Kiai Mutamakkin dan Perubahan Strategi NU
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Tahun lalu, penulis diminta menyampaikan makalah dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah di Ciputat Jakarta. Seminar itu diselenggarakan untuk memperkenalkan buku karangan Zainul Milal Bizawie tentang Kiai Ahmad Mutamakkin. Dalam kesempatan itu, penulis hanya berbicara tentang hal-hal yang mendasar, tanpa mempersiapkan sebuah makalah tertulis. Karena harus berbicara mengenai Kiai Ahmad Mutamakkin dari Kajen, Pati (Jawa Tengah), maka yang dipentingkannya adalah perbedaan dasar beliau dengan para ulama lain dari massa itu. Sebagaimana diketahui, kiai yang hidup dan berkiprah dalam paruh kedua abad ke-18 Masehi, mengalami dua buah macam penguasa. Mereka adalah Amangkurat IV dari Kartasura dan Pakubuwono II di Surakarta Hadiningrat.
Beliau terlibat dalam perdebatan seru ketika diadili oleh Katib Anom, semacam menteri agamanya, Amangkurat IV. Pemeriksaan pandangan-pandangan beliau oleh Katib Anom, yang notabene cucu Sunan Kudus, direkam dalam sebuah tembang Keraton yang berjudul Serat Cebolek. Nama sebuah desa yang terletak di sebuah selatan Desa Kajen di atas. Serat yang menggunakan bahasa sastra Jawa yang tinggi ini, akhirnya dijadikan pokok disertasi doktoral oleh Subardi, pada salah sebuah universitas terkemuka di Australia. Disertasi itu ditulis dalam bahasa Inggris dan sudah sewajarnya ia diterjemahkan ke dalam bahasa nasional kita. Tetapi pokok permasalahan yang penulis bahas tidak ada dalam disertasi tersebut.
Di samping disertasi itu, ada juga sebuah kidung yang sering dibacakan dalam peringatan kematian (haul) beliau di Kajen. Selama seminggu “orang memperingati” kematian beliau tersebut. Puncaknya adalah pembacaan tembang/kidung tersebut di atas, dengan lebih dari 100 ribu orang hadirin. Namun, strategi yang diuraikan penulis di Ciputat itu, juga tidak muncul dalam “keramaian” di atas. Orang lebih tertarik kepada cerita-cerita tentang “keanehan” Kiai Mutamakkin, daripada melakukan pembicaraan tentang peranan kiai tersebut, sebagai seorang alim yang berpengetahuan agama sangat dalam. Dengan kata lain, orang lebih melihat ketokohan beliau, dan bukannya apa yang menjadi peranan beliau dalam kehidupan beragama Islam di kalangan kaum muslim tradisional di pantai utara Jawa Tengah (dan sedikit kawasan Jawa Timur).
Yang penulis maksudkan dengan strategi yang beliau bawakan itu adalah merumuskan arah perkembangan dalam hubungan antara para ulama dan penguasa di Jawa waktu itu. Bupati Rifai dari Batang (kawasan sebelah barat Jawa Tengah) juga menggunakan Serat Cebolek dari Keraton Surakarta itu, sebagai “pendukung utama” atas kekuasaannya. Ini “dilawan” oleh para ulama setempat sekitar satu abad setelah “pemeriksaan” atas diri Kiai Mutamakkin oleh Katib Anom. Hal itu menunjukkan bahwa ada sebuah perkembangan sangat menarik dalam kehidupan kaum Muslim, yang juga ditentukan oleh sikap para ulama setempat, seperti terjadi sekarang ini. Karena, dalam makalahnya itu penulis mencoba melihat persoalannya dari sudut strategi perjuangan Islam di negeri ini.
