Membaca Sejarah Lama (12)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Fahien yang beragama Budha menuliskan pengalaman dan penglihatannya dalam perjalanan dari daratan China — melalui laut, ke India. Ia singgah di pulau Sumatra dan bercerita tentang kerajaan Sriwijaya. Dari tulisan Fahien itu, didapati bahwa kerajaan Sriwijaya mengikuti agama Budha Tanpa menyebutkan hakikat kerajaan tersebut, kita lalu tahu, bahwa Sriwijaya adalah kerajaan maritim pada waktu itu. Yang tidak jelas, tidak diceritakan Fahien, adalah asal usul kerajaan tersebut: Tulang Bawang di daerah Lampungkah atau Jambi.
Cerita Fahien itu, diperkuat pula oleh catatan sejarah yang menceritakan penyerbuan wangsa Syailendra di Sriwijaya tersebut atas kerajaan Hindu Kalingga di Jawa Tengah. Dari catatan sejarah itu, kita tahu, bahwa kerajaan Sriwijaya memiliki kekuatan yang besar, berarti jumlah penduduk yang banyak dan keuangan yang kuat. Serangan di abad VI Masehi itu akhirnya dimenangkan oleh wangsa yang beragama Budha, yang melahirkan candi Borobudur. Tetapi, justru pembangunan candi raksasa itulah yang memiskinkan kerajaan Sriwijaya, dan membuatnya hancur tanpa warisan dalam abad VIII dan IX Masehi.
Sebuah episode besar dari sejarah lama kita berlalu tanpa dramatisasi, dan kita ketahui hanya dari cerita yang pendek dalam kisah perjalanan Fahien dan catatan sejarah kita. Dalam hal ini diperlukan rekonstruksi kesejarahan yang banyak bersandar pada kemampuan visualisasi kita sebagai pengamat sejarah. Tanpa kemampuan rekonstruksi seperti itu, kita akan menjadi buta tentang sejarah lama bangsa sendiri. Di sinilah kita memerlukan investigasi kesejarahan dan kemampuan mencari data-data kesejarahan dari cerita-cerita yang ada dan catatan-catatan yang masih tertinggal.
***
Sebaliknya, pengetahuan kita dari sumber-sumber tertulis tentang kerajaan Kutai, kerajaan Bacan, kerajaan Ternate, kerajaan Tidore, serta kerajaan Keilolo hampir tidak ada yang tertulis, melainkan dari cerita-cerita lisan. Meski demikian, dari cerita-cerita lisan itu, yang bercampur antara cerita fiktif dan informasi aktual, harus dapat dibuat rekonstruksi kesejarahan yang konkrit. Umpamanya saja, mengenai jumlah dan jenis pasukan pengawal kerajaan. Kemampuan melakukan rekonstruksi secara lengkap, bersandar pada cerita-cerita fiktif dan aktual sekaligus, harus dimiliki oleh mereka yang ingin menuliskan sejarah tempat-tempat tersebut.
Banyak alat bantu yang dapat digunakan untuk melakukan rekonstruksi dimaksud. Misalnya saja, cerita-cerita tutur mengenai para pahlawan dan raja-raja daerah itu. Dengan demikian, diperlukan kemampuan untuk mendengarkan dan mengumpulkan cerita-cerita tutur tersebut. Demikian pula, tentu, diperlukan biaya tidak sedikit untuk melakukan perjalanan berulangkali ke kawasan-kawasan di atas, dan kemahiran untuk menyadap dari tokoh-tokoh tua yang masih ada — umumnya menggunakan bahasa daerah.
Karenanya, di samping kemahiran sejarah, dibutuhkan pula kecakapan berbahasa daerah serta biaya yang tinggi. Di sini, pengetahuan seperti itu yang sekarang hampir-hampir tidak dihargai orang, merupakan kekuatan pemerintahan kolonial di masa lampau. Kalau kita pelajari laporan-laporan tertulis, berbagai karya ilmiah di masa itu dan buku-buku yang diterbitkan, jelas hal itu terasa sangat penting bagi penguasa kolonial di masa lampau. Apa pun motifnya, seperti kebutuhan untuk mempertahankan kekuasaan pemerintahan kolonial dengan mengalahkan “sumber-sumber pribumi” sangatlah menarik untuk diperhatikan.
Dengan demikian, nyatalah bagi kita betapa penting arti karya-karya lama mengenai berbagai daerah kita di masa lampau. Tanpa karya-karya itu, tidaklah mungkin kita mampu memahami masa lampau kita sendiri. Meski kelihatannya hanya berbentuk cerita-cerita tentang suatu daerah atau tokoh tertentu, tapi kehadirannya sangatlah diperlukan jika kita ingin mengetahui masa lampau kita sendiri.
Beberapa buku deskriptif yang telah ditulis tentang pelbagai aspek kehidupan daerah, sangatlah penting bagi kita. Di sini, buku The Rope of God dari James T Siegel dapat dikemukakan sebagai contoh. Hasil penelitian antropologis tentang daerah Aceh ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mengenal daerah tersebut. Deskripsinya tentang kaitan antara keyakinan agama orang Aceh dan kesenian yang mereka kembangkan (seperti tarian Seudati) merupakan keharusan bagi mereka yang ingin mempelajari perkembangan Islam di daerah tersebut.
Demikian pula, beberapa buku yang memuat penafsiran tentang perkembangan sebuah cara pandang sangatlah menarik untuk dipelajari lebih jauh. Seperti karya-karya Peter Carey tentang “ekologi budaya” orang Jawa sangatlah relevan untuk dikaji. Ia mengemukakan berbagai cara pandang orang Jawa tentang perang Diponegoro (perang Jawa) pada tahun 1825-1830. Pangeran Diponegoro sendiri, dalam masa pembuangannya di Makasar, bercerita melalui Babad Diponegoro –bahwa ia hanya melaksanakan tugas kesejarahan, sebagaimana Arjuna melakukan tugas budaya. Para bawahan (bekel, istrinya bernama Supraba) dan bagaimana ia memperoleh penugasan di Gua Selarong, secara keseluruhan menunjuk pada persamaan dengan tokoh wayang Arjuna tersebut. Sebaliknya, seorang Bupati di Purworejo menggambarkan tokoh kita itu sebagai seorang yang sombong. Kegagalannya dalam mencapai tujuan, menurut pandangan pejabat Belanda ini–dalam Kidung Kebo, bermula dari kesombongan tersebut. Sedangkan Babad Surakarta yang dibuat di keraton Solo, melihat hal itu secara “normal” belaka. Banyak upaya yang berhasil,– dan tentu, banyak pula yang gagal.
Jelaslah dari uraian di atas, berbagai cara pendekatan dan penafsiran merupakan alat-alat sejarah yang diperlukan untuk mengenal kehidupan bangsa kita di masa lampau. Terpulang kepada kita sebagai bangsa, ingin memahami masa lampau itu atau tidak.