu lalu menjadi manusiawi, bahwa ia sangat kecewa dengan intrik-intrik yang menyebabkan ia dipindahkan oleh Menpangad, Jenderal A. Yani, dari RPKAD ke KOSTRAD. Bahwa ia tidak membuat reaksi berlebihan atas keputusan komandan, betapa pedihnya sekalipun terasa di hatinya, merupakan salah satu sisi yang menunjukkan integritas politik yang dimilikinya.

Integritas politik yang lentur tapi tetap utuh yang dimiliki L.B. Moerdani dapat dilihat juga pada cerita tentang saat tentara Sekutu merebut kota Berlin di akhir Perang Dunia II. Jenderal Patton dari Amerika Serikat yang diajak melakukan toast oleh Marsekal Zhukov dari Rusia, menolak dengan mengatakan bahwa ia tidak mau minum bersama bangsat Rusia. Zhukov yang marah balik mengatakan tidak mau minum dengan bangsat Amerika. Pada saat itulah fleksibilitas dan integritas politik Patton muncul, ketika ia menjawab bahwa mereka bisa minum bersama tanpa mewakili bangsa masing-masing melainkan karena sama-sama bangsat.

***

Bagi saya, pergaulan dengan L.B. Moerdani memberikan wawasan baru tentang kompleksitas kepribadian seorang pemimpin yang harus memainkan peran ganda untuk berbagai pihak di berbagai bidang. Untuk umat Katholik, ia adalah seorang tokoh yang diharapkan mampu memberikan perlindungan dan pengayoman yang akan menjamin ruang gerak mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi, pada saat yang bersamaan ia juga dituntut untuk melayani semua umat lain, di luar umatnya sendiri, sebagai bagian dari pengabdian total kepada negaranya. Bagaimana ia melakukan hal itu secara berimbang, dan tidak dalam pola saling menafikan, adalah salah satu tolok ukur kepemimpinan yang dimilikinya. Barangkali dalam hal ini ia adalah seorang Katholik nasionalis, sebagaimana saya merasa dırı sendırı sebagai seorang Muslim nasionalis. Dengan segala problema dan dilema yang harus saya pecahkan, saya harus mampu merekonsiliasikan ajaran Islam dan wawasan kebangsaan secara konsisten dan terus-menerus.

Demikian pula, LB Moerdani adalah seorang militer yang harus tunduk kepada Sapta Marga, yang mengharuskan ketundukan kepada pimpınan di atasnya. Namun ia menyadari, bahwa pelanggaran kewenangan dan langkanya pertanggungan jawab pimpinannya kepada aturan main yang benar dan rencana yang sudah digariskan semula, memerlukan sikap kritis terhadap pimpinan, yang tentunya mendera dirinya. Ketika ia harus menyaksikan para bintara RPKAD menangkapi para atasan mereka di Batujajar, kecuali dirinya sendiri yang tidak ikut ditangkap, ia mengambil langkah mengamankan pimpinan RPKAD, tapi sambıl menjamin keselamatan mereka dari kemungkinan dibunuh oleh para bintara yang merasa dikhianati pimpinan mereka. Dengan kata lain, L.B Moerdani mampu menangkap aspirasi dari bawah, sambil tetap berpegang pada tata hierarki yang ada. Ini adalah salah satu sikap yang menunjukkan integritas kepribadiannya sebagai pemimpin yang patut dihargai.

Dalam saat-saat yang kritis, kemampuan memandang ke bawah dan menatap ke atas yang dipadukan seperti ini, menghasılkan sikap yang dewasa dalam mengelola hubungan antar manusia dalam lembaga yang dipimpinnya Protesnya terhadap pemikiran Komandan RPKAD waktu itu untuk mengeluarkan mereka yang cacat/invalid dari kesatuan, dengan akibat dia dikeluarkan dari RPKAD sendiri menunjukkan adanya kesediaan bersikap jujur kepada tugas, tanpa merusak lembaga.

***

Walaupun demikian banyak sisi positif dari kepribadian dan kepemimpinan L.B. Moerdani, tetap saja saya tidak bisa mengerti atau menerima sikap-sikap dan pandangannya dalam hal tertentu. Ini tentu disebabkan oleh latar belakang yang berbeda dan posisi serta fungsi masing-masing yang berbeda pula. Sebagai seorang jenderal tentulah ia merasa segala cara harus dipakai untuk mencegah kekacauan atau labilitas keadaan. Karena itu, tentu ia tidak bisa membenarkan demonstrasi mahasiswa, satu hal yang saya pandang sebagai hak asasi mereka.

Kalau hanya berhenti di situ, sebenarnya tidak mengganggu benar bagi hati nurani saya. Tapi terkadang kokohnya pandangan dan sikap jenderal purnawirawan ini justru mengusik hati nurani saya, seperti ketika ia melaksanakan rencana Presiden Soeharto untuk mengadakan pembersihan para eks-residivis, yang dikenal dengan kejadian petrus (penembakan misterius) Sebagai orang yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, saya tidak bisa menerima “keharusan” melakukan hal itu. Mereka yang telah menjalani hukuman, betapa tidak proporsionalnya hukuman yang dijatuhkan, tetap tidak bisa dihukum kedua kalinya, tanpa pengadilan ulang/lanjutan. Apalagi, jika dibunuh seperti anjing dan dilemparkan begitu saja di pinggir jalan, sangat mengusik hati nurani saya. Dan terkadang membuat saya merasa sia-sia belajar kepemimpinan dari tokoh semacam L.B. Moerdani. Hanyalah kesadaran bahwa ia tetap seorang pemimpin, tetap berjiwa besar, tetap memegang nilai-nilai dan memiliki pandangan jauh ke depan yang membuat saya sedikit terhibur waktu itu. Zaman menyembuhkan semua luka dan pada waktunya saya dapat memulihkan rasa penghargaan saya pada L.B. Moerdani dengan melihat kepada sisi-sisi positif dan konstruktif dari kepemimpinannya, sebagaimana yang telah saya uraikan di atas.

Tetapi, tentu saja ini tetap tidak menghilangkan keraguan di hati nurani saya bahwa sewaktu-waktu sikap dan tindakan yang mengerikan seperti itu dapat terulang kembali. Untuk menutup kemungkinan itulah saya membuat Forum Demokrasi. Kita harus menjadi bangsa yang beradab dan menegakkan kedaulatan hukum, saya rasa juga sebuah cita-cita yang dimiliki L.B. Moerdani dan para perwira angkatan bersenjata kita. Keyakinan inilah yang membuat saya juga berani mendirikan Forum Demokrasi sebagai alat untuk melakukan dialog, guna menyudahi hal-hal pahit di masa lalu, agar tidak terulang lagi di masa mendatang. Saya rasa dengan mengemukakan impian muluk ini dan mengharapkan para perwira ABRI untuk bersama-sama mencapai hal di atas saya rasa saya telah berusaha menempatkan seorang sekaliber L.B. Moerdani pada rel yang tepat, guna kepentingan generasi-generasi kita di masa mendatang.