Hal dasar itu adalah hubungan antara para ulama sebagai “pimpinan umat” di satu pihak, dan para penguasa di pihak lain. Di masa hidup Kiai Mutamakkin, para ahli fikih (hukum Islam) cenderung untuk “membela” para penguasa, bahkan di kala melakukan kesalahan-kesalahan yang besar. Populer sekali ungkapan bahwa para raja tradisional Jawa melakukan hubungan seksual dengan istri mereka, dan kemudian tidak melakukan mandi junub, para bawahan merekalah yang melakukan hal itu. Sikap ini mungkin dilakukan karena adanya ‘ketentuan’ yang disebutkan Al-Qur’an, agar kaum muslimin selalu taat kepada Allah, utusannya dan para penguasa (Uli Al-Amri). Sikap “tutup mata” atas pelanggaran-pelanggaran fikih oleh para penguasa ini, terjadi dalam skala yang besar dan meliputi masa yang panjang. Sebaliknya, para pemimpin tarekat, para mursyid dan badal-badal mereka, menentang penguasa yang ada, dan menyebut nama mereka secara terbuka di muka umum. Karena itu, kita kenal dari masa itu cerita-cerita tentang ulama yang dibakar hidup-hidup atau dikupas kulit mereka sebagai “hukuman dari para penguasa”. Penentangan langsung para pemimpin tarekat itu yang kemudian diubah oleh Kiai Ahmad Mutamakkin. Ia tidak pernah menyerang penguasa manapun dengan menyebut nama terang-terangan. Ia mengemukakan sebuah “strategi penentangan alternatif” yaitu dengan menyebutkan bahwa penguasa yang baik selalu melaksanakan hal-hal yang baik pula. Dengan melakukan pendekatan positif seperti itu, ia justru ditentang oleh para ahli fikih pada waktu itu. Mereka mempersoalkan hal yang menurut mereka merupakan pelanggaran fikih yang dilakukan Kiai Ahmad Mutamakkin.
Mereka mempersoalkan izin yang diberikan kiai kita itu kepada orang yang melukiskan gambar ular dan gajah secara penuh di dinding masjidnya, yang waktu itu dianggap haram. Demikian pula, ia bersedia menonton wayang kulit dengan lakon “Bima Suci” atau “Dewa Ruci”, yang mengakibatkan ia dituduh mengikuti paham mereka dengan menonton lakon itu. Tentu saja hal itu adalah sesuatu yang menggelikan hati kita dewasa ini, karena memang masalahnya adalah sesuatu yang bersifat akhlak/moral, dan sangat sedikit menyangkut hukum fikih. Itulah yang menjadi tema perdebatan antara Kiai Mutamakkin dan Katib Anom yang dianggap mewakili para ahli fikih.
Hampir-hampir tidak ada pihak yang mempersoalkan strategi dasar yang diletakkannya bagi kepentingan umat dalam hubungan mereka dengan para penguasa. Pertanyaan pokoknya sekarang adalah: masih relevankah strategi dasar yang diletakkan kiai kita itu? Atau lebih jelas lagi, haruslah Nahdlatul Ulama (NU) meneruskan strategi dasar Kiai Ahmad Mutamakkin tersebut ataukah harus diganti dengan strategi dasar yang baru?
Dapatkah kita menempuh strategi “demokratisasi bertahap” seperti yang dilakukan oleh para pemimpin NU sekarang? Atau NU justru harus mempelopori proses demokratisasi yang lengkap dari sekarang? Karena itu memang adalah “tuntutan agama”, jawaban atas pertanyaan di atas menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kita semua sebagai bangsa. Ini menjadi penting, setidak-tidaknya dalam sikap NU menghadapi rangkaian pemilu tahun 2004 dan dalam hubungan antara NU dengan proses demokratisasi yang sedang berlangsung.
Mengapakah harus NU yang dihadapkan kepada pertanyaan di atas? Karena memang NU dengan para warganya justru dihadapkan kepada tantangan klasik: setelah “lumpuhnya” gerakan-gerakan lain di negeri kita. Untuk memberikan respons yang positif saat ini, ternyata hanya tinggal para warga NU yang tersebar di berbagai gerakan yang diharapkan dapat menjawab tantangan keadaan yang dihadapi bangsa kita. Karenanya, jawaban pihak NU sangat dinanti-nanti pada saat ini karena merupakan “langkah kunci” bagi upaya merespons sikap menyepelekan dan merendahkan demokrasi. Proses yang mudah dikatakan, namun sulit dilakukan, bukan?