Kiai: Makelar Atau Pemula?

Sumber Foto: https://www.merdeka.com/histori/yusuf-tauziri-pimpinan-ditii-yang-loyal-pada-ri-dan-beda-jalan-dengan-kartosoewirjo.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pemula harus mengaku akan berbuat nakal kali ini. Namun kenakalan yang baik. Pasalnya, penulis sepertinya akan mereklamekan buku yang diberinya kata pendahuluan. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Kebetulan bukunya baru penulis terima dari penerbit. Dibaca ulang, lalu timbul keinginan untuk mengupas inti buku itu dalam rubrik ini. Karena menarik untuk diamati, bukan untuk melariskan bukunya.

Hiroko Horikoshi melakukan penelitian tentang kiyai (ajengan) Yusuf Tajri dan Cipari di Garut. Hasil penelitian diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul ‘Kiyai dan Perubahan Sosial’. Penerbitnya tak usah penulis sebutkan, nanti dikira benar-benar reklame.

Yang penting dari buku Horikoshi itu adalah kesimpulannya, bahwa ulama berperan sebagai penggerak perubahan sosial. Melalui perangkat ilmu-ilmu keagamaan tradisional, seorang kiyai atau ajengan melakukan pemahaman kembali arti kehidupan. Dan pemahaman kembali ajaran agama itulah akan muncul sikap-sikap dasar baru, yang akan membawa perubahan sosial secara mendasar.

Kita bisa memahami kesimpulan abstrak dari antropolog wanita Jepang itu, karena kita melihat sendiri buktinya. Soal keluarga Berencana, para ulama kita jelas bersikap positif. Sikap itu timbul dari pemahaman kembali ajaran agama. Bahwa sisi kualitatif dari kehidupan harus diperhitungkan. Itu berarti jumlah anak harus dibatasi, agar dapat menyediakan sarana dan wahana pendidikan sebaik mungkin kepada mereka.

Demikian juga sikap terhadap ideologi nasional Pancasila. Bukan dipertentangkan, melainkan dianggap berfungsi komplementer terhadap agama dalam kehidupan di dunia ini. Sudah tentu perubahan sosial ke arah penerimaan wawasan kebangsaan semakin meluas, karena pemahaman kembali peranan agama dan ideologi nasional seperti itu .

Nah, dengan kesimpulan itu Horikoshi membuktikan kesalahan anggapan bahwa ulama hanya berfungsi menjembatani saja antara tradisi dan modernisasi. Kiyai, menurut Clifford Geertz, adalah makelar budaya. Menjaring segala macam import budaya,melakukan seleksi. Peranan pasif-belaka. Suatu ketika akan macet. Karena derasnya masuk arus budaya dari luar. Kiyai tidak berfungsi lagi, bagaikan bendungan yang jebol.

Ternyata, menurut Horikoshi, kiyai berperan melakukan rintisan dalam mencari model-model perubahan sosial yang diingini masyarakat. Peranan aktif memulai perubahan sosial, bukan menghambatnya. Sebagai pemula sebuah proses raksasa, bukan hanya menjadi perantara yang akan ditinggalkan jentera sejarah. Semoga benar demikian adanya. Amin.