Kendala-Kendala di Bidang Agama dalam Penanganan Hak-Hak dan Kesehatan Reproduksi

Sumber Foto: https://www.yalemedicine.org/news/hiv-treatable

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Saya rasa masalahnya sudah demikian menyeluruh dicakup oleh kedua pembicara tadi. Sebetulnya sudah termasuk agama juga sehingga sudah tidak ada lagi yang tersisa untuk saya. Jadi saya ini cuma ikut-ikutan saja. Apalagi memang tidak tahu menahu tentang AIDS, tahu saya USAID. Artinya masalah AIDS ini bagaimana dia menjadi masalah dan bagaimana dia harus ditangani itu sangat jauh dari bidang perhatian saya. Malah dia menjadi bidangnya orang lain di lingkungan kami di pengurus besar Nahdatul Ulama. Tadi yang disebut-sebut Ibu Nafsiah, kiai yang mengatakan tugas beliau itu membawa sebanyak mungkin warga masyarakat kepada norma-norma agama. Itu justru sekretaris besar kami dari pengurus besar Suriah Nahdatul Ulama. Jadi, beliau yang mestinya di sini, bukan saya. Saya tidak mengerti apakah panitia itu keliru mengundang atau bagaimana. Karena tugas sudah diberikan, saya coba sebisa-bisanya untuk bicara, sekaligus untuk belajar bahwa ada AIDS di luar USAID.

Salah satu hal yang menjadi masalah utama adalah kesalah-pahaman tentang problem AIDS itu sendiri. Artinya problem AIDS itu dilihat tidak sebagai masalah kesehatan, tetapi sebagai masalah moral. Itu merupakan kendala pertama yang harus diingat. Jadi, kita boleh bicara apa saja, boleh kiai yang suka atau tidak suka pada kondom, boleh cocok atau tidak cocok dengan adanya kenyataan bahwa banyak pasangan yang melakukan hubungan seksual secara berganti-ganti. Selama masalahnya hanya didekati secara moral tidak akan ada titik temunya.

Jika berbicara tentang konsensus yang dibicarakan Ibu Nafsiah, yang lebih dahulu dipersoalkan dan harus dipecahkan adalah bagaimana membawa masyarakat. Jadi bukan agamawan, tetapi masyarakat. Secara keseluruhan masalah AIDS adalah masalah kesehatan, bukan masalah moral. Memang masalah moral merupakan sisi penting dari perilaku yang akhirnya membawa masalah kesehatan yang bernama AIDS. Ini harus dicarikan penyadarannya lebih dahulu.

Untuk mengatakan bahwa problem AIDS adalah masalah kesehatan dan bukan masalah moral, ini pun memerlukan keberanian moral. Di situ ada risiko bahwa masalah moral itu dijadikan sesuatu yang zero sum dengan bilangan nol, yang seolah-olah tidak dianggap oleh kita dan seolah-olah hilang begitu saja yang namanya pagar-pagar moral. Justru pagar-pagar moral itulah yang sebenarnya menjadi pelindung masyarakat terhadap kemungkinan AIDS. Masalahnya ialah karena pagarnya sudah bolong semua. Jadi, kita harus berbicara kepada para kiai dan para pastur bahwa pagar Anda itu sudah bolong. Karena sudah bolong, terjadi masalah kesehatan. Kalau tidak demikian, kita tidak akan bisa masuk.

Kedua adalah masalah yang dihadapi untuk memahami atau menangani problem AIDS yang merupakan masalah pribadi dan masalah sosial. Ini yang kurang sekali disadari apabila kita  berbicara tentang hal ini. Dengan kata lain, karena dia menyangkut masalah kesehatan yang bersumber pada pola atau perilaku moral yang tidak benar, ada implikasi sosial dari tindakan-tindakan perorangan warga masyarakat. Jadi kita jelaskan persis di sini. Kalau tidak, kita seolah-olah hanya menangani masalah kegiatan perorangan warga masyarakat. Ini yang kurang dijelaskan kepada pemuka agama atau kalangan agama, bahwa dimensi sosialnya sangat besar dan sangat luas, timbal balik antara dimensi sosial dan dimensi perorangan dari problem AIDS. Ini sudah dijelaskan secara baik di sini, tetapi maaf di luar saya tidak pernah dengar. Di luar ngomong tentang AIDS itu seolah-olah hanya pekerja seks saja, lainnya tidak ada. Oleh karena itu, harus ada kampanye untuk menjelaskan dalam konteks secara nasional tentang dimensi sosial dan dimensi perorangan dari problem AIDS ini tali-temali. Kalau perorangannya rusak, masyarakatnya akan rusak dan kalau masyarakatnya rusak, perorangan juga tidak mungkin baik. Dengan kata lain, warga masyarakat yang baik-baik pun akan dirusak oleh masyarakat yang terkena epidemi AIDS. Kalau konteksnya seperti ini, para pemuka agama akan ketakutan. Misalnya para kiai itu ngeri terhadap sodomi, terhadap “pengikut Nabi Luth”. Satu kaum yang demikian perilaku seksualnya dihukum oleh Tuhan. Jadi, ada syarat dengan nilai. Bukan nilai perbuatannya yang berdosa secara perorangan, tetapi juga dosa dari seluruh warga masyarakat yang tidak menjalankan karena membiarkan. Untung ada Nabi Luth-nya, seperti orang Jawa ada untungnya.

Kalau pendekatan kita ialah bahwa satu warga yang terkena AIDS merupakan dosa masyarakat semua yang menjadi dosa dari kelangsungan hidup generasi dan menjadi keadaan moral yang marginal. Jadi, kaitan antara masalah pertama dan masalah kedua itu ialah bagaimana supaya kita bisa melihat bahwa ini bukan masalah moral yang konvensional. Ini masalah ketika masyarakat akan rusak dan masyarakatnya akan merusak individu warga masyarakat. Maka dari itu, diperlukan pendekatan moral yang tidak konvensional. Ini yang harus dipikir secara konsepsional, maaf ya, ini lagi-lagi saya meniru Ibu Nafsiah. Dia nggugat, saya juga ada gugatan, yaitu semua pihak mengentengkan masalahnya sekedar secara mekanistik menganggap ini kelonggaran aturan-aturan moral kita. Sebenarnya ini bukan kelonggaran aturan moral kita, tetapi ini adalah bagaimana mencegah kerusakan total.

Masalah berikutnya yang juga harus dipahami di dalam membahas problem AIDS ini adalah bahwa cara-cara yang dikemukakan/digunakan itu dilakukan secara bersama-sama dan dipilih konsensus lebih dulu, baru kita bergerak bersama dan jangan lari sendiri-sendiri. Masalah tersebut merupakan masalah pendekatan, selama ini kan tidak. Misalnya kita bagi kondom. Bagaimana tidak ketakutan pendetanya. Nanti di hotel-hotel itu di samping Bibel ada kondom. Terus bagaimana mereka mempertanggungjawabkan. Bibelnya nggak dibaca, kondomnya yang dipakai. Jadi, dari soal leadership saja sudah menjadi persoalan, padahal masalah itu adalah masalah yang sangat kompleks. Artinya, penanganannya itu sangat kompleks. Kita sendiri yang salah karena dikemukakan secara teknis, yaitu kita lemparkan begitu saja, yang akibatnya avoid of any moral confinement (menghindari pembatas moral). Sepi dan langka dari nilai-nilai moral. Kalau sudah seperti itu tentu saja akan ditolak. Tetapi coba diambil, misalnya dalam suatu konferensi dengan para kiai pesantren dalam suatu komisi dengan BKKBN atau Departemen Kesehatan, terus bilang sama Pak Kiai, Pak Kiai darul mafasid mugoddam alaihi jalbil masholih mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kebaikan. Kebaikan adalah perilaku moral yang wajar, konvensional itu baik dan harus, tetapi mencegah kerusakan yang sudah ada harus diutamakan. Kondom adalah bagian dari proses mencegah kerusakan, saya rasa diterima.

Jadi marilah kita cegah pendekatan yang terlalu teknik. Tawaran-tawaran kita itu harus masuk dalam tawaran yang komprehensif. Syaratnya ya katakanlah dengan tradisi, kebudayaan, dan wawasan agama. Kalau tidak begitu terus terang saja, tidak akan dipahami oleh siapa pun. Saya bicara tentang agama saya, tentu orang lain juga mempunyai perangkat sendiri. Yang saya ambil dari Ibu Nafsiah, darul mafasid mugoddam alaihi jalbıl masholih adalah satu dari 53 kaidah hukum agama yang ditulis oleh Imam Jalaluddin Assayuti 500 tahun yang lalu, digunakan dalam kitab Al Ashbah Wan Nadhoir yang dipelajari oleh pesantren-pesantren di Indonesia sebagai pendidikan tingkat sarjananya. Dalam hal ini orang yang mau jadi kiai harus baca itu, kalau tidak ya tidak akan jadi kiai. Bila ingin jadi kiai yang betul harus mengerti Al Ashbah Wan Nadhoir. Bisa juga memasukkan kaidah yang lain tashorruful imam alal roiyah ma kuntum bil maslahah, kebijakan pimpinan apakah masyarakat, negara, dan organisasi yang berkaitan dengan rakyat, haruslah terkait sepenuhnya dengan kemasyarakatan dan kebaikan dari rakyat tersebut. Kita tinggal menjabarkan kebaikan rakyat itu apa? Kesejahteraan rakyat itu adalah pendekatannya. Jadi, pendekatannya adalah kesejahteraan keluarga, misalnya, kita letakkan dalam konteks lain. Sebuah kitab lain, umpamanya, kalau dilihat dari pandangan agama Islam yang sangat penting sebagai corpus magnum adalah Alihya’ wa ulumuddin dari Imam Ghozali, ditulis pada 1000 tahun yang lalu. Di situ diterangkan kewajiban masyarakat terhadap warganya menurut pandangan Islam adalah memberikan jaminan dasar akan 5 hal.

  1. Jaminan dasar akan keselamatan fisik warga masyarakat. Di sini masuk itu keselamatan fisik, bukan sekedar aman dari perampok, tetapi aman dari penyakit AIDS. Banyak cara yang bisa dikembangkan dalam proses memahami ini.
  2. Jaminan dasar akan keselamatan keyakinan. Ini tidak ada AIDS. Urusannya dengan keyakinan karena dia justru penyimpangan dari keyakinan.
  3. Jaminan dasar kesucian keluarga dan keselamatan keturunan. Kita dapat berangkat dari sini jenis-jenis keselamatan apa yang diperlukan. Bukan hanya dia yang berketurunan baik-baik saja. Untuk apa baik-baik, tetapi pengidap AIDS? Ini yang harus dirombak lagi dalam hak proses keselamatan keturunan.
  4. Jaminan dasar akan keselamatan milik pribadi atau individual property.
  5. Jaminan dasar akan keselamatan profesi.

Semua itu, dua jaminan yang paling utama, yaitu keselamatan fisik warga negara, warga masyarakat, dan yang ketiga adalah jaminan fisik akan keselamatan keturunan dan kesucian keluarga.

Semua ini sudah bisa kita gambarkan dari Imam Ghozali. Di Islam Sunni tidak ada yang berani membantah sebab dia adalah otoritas tertinggi. Karena Imam Ghozali adalah tokoh untuk kaum Sunni, mayoritas kaum muslimin di dunia, maka ia adalah otoritas tertinggi pada saat ini yang diakui. Jadi, kita tinggal mencari sebenarnya itu atau banyak kekayaan yang dapat digali. Itu tadi baru dari Islam.

Semua agama tentu memiliki property seperti itu. Kalau tidak, agama-agama tidak survive. Jadi, kita memerlukan semacam komitmen untuk mendalami masalah ini dari sudut keagamaan secara benar dan menampilkan pendekatan-pendekatan yang bisa membawa masalah AIDS kepada perhatian para pemimpin agama, para warga masyarakat yang memiliki kesadaran agama tinggi. Jangan dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Jangan dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar lingkup kesadaran beragama mereka. Justru diajukan tantangan kepada mereka bahwa kesadaran beragama yang bersangkutanlah yang harus masuk ke dalam semuanya itu, apabila konsep-konsep dasar Islam tentang pengaturan masyarakat ingin diwujudkan. Kita melihat bahwa banyak sekali yang justru sering dilakukan adalah secara tidak sengaja melecehkan pertimbangan-pertimbangan agama, ketika kita berbicara tentang masalah AIDS, kemudian kiai berbicara tentang moralitas, lalu kita tidak sabar. Problemnya itu sudah menjadi epidemik, tetapi masih berbicara sampai itu saja. Harusnya kalau seperti saya harus kita tumpangi. Jangan dilawan, jangan dilecehkan, justru kita tumpangi. Kita gunakan konsen-konsen mereka itu yang justru menjadi alat untuk penanganan problem AIDS. Sikap dasar ini bisa kita lakukan maka kita terhindar dari kebutuhan yang sebenarnya tidak wajar, yaitu kebutuhan untuk circumventing, atau mengingkari wawasan agama mengenai AIDS. Sekarang ini kebanyakan kita ini kan mengingkari tidak memasyarakatkannya. Sambil kita puji tadi Ibu Nafsiah Mboi, bahwa agama itu sangat-sangat penting. Ibu Nafsiah mengerti itu betul-betul penting, tetapi banyak mereka itu di luar, sambil mengatakan sangat-sangat penting, menutup kupingnya dari soal agama. Akhirnya, tidak jadi. Dengan kata lain, kita memerlukan dialog yang sehat dan terbuka dalam masalah menangani problem AIDS dari sudut pandang keagamaan. Di sini saya ingin juga membawa kepada sesuatu hal lain, yaitu institusinalisasi. Agama itu keluarnya dalam dua wajah, satu wajah adalah institusi, artinya pemberi fatwa, keputusan, pembentuk moralitas, dan sebagainya. Institusi bisa berupa lembaga dan disebut pranata dalam bentuk kelembagaan majelis ulama dan organisasi agama, atau gereja. Akan tetapi, bisa juga muncul dalam bentuk kesadaran.

Kita seharusnya berbicara kepada kesadaran karena institusi di mana pun di dunia, pranata selalu konservatif. Wajar bagi kita menganggap pranata mudah menerima ini atau itu. Sri Paus dikecam pun tetap akan menolak KB sebabnya mungkin karena dia sendiri tidak kawin. Jadi, enteng-enteng saja. Dalam hal ini jelas kita jangan menekankan pendekatan kita kepada pranata agama apa pun, bisa lembaga bisa juga pada aturan-aturan yang sudah baku. Justru hal ini kita kembangkan melalui upaya menciptakan kesadaran. Jadi, ini merupakan proses penyadaran. Jadi, tadi yang saya sebut Imam Ghozali, Imam Sayuti, juga Imam Al Malibari (dari Malabar) dalam I’anatut tholibin itu berbicara tentang jihad. Banyak orang mendengar tentang jihad itu menjadi merinding bulu kuduknya. Dulu DI/TII. Sekarang Jihad Islam di Palestina. Sebetulnya, seorang pemikir besar dari India, al Malibari, kira-kira 300 tahun yang lalu justru merumuskannya sederhana sekali. Bagi dia menamakan jihad adalah upaya untuk pertama, menegakkan kebesaran dan keesaan Tuhan. Itu melalui bermacam-macam cara untuk memahami Tuhan. Dia menegakkan kebenaran Tuhan dalam bentuk aturan-aturan Tuhan yang dijalankan. Sekarang kita tidak perlu berperang karena tidak ada yang menyerang. Biasanya yang suka menyerang adalah Koramilnya. Saya begini ini lagi “puyeng” dapat laporan dari orang-orang Bahai di Banyuwangi. Mereka didatangi Koramil dan digampari hanya karena beragama Bahai. Pelanggaran terhadap undang-undang dasar jalan terus.

Dari sudut pandangan Islam, yaitu taskunu limaksumi, ialah mencegah kerusakan dari orang yang dilindungi oleh Islam. Siapa yang dilindungi? Jawabnya muslim maupun nonmuslim yang tinggal dalam satu masyarakat. Sama, tidak ada bedanya, dalam pelayanannya. Lalu dengan cara apa? Ternyata pendekatan-pendekatannya untuk kebutuhan pokok. Pertama, bil itkham riholatil ihtiror dengan penyediaan pangan yang terjangkau harganya oleh rakyat, yaitu sistem bulog kita yang idealnya diadakan stok pangan yang tidak memungkinkan orang melakukan penimbunan. Memang pintar cukong-cukong itu tidak menimbun lagi, cuma titip barang di gudangnya Bulog. Kedua adalah wal ihsya’ be tsatil auroh, penyediaan sandang yang terjangkau oleh rakyat untuk menutup aurat mereka. Ketiga adalah iskan atau papan. Keempat (yang menarik) adalah ujroti tamru bi samanid ad dawa’, menyediakan biaya perawatan yang terjangkau oleh rakyat dan obat yang terjangkau (konsep puskesmas). Hal ini dalam konsep Jihad daf’u lidhoruri maksumi, mencegah kerusakan dari yang dilindungi oleh Islam, bisa kita perluas menjadi orang yang terkena epidemi AIDS dan orang-orang yang potensial terkena AIDS. Saya rasa AIDS menjadi masalah agama, padahal tadinya itu dianggap masalah di luar agama. Jadi, bagaimana kita mendekatkan masalah-masalah tersebut supaya dianggap sebagai masalah agama?

Inilah proses penyadaran. Itu yang saya maksudkan di sini. Bagaimana menciptakan kesadaran di kalangan mereka yang berkecimpung dalam bidang agama bahwa masalah AIDS adalah bagian dari masalah keagamaan secara umum. Ini penting sekali karena justru sebaliknya sekarang kita ingin membawa para agamawan dan para pemuka agama, tokoh-tokoh, dan pemikir agama agar melintas batas dari bidang mereka ke bidang AIDS, ke bidang kesehatan, dan lain sebagainya. Mengapa begitu mereka malas? Sudah tidak ada untungnya, kalau keliru digebuki orang, tetapi kalau kita lempar masalah agama : kamu diamkan, awas, dosa kamu. Yang berdosa bukan penderita AIDS, tetapi malah kiai-nya. Jadi maksud saya strateginya harus seperti itu. How to do that? Itu adalah tugas kita bersama-sama untuk memikirkan masalah ini. Jadi, saya rasa inilah salah satu di antara key points (titik-titik kunci) yang harus kita lakukan di dalam menghilangkan kendala-kendala keagamaan dalam atau dari penanganan problem AIDS bangsa kita ini. Saya rasa untuk memberikan waktu lebih banyak berdiskusi, saya cukupkan sekian